Visualisasi Perbandingan yang Disinggung dalam Ayat
Surat An-Nahl (Lebah), ayat ke-72, adalah pengingat yang kuat dari Allah SWT mengenai ketidakadilan dalam mempersekutukan-Nya (syirik) sekaligus menyoroti anugerah yang telah diberikan kepada manusia melalui penciptaan pasangan hidup.
Ayat 72 dalam Surat An-Nahl ini secara struktural berfungsi sebagai teguran keras terhadap kaum musyrikin Mekah yang, meskipun mengakui keesaan Allah dalam penciptaan alam semesta, masih saja menyembah berhala atau meyakini kebatilan lainnya.
Ayat ini diawali dengan penegasan tentang nikmat yang fundamental: penciptaan pasangan (azwaj). Pasangan hidup—baik laki-laki maupun perempuan—berasal dari 'diri mereka sendiri' (min anfusikum), mengindikasikan kesamaan jenis dan kemudahan dalam berinteraksi, berketurunan, dan menemukan ketenangan (sakinah).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menekankan bahwa pasangan adalah sumber ketenteraman dan kelanjutan garis keturunan manusia. Ini adalah bukti nyata dari kasih sayang dan perencanaan sempurna Allah.
Nikmat tersebut kemudian berlanjut pada turunan: anak-anak (banin) dan cucu-cucu (hafadah). Keturunan adalah harapan dan pewaris kebaikan. Selanjutnya, Allah menyebutkan rezeki dari "Ath-Thayyibat," yaitu segala sesuatu yang baik, bersih, halal, dan menyenangkan (seperti makanan yang lezat dan kehidupan yang nyaman).
Kombinasi dari pasangan, keturunan, dan rezeki yang baik ini adalah pilar utama kebahagiaan duniawi yang dikaruniakan langsung oleh Sang Pencipta.
Bagian kedua ayat ini adalah inti dari teguran: "Maka mengapakah mereka masih beriman kepada kebatilan, dan ingkar terhadap nikmat Allah?"
Pertanyaan retoris ini menyoroti inkonsistensi logika mereka. Bagaimana mungkin seseorang yang menikmati seluruh nikmat eksistensial (pasangan, anak, rezeki) dari Allah, namun pada saat yang sama, ia menyembah patung atau mempercayai sesuatu yang jelas-jelas palsu (al-bathil)? Ayat ini menuntut introspeksi mendalam:
Meskipun konteks historisnya adalah kaum musyrikin Arab, pesan moral surat An-Nahl 72 tetap relevan. Dalam era modern, "kebatilan" bisa mengambil bentuk yang berbeda: materialisme berlebihan, ideologi sesat, atau ketergantungan penuh pada pencapaian duniawi tanpa mengakui Sang Pemberi.
Ayat ini mengajak umat Islam untuk selalu meninjau kembali sumber utama kebahagiaan dan ketenangan mereka. Jika seseorang merasa hidupnya kacau, padahal ia memiliki keluarga yang baik dan rezeki yang cukup, mungkin letak masalahnya adalah pada fondasi imannya—yaitu, apakah ia masih menaruh kepercayaan pada hal-hal yang tidak memiliki dasar ilahi (kebatilan) sehingga menutupi rasa syukurnya kepada Allah atas nikmat yang nyata.
Oleh karena itu, merenungkan An-Nahl 72 adalah cara ampuh untuk menguatkan tauhid (keesaan Allah) melalui pengakuan atas nikmat-nikmat yang telah terwujud dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari hadirnya pasangan hidup hingga kenikmatan rasa makanan yang kita santap.