Simbol keluasan rahmat Allah dan pengaturannya.
Surat An Nisa, yang berarti "Perempuan", adalah salah satu surat Madaniyah yang sangat kaya akan ajaran tentang hukum, etika, dan tatanan sosial dalam Islam. Di antara ayat-ayat pentingnya, ayat 26 hingga 30 memberikan panduan fundamental mengenai bagaimana kaum Muslimin seharusnya menjalani kehidupan, terutama terkait hubungan keluarga, pernikahan, dan pengelolaan harta.
Ayat 26 dari Surat An Nisa merupakan landasan utama yang menguraikan siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi oleh seorang Muslim atau Muslimah. Allah SWT berfirman, "Allah hendak menerangkan kepada kamu, dan menunjukkan kepadamu jalan orang-orang yang sebelum kamu dan menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nisa: 26).
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah berpisah daripadanya), maka tidak mengapa kamu mengawininya. Diharamkan bagimu (mengawini) menantu-menantumu (istri dari anak kandungmu), dan (diharamkan) mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini secara rinci menjelaskan daftar mahram yang tidak boleh dinikahi, baik karena hubungan nasab (keturunan), mushaharah (perkawinan), maupun radha'ah (persusuan). Penjelasan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian keturunan, mencegah kerusakan sosial, dan membangun unit keluarga yang kokoh berdasarkan hubungan yang suci dan terhormat. Pemahaman akan batasan ini adalah krusial dalam membangun rumah tangga yang sesuai syariat.
Selanjutnya, Allah SWT berfirman dalam ayat 27, "Dan Allah hendak menerangkan kepadamu, dan menunjukkan kepadamu jalan orang-orang yang sebelum kamu (yakni syariat para nabi terdahulu) dan menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nisa: 27).
"Allah SWT hendak menerangkan kepadamu, dan menunjukkan kepadamu (jalan) orang-orang yang sebelum kamu dan menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini memiliki kaitan erat dengan ayat sebelumnya. Allah ingin menjelaskan hukum-hukum yang juga berlaku bagi umat-umat sebelumnya sebagai bentuk rahmat-Nya, sekaligus menunjukkan bahwa Ia senantiasa menerima taubat hamba-Nya yang menyesali perbuatan dan kembali kepada jalan yang benar. Ini memberikan harapan dan dorongan bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga diri dari larangan-Nya dan bersegera bertaubat jika terlanjur berbuat salah.
Ayat 28 melanjutkan pembahasan mengenai pernikahan dengan memberikan keringanan, seraya menjelaskan sifat dasar manusia. Allah berfirman, "Allah hendak meringankan (urusan)mu, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah." (QS. An Nisa: 28).
"Allah hendak meringankan (urusan)mu, dan karena manusia dijadikan (dalam keadaan) lemah. Dan karena banyak di antara kamu yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri; maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi (boleh) dua, tiga atau empat; akan tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya."
Ayat ini secara tegas mengatur mengenai poligami. Allah memberikan izin bagi pria untuk beristri hingga empat orang, namun dengan syarat yang sangat berat: kemampuan untuk berlaku adil. Keadilan yang dimaksud meliputi lahir dan batin, termasuk nafkah, giliran, dan kasih sayang. Jika ada kekhawatiran tidak dapat berbuat adil, maka menikahi satu orang saja adalah yang lebih utama. Ini menunjukkan bahwa keadilan adalah fondasi penting dalam pernikahan, dan Allah mengetahui kelemahan serta kecenderungan manusia.
Setelah membahas tatanan keluarga dan pernikahan, ayat 29 mengalihkan fokus pada pengelolaan harta, sebuah aspek krusial dalam kehidupan bermasyarakat. Allah menegaskan, "Dan janganlah sebahagian kamu memakan sebahagian yang lain." (QS. An Nisa: 29).
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan (mal) itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebahagian daripada harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui."
Ayat ini melarang keras segala bentuk pengambilan harta orang lain secara tidak sah. Ini mencakup penipuan, penggelapan, korupsi, riba, perjudian, suap, dan segala cara yang tidak diridhai Allah. Ancaman hukuman duniawi maupun akhirat bagi pelaku kezaliman harta sangatlah berat. Larangan ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan sosial, menegakkan keadilan ekonomi, dan mewujudkan masyarakat yang amanah serta saling menghormati hak milik.
Sebagai penutup dari rangkaian ayat ini, ayat 30 memberikan peringatan keras dan ancaman bagi mereka yang tetap melanggar larangan mengambil harta secara batil. Allah SWT berfirman, "Dan sesiapa berbuat demikian, sedang ia berbuat kezaliman dan aniaya, kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka." (QS. An Nisa: 30).
"Dan sesiapa berbuat demikian, sedang ia berbuat kezaliman dan aniaya, kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka, dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
Ayat ini menegaskan bahwa tindakan mengambil harta orang lain secara batil adalah bentuk kezaliman yang besar di sisi Allah. Konsekuensinya adalah siksaan neraka. Penegasan ini bukan semata-mata ancaman, melainkan sebuah peringatan serius agar setiap individu senantiasa menjaga diri, berdagang dengan jujur, mengelola harta dengan benar, dan menghindari segala bentuk kecurangan. Kepatuhan terhadap ajaran ini akan membawa keberkahan, kedamaian, dan keselamatan di dunia maupun akhirat.
Secara keseluruhan, ayat 26-30 Surat An Nisa memberikan gambaran komprehensif mengenai bagaimana seorang Muslim seharusnya menata kehidupannya. Mulai dari pondasi keluarga melalui aturan pernikahan yang jelas, hingga tatanan ekonomi yang adil dan jujur dalam pengelolaan harta. Pemahaman dan penerapan ajaran ini adalah kunci untuk membangun individu, keluarga, dan masyarakat yang beradab, harmonis, serta diridhai Allah SWT.