Surat An Nahl (Lebah) adalah salah satu surat Makkiyah yang kaya akan ayat-ayat yang mengajak manusia merenungkan kebesaran ciptaan Allah SWT. Di antara ayat-ayat yang sarat makna tersebut, Ayat ke-17 memiliki kedudukan khusus karena secara tegas menyoroti prinsip keadilan dan kesempurnaan ciptaan Tuhan yang tak tertandingi. Ayat ini sering dijadikan landasan dalam perdebatan teologis mengenai sifat-sifat Allah.
"Maka apakah (sifat Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak menciptakan? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (dari perbandingan ini)?" (QS. An Nahl [16]: 17)
Ayat ini merupakan pertanyaan retoris yang sangat kuat. Rasulullah SAW dan para Nabi sebelumnya selalu menghadapi tantangan dari kaum musyrik yang menyekutukan Allah dengan berhala-berhala buatan tangan mereka sendiri. Pertanyaan kunci dalam ayat ini adalah kontras yang tajam antara Sang Pencipta sejati dan ciptaan yang tidak memiliki daya cipta sama sekali.
Inti dari seruan An Nahl 17 adalah menelanjangi kemunafikan logika kaum yang menyembah patung batu atau benda-benda mati. Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan—yang pasti membutuhkan perancang, bahan baku, dan proses—disamakan dengan Zat yang Maha Pencipta (Al-Khaliq)? Sifat Allah yang paling mendasar adalah Al-Khaliq, Yang Menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (ex nihilo).
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pertanyaan ini mengandung pukulan telak terhadap logika akal sehat. Tidak ada satu pun makhluk, sehebat apapun ia—mulai dari planet, pohon, atau bahkan diri kita sendiri—yang mampu menciptakan makhluk lain. Pemahaman ini seharusnya secara otomatis mengarahkan hati dan pikiran manusia untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Sumber segala keberadaan.
Kata kunci penting kedua dalam ayat ini adalah "Afala tazzakkarun?" (Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?). Islam tidak hanya menuntut kepatuhan buta, tetapi sangat menganjurkan penggunaan akal ('aql) dan perenungan (tadabbur).
Mengambil pelajaran (ibrah) dari perbandingan ini berarti:
Meskipun konteks historis ayat ini berkaitan dengan penyembahan berhala, relevansinya tetap hidup hingga kini. Dalam era modern, godaan untuk menyekutukan Allah bisa berbentuk lebih halus. Manusia mungkin tidak lagi menyembah patung, tetapi bisa saja menjadikan kekayaan materi, kekuasaan politik, popularitas media sosial, atau bahkan ideologi tertentu sebagai 'tuhan' baru yang dipatuhi di atas perintah Ilahi.
Setiap kali seseorang terlalu bergantung pada kekuatan ilusi (seperti keberuntungan semata tanpa usaha, atau teknologi tanpa mengakui Sang Maha Pemberi ilmu), ia secara tidak sadar sedang menempatkan sesuatu yang 'diciptakan' pada posisi Sang Pencipta. Ayat 17 menjadi pengingat abadi: Pikirkanlah, gunakanlah akal yang telah diberikan, dan kembalilah pada kesadaran fundamental bahwa tidak ada satupun yang patut disembah selain Allah, Dzat yang memiliki keunikan mutlak sebagai satu-satunya Sumber daya cipta.
Oleh karena itu, memahami Surat An Nahl ayat 17 bukanlah sekadar menghafal terjemahan, melainkan menginternalisasi prinsip tauhid yang mendasar: pemisahan tegas antara Sang Maha Pencipta yang sempurna dan segala sesuatu yang diciptakan yang selalu membutuhkan penciptanya.