Surat At-Taubah, yang dikenal sebagai salah satu surat Madaniyah, mengandung banyak perintah dan pelajaran penting mengenai keimanan, jihad, dan struktur sosial umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang paling fundamental dalam mengatur hubungan antara hamba dengan harta, dan antara individu dengan negara, adalah ayat ke-103. Ayat ini tidak hanya menetapkan kewajiban finansial tetapi juga menggambarkan secara eksplisit tujuan hakiki dari perintah tersebut: pensucian (tathhir) dan pertumbuhan spiritual (tazkiyah).
Ayat mulia ini menjadi landasan teologis utama bagi kewenangan penguasa atau negara Islam dalam mengelola dana zakat, serta menegaskan bahwa pembayaran zakat bukanlah sekadar transfer moneter, melainkan proses transenden yang membersihkan jiwa pembayar dari kekikiran dan sifat mementingkan diri sendiri. Kajian mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman mengenai ekonomi Islam, spiritualitas, dan peran kenabian.
Teks dan Terjemah At-Taubah Ayat 103
“Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan (zakat) itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menimbulkan) ketenangan jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 103)
Ayat ini merupakan respons langsung dari Allah SWT terhadap sekelompok orang, khususnya mereka yang sebelumnya lalai dalam menunaikan kewajiban dan kemudian datang dengan penuh penyesalan (bertaubat) untuk menyerahkan sebagian harta mereka sebagai kompensasi atas kelalaian masa lalu. Namun, maknanya meluas, menjadi landasan umum mengenai kewajiban zakat bagi seluruh umat. Terdapat tiga pilar utama yang terkandung dalam perintah ini: Perintah Pengambilan, Proses Pembersihan, dan Doa Ketenangan.
I. Analisis Lafziyah: Membongkar Makna Setiap Kata
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap kata Arab yang digunakan, karena Al-Qur'an memiliki ketepatan terminologis yang luar biasa.
A. Khudz (Ambillah) - Perintah Otoritatif
Kata kerja ‘Khudz’ (خُذْ) adalah bentuk perintah (fi’l amr) yang sangat tegas. Perintah ini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Implikasi dari kata ‘Khudz’ adalah kewenangan penuh (otoritas) untuk mengambil. Ini bukan sekadar ajakan, tetapi penetapan hak dan kewajiban bagi otoritas negara (atau yang mewakilinya) untuk mengumpulkan zakat secara paksa jika diperlukan. Mayoritas ulama, terutama dari mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa zakat harus dikumpulkan oleh negara dan bukan hanya diserahkan secara sukarela oleh individu. Penggunaan ‘Khudz’ menetapkan Zakat sebagai hak Allah yang harus dipenuhi, bukan sekadar sedekah opsional.
Kedalaman Perintah Khudz
Perintah ‘Khudz’ menunjukkan bahwa urusan zakat adalah urusan publik (al-maslahah al-'ammah), bukan urusan privat semata. Jika zakat dibiarkan hanya menjadi urusan individu, tujuan sosial dan ekonomi besarnya, yakni pemerataan dan jaminan sosial, tidak akan tercapai maksimal. Peran Negara sebagai pemungut, pengelola, dan pendistribusi adalah krusial untuk memastikan keadilan dan efisiensi. Ini membedakan Zakat dari sedekah sunnah yang diserahkan tanpa intervensi otoritas.
B. Min Amwalihim (Dari Harta Mereka)
Penggunaan kata ‘Min’ (مِنْ) yang berarti ‘dari sebagian’ menunjukkan bahwa yang diambil adalah sebagian kecil dari total harta, bukan seluruhnya. Ini menegaskan konsep dasar zakat sebagai persentase tertentu (Nishab dan haul) yang tidak memberatkan. Frasa ‘Amwalihim’ (harta mereka) merujuk pada harta benda yang telah memenuhi syarat wajib zakat (nishab dan haul), seperti emas, perak, hasil pertanian, niaga, dan ternak.
Konsep Kepemilikan dan Hak Allah
Walaupun Allah memerintahkan untuk mengambil dari harta mereka, ini sekaligus menegaskan pengakuan terhadap kepemilikan pribadi. Islam menghormati kepemilikan individu, tetapi mengingatkan bahwa dalam harta tersebut terdapat hak orang lain—hak yang telah ditetapkan oleh Allah. Zakat adalah hak fakir miskin yang dititipkan dalam harta si kaya. Dengan demikian, pengeluaran zakat bukan kerugian, melainkan pelunasan kewajiban terhadap pemegang hak yang sebenarnya.
C. Shadaqatan (Sedekah/Zakat)
Meskipun kata yang digunakan adalah ‘Shadaqah’ (صَدَقَةً), dalam konteks ayat ini, tafsir ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah Zakat Fardhu (wajib). Penggunaan kata ‘Shadaqah’ di sini memiliki makna etimologis, yaitu berasal dari kata ‘shidq’ (kejujuran). Oleh karena itu, pembayaran zakat adalah bukti kejujuran (shidq) iman seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan dalam urusan finansial adalah cerminan langsung dari keyakinan spiritual.
Perbedaan Terminologi
Pada masa awal Islam, kata ‘Shadaqah’ sering digunakan untuk merujuk pada kewajiban finansial yang ditetapkan (Zakat). Belakangan, istilah ‘Zakat’ menjadi lebih umum untuk yang wajib, sementara ‘Shadaqah’ digunakan untuk yang sunnah. Namun, dalam konteks 9:103, kewajibannya mutlak karena terkait dengan pensucian orang-orang yang bertaubat dan diperintahkan oleh otoritas (Nabi).
D. Tuthahhiruhum (Kamu Membersihkan Mereka)
Inilah inti spiritual pertama dari ayat tersebut. Kata ‘Tuthahhiruhum’ (تُطَهِّرُهُمْ) berasal dari akar kata ‘thahara’ yang berarti membersihkan atau mensucikan. Pembersihan ini memiliki dimensi ganda:
- Pembersihan Harta: Zakat membersihkan harta yang tersisa dari keraguan, hak orang lain, atau potensi keberadaan subjek yang haram. Harta yang telah dizakati menjadi suci dan berkah.
- Pembersihan Jiwa (Tathhir Batin): Zakat membersihkan jiwa pembayar dari sifat-sifat buruk seperti kikir (bukhul), ketamakan, dan cinta dunia berlebihan. Sifat kikir adalah penyakit hati yang berbahaya, dan zakat adalah penawarnya.
Makna Tathhir dalam Konteks Dosa
Dalam konteks Asbabun Nuzul (penyebab turunnya ayat) yang terkait dengan para pelaku dosa yang bertaubat, Tathhir berarti pembersihan dari noda dosa akibat kelalaian mereka sebelumnya. Pembayaran zakat menjadi salah satu bentuk kaffarat (tebusan) yang mensucikan catatan amal mereka di hadapan Allah.
E. Wa Tuzakkihim Biha (Dan Kamu Menyucikan/Mengembangkan Mereka Dengannya)
Setelah tahap pembersihan (Tathhir) selesai, datanglah tahap kedua yang lebih mendalam: Tazkiyah (تُزَكِّيهِمْ). Kata ‘Zakka’ memiliki arti ganda: menyucikan dan menumbuhkan/mengembangkan. Tazkiyah menunjukkan hasil positif dan progresif setelah pembersihan:
- Penyucian Jiwa yang Mendalam: Tazkiyah adalah proses spiritualisasi yang meningkatkan kualitas jiwa, membawa kepada kedekatan dengan Allah.
- Pertumbuhan dan Keberkahan Harta: Harta yang dizakati tidak berkurang nilainya, melainkan secara spiritual dan ekonomi justru bertambah (berkah). Keberkahan ini mungkin tidak selalu terlihat secara kuantitatif, tetapi pasti dirasakan dalam kualitas hidup, ketenangan, dan manfaat yang dihasilkan.
- Pertumbuhan Iman dan Kebaikan: Orang yang terbiasa memberi zakat akan melatih dirinya menjadi dermawan, yang pada akhirnya menumbuhkan sifat-sifat baik lainnya dalam diri.
Tathhir adalah penghapusan negatif (dosa, kekikiran); Tazkiyah adalah penanaman positif (pertumbuhan, keberkahan, iman yang murni). Kedua proses ini harus berjalan beriringan dan diwujudkan melalui perantara harta (Biha).
F. Wa Shalli Alaihim (Dan Berdoalah untuk Mereka)
Ini adalah bagian unik dari ayat ini yang menunjukkan peran kepemimpinan spiritual. Perintah ini ditujukan kepada Nabi SAW untuk mendoakan orang-orang yang telah menunaikan zakat. Doa dari seorang pemimpin yang saleh, khususnya doa dari Nabi, membawa dampak spiritual yang besar.
G. Inna Shalataka Sakanun Lahum (Sesungguhnya Doamu Itu Ketenangan Jiwa Bagi Mereka)
Kata ‘Sakan’ (سَكَنٌ) berarti ketenangan, kedamaian, atau tempat perlindungan. Ketika Nabi mendoakan mereka yang berzakat, doa itu berfungsi sebagai penenang jiwa. Bagi mereka yang bertaubat, doa ini menguatkan keyakinan mereka bahwa taubat mereka telah diterima dan mereka kembali berada di jalur yang benar. Bagi pembayar zakat secara umum, doa ini memberikan rasa aman (aman dari murka Allah, aman dari kecemasan harta, dan ketenangan batin).
II. Asbabun Nuzul: Konteks Wahyu dan Taubat
Meskipun ayat 103 Surah At-Taubah berfungsi sebagai perintah umum tentang zakat, banyak mufassir menghubungkannya secara spesifik dengan kisah Taubat. Surah At-Taubah secara keseluruhan banyak membahas tentang peperangan, perjanjian, dan kelompok-kelompok yang lalai atau munafik. Ayat 103 adalah bagian dari serangkaian ayat yang membahas penerimaan taubat dari orang-orang Mukmin yang tulus yang sebelumnya tertinggal dalam Perang Tabuk.
Kisah Tujuh Orang yang Mengaku Dosa
Setelah Perang Tabuk, beberapa sahabat yang terlambat atau tidak ikut berperang tanpa alasan yang dibenarkan datang menghadap Rasulullah SAW. Mereka merasa sangat menyesal atas kelalaian mereka. Tujuh dari mereka (atau dua belas menurut riwayat lain) mengaku dosa dan menawarkan seluruh harta mereka sebagai sedekah, berharap itu akan menghapus dosa mereka. Rasulullah SAW menolak tawaran untuk mengambil seluruh harta mereka. Kemudian turunlah ayat 102 dan 103:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka; mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]: 102)
Setelah ayat 102 turun, diikuti oleh ayat 103, yang memberikan instruksi spesifik kepada Rasulullah SAW: ambil sebagian dari harta mereka (zakat) sebagai pembersih. Dengan demikian, zakat di sini berfungsi sebagai bagian dari proses taubat dan pensucian. Ini mengajarkan bahwa penyesalan spiritual harus diwujudkan dalam tindakan finansial yang nyata.
Penolakan Atas Seluruh Harta
Penolakan Nabi SAW terhadap tawaran para sahabat untuk menyerahkan seluruh harta mereka adalah pelajaran fiqih yang penting: Islam tidak menganjurkan penyerahan seluruh kekayaan hingga membuat diri dan keluarga terlantar. Zakat diambil hanya dari sebagian (Min Amwalihim) sehingga sisa harta masih dapat digunakan untuk menafkahi diri dan keluarga, menegaskan keseimbangan antara ibadah dan tanggung jawab duniawi.
III. Implikasi Fiqh dan Hukum: Zakat sebagai Hak Negara
Ayat 103 At-Taubah adalah dalil terkuat yang digunakan para fuqaha (ahli fiqh) untuk menetapkan status zakat sebagai ibadah finansial yang memiliki dimensi sosial-politik yang kuat. Ini menetapkan dua hal krusial dalam hukum Islam.
A. Kewajiban Mutlak Penguasa untuk Mengambil
Perintah ‘Khudz’ (Ambillah) menjadi dasar bahwa penguasa Islam (Imam atau Daulah) tidak hanya berhak, tetapi juga wajib untuk mengumpulkan zakat. Jika seorang Muslim menolak membayar zakat, penguasa berhak mengambilnya secara paksa. Bahkan, ulama sepakat bahwa penolakan terhadap kewajiban zakat dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan, sedangkan penolakan untuk membayarkannya kepada otoritas (sambil mengakui kewajibannya) dapat menyebabkan perlakuan tegas oleh negara, sebagaimana terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Riddah (perang melawan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Khalifah).
Peristiwa bersejarah ini, di mana Abu Bakar memerangi mereka yang menolak menyerahkan zakat, menunjukkan bahwa zakat bukanlah urusan amal pribadi murni. Ia adalah pilar struktural negara yang harus dipertahankan.
B. Fungsi Doa Nabi dan Penerusnya
Ayat ini secara khusus memerintahkan Nabi untuk berdoa bagi mereka yang menunaikan zakat. Para ulama fiqh berpendapat bahwa perintah ini tidak berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Pimpinan amil zakat (badan pengelola) atau penguasa, sebagai penerus tugas kenabian dalam aspek pemerintahan, disunnahkan untuk mendoakan keberkahan bagi para muzaki (pembayar zakat).
Meskipun doa dari amil tidak memiliki efek ‘Sakan’ (ketenangan) sebesar doa Nabi SAW, tradisi mendoakan muzaki tetap dianjurkan sebagai bentuk terima kasih dan penguatan spiritual, melanjutkan fungsi menenangkan yang dicontohkan dalam ayat ini.
C. Zakat sebagai Alat Pembersih Akhlak
Ayat ini secara tegas menempatkan fungsi zakat di atas aspek material semata. Zakat bertujuan untuk membersihkan (Tuthahhiruhum) dan menumbuhkan (Tuzakkihim). Oleh karena itu, fiqh zakat harus selalu mempertimbangkan tujuan moral ini. Zakat yang dikelola dengan baik tidak hanya mengisi kas negara, tetapi juga harus menghasilkan perubahan positif dalam akhlak pembayar dan penerima.
Hubungan Zakat dan Rukun Islam
Zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang menghubungkan aspek ibadah (doa, niat, kepatuhan kepada perintah Allah) dengan aspek muamalah (transaksi, harta benda, ekonomi, dan keadilan sosial). Ayat 103 adalah jembatan yang menghubungkan kedua dimensi tersebut, menjadikan zakat sebagai barometer integritas spiritual dan sosial umat.
IV. Kedalaman Spiritual: Memahami Tathhir dan Tazkiyah
Sebagaimana telah disinggung, ayat 103 menempatkan tujuan spiritual di depan tujuan ekonomi. Frasa ‘tuthahhiruhum wa tuzakkihim biha’ adalah fokus teologis utama. Pensucian dan pertumbuhan ini adalah proses yang berlapis, menjangkau dimensi individu, harta, dan komunitas.
A. Tathhir: Pembersihan Radikal
Tathhir (pembersihan) adalah tahap awal yang bersifat defensif. Ia melindungi pelakunya dari kerusakan. Dalam konteks harta, zakat menghilangkan unsur-unsur yang berpotensi merusak spiritualitas pemilik harta. Tanpa tathhir, harta yang banyak bisa menjadi sumber kesombongan, kefasikan, dan kecintaan berlebihan yang melupakan Tuhan.
Pembersihan dari Dosa dan Kekikiran
Para ulama tafsir menekankan bahwa kekikiran adalah dosa besar dalam Islam. Kekikiran bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan. Zakat memaksa hati untuk melepaskan sebagian yang dicintai (harta), sehingga mendidik jiwa untuk dermawan. Proses ini adalah pembersihan dari 'penyakit harta' yang mengikat jiwa manusia pada materialisme fana. Kekikiran, menurut Rasulullah SAW, adalah salah satu penyebab kehancuran umat terdahulu.
B. Tazkiyah: Pertumbuhan dan Kualitas
Tazkiyah (pertumbuhan/penyucian) adalah tahap ofensif, yaitu membangun dan meningkatkan kualitas. Setelah hati bersih dari kotoran kekikiran, Tazkiyah memastikan adanya peningkatan (namma) dalam kualitas keimanan. Peningkatan ini mencakup:
- Pertumbuhan Moral: Muzaki menjadi lebih peka terhadap penderitaan orang lain, menumbuhkan empati, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
- Pertumbuhan Barakah (Keberkahan): Walaupun jumlah harta berkurang secara hitungan matematis, keberkahan yang Allah tanamkan menjadikannya lebih bermanfaat, tahan lama, dan mendatangkan ketenangan.
- Pertumbuhan Posisi di Sisi Allah: Melalui Tazkiyah, hamba mencapai derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah karena ia telah mengorbankan sesuatu yang berharga demi ketaatan.
Tazkiyah Sebagai Program Hidup
Ayat ini menunjukkan bahwa Tazkiyah bukanlah kegiatan sekali waktu, melainkan program hidup yang berkelanjutan. Zakat, yang diwajibkan secara berkala (tahunan), memastikan bahwa proses pembersihan dan pertumbuhan ini terus terjadi, menjaga jiwa Muslim dari stagnasi spiritual. Tanpa Tazkiyah, ibadah ritual (seperti shalat) mungkin tidak menghasilkan buah yang maksimal dalam kehidupan sosial.
C. Doa Sebagai Pelengkap Tazkiyah
Fakta bahwa Allah SWT menyandingkan perintah pengambilan zakat (fisik/materiil) dengan perintah doa (spiritual/non-materiil) menunjukkan bahwa Tazkiyah adalah paket lengkap. Zakat memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi; doa memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (sakan). Ketenangan yang ditimbulkan oleh doa Nabi adalah konfirmasi ilahi atas keberhasilan Tazkiyah yang dilakukan oleh si pembayar zakat.
Ketenangan (Sakan) ini sangat penting, khususnya bagi para pelaku dosa yang baru bertaubat. Mereka membutuhkan jaminan psikologis dan spiritual bahwa pengorbanan mereka dihargai. Doa dari otoritas agama berfungsi sebagai meterai penerimaan taubat mereka.
V. Kajian Mendalam (A): Zakat dan Struktur Ekonomi Sosial
Ayat 103 menetapkan fondasi bagi sistem keuangan dan sosial Islam. Zakat, yang diambil berdasarkan perintah ‘Khudz’, adalah instrumen utama dalam mencapai keadilan distributif. Jika pembersihan spiritual (Tathhir) adalah manfaat bagi individu, maka pembangunan sosial adalah manfaat bagi kolektif.
Pencegahan Kesenjangan Ekstrem
Perintah zakat adalah mekanisme ekonomi yang dirancang untuk mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Zakat memastikan aliran dana secara sistematis dari kelas mampu ke delapan golongan penerima (asnaf). Ini adalah upaya proaktif untuk memitigasi kemiskinan dan ketegangan sosial yang sering timbul akibat kesenjangan yang parah. Sistem zakat yang diterapkan sesuai semangat At-Taubah 103 adalah sistem yang berkeadilan, menolak konsep kapitalisme murni yang mengabaikan dimensi etika dan spiritual.
Zakat Sebagai Kontrak Sosial
Dalam konteks Madinah pada masa Nabi, pembayaran zakat bukan hanya ibadah, tetapi juga kontrak sosial yang mengikat individu dengan komunitas dan negara. Ketika seseorang menunaikan zakat, ia mengakui kedaulatan Tuhan dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Sebagai imbalannya, ia menerima doa (Sakan) dan perlindungan dari otoritas.
Peran Amil (Pengelola Zakat)
Ayat 103 secara implisit membenarkan keberadaan amil (petugas pengumpul dan pendistribusi). Karena perintah ‘Khudz’ ditujukan kepada Nabi SAW, yang bertindak sebagai Imam dan pengelola, maka para amil adalah representasi dari otoritas tersebut. Bahkan, Al-Qur'an secara eksplisit menyebut amil sebagai salah satu dari delapan asnaf yang berhak menerima zakat, menunjukkan bahwa pengelolaan zakat adalah tugas profesional yang sah dan harus didanai dari zakat itu sendiri.
Tugas amil sangat berat, mereka harus memastikan pengambilan dilakukan secara adil, pendistribusian tepat sasaran, dan yang terpenting, mereka harus mampu melanjutkan fungsi spiritual dengan memberikan ketenangan batin kepada para muzaki, meskipun melalui cara yang berbeda dari doa kenabian.
Kajian Istinbath Hukum (Pengambilan Dalil)
Ulama ushul fiqh mengambil banyak pelajaran dari ayat ini, terutama mengenai kaidah ‘Al-Amru lil Wujub’ (perintah menunjukkan kewajiban). Karena ‘Khudz’ adalah perintah, maka pengambilan zakat adalah wajib. Selain itu, ayat ini adalah dalil bahwa ketaatan terhadap perintah finansial adalah indikator keimanan yang harus direspon oleh otoritas dengan penghargaan spiritual (doa).
Jika ada perselisihan antara penguasa dan rakyat mengenai besaran zakat atau waktu pembayarannya, otoritas memiliki hak untuk memutuskan berdasarkan perintah ‘Khudz’. Ini menjamin stabilitas dan keberlangsungan operasional lembaga zakat.
Integrasi antara aspek materi dan spiritual yang ditunjukkan dalam ayat ini telah menjadi model bagi semua lembaga ekonomi Islam berikutnya, menekankan bahwa transaksi keuangan harus selalu dilandasi oleh tujuan pensucian dan moralitas (akhlak) di atas sekadar perolehan keuntungan material.
VI. Kajian Mendalam (B): Tazkiyah dalam Konteks Al-Qur'an dan Sunnah
Konsep Tazkiyah (pensucian dan pertumbuhan) yang ditekankan dalam At-Taubah 103 merupakan tema sentral dalam misi kenabian Muhammad SAW. Ayat ini menghubungkan kewajiban finansial (Zakat) dengan tujuan utama risalah (Tazkiyah).
Tazkiyah Sebagai Misi Kenabian
Dalam beberapa ayat lain, Allah SWT menjelaskan bahwa salah satu fungsi utama Rasulullah SAW adalah melakukan Tazkiyah terhadap umatnya. Misalnya, dalam QS. Al-Jumu'ah [62]: 2:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan (tazkiyah) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah).”
Dari ayat ini, kita melihat bahwa Tazkiyah adalah proses yang berjalan beriringan dengan pembacaan ayat (pendidikan tauhid) dan pengajaran Kitab dan Sunnah (hukum dan hikmah). At-Taubah 103 menunjukkan bahwa Tazkiyah tidak hanya dicapai melalui ceramah atau pengajaran, tetapi juga melalui kepatuhan terhadap perintah finansial. Zakat adalah alat praktis untuk Tazkiyah.
Tazkiyah dan Penghindaran Riya’
Salah satu hambatan terbesar dalam pertumbuhan spiritual adalah riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin didengar). Ayat 103, dengan penekanan pada pengambilan oleh otoritas, membantu membersihkan niat. Ketika zakat diambil secara terstruktur dan transparan, meskipun masih harus dilandasi niat, potensi riya’ dapat diminimalisir dibandingkan sedekah yang bersifat pamer di hadapan publik. Tindakan penyerahan kepada amil zakat adalah tindakan kepatuhan murni kepada sistem yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Peran Harta dalam Pensucian
Harta adalah ujian terbesar bagi manusia. Zakat membuktikan bahwa seorang Muslim mampu melepaskan ikatan duniawi demi ketaatan. Ia mengakui bahwa harta itu sementara dan bahwa keberkahan sejati datang dari Allah. Kualitas hati yang rela berkorban inilah yang disucikan dan dikembangkan melalui proses Tazkiyah.
Dalam ilmu tasawuf, Tazkiyah an-Nafs (pensucian jiwa) adalah perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan akhlak. Zakat, yang diwajibkan oleh At-Taubah 103, adalah langkah awal yang nyata dan terukur dalam perjalanan ini. Tanpa langkah ini, pensucian spiritual seringkali hanya menjadi teori kosong.
Zakat bukan sekadar redistribusi kekayaan. Zakat adalah terapi jiwa kolektif. Ia menyembuhkan penyakit individual (kekikiran) dan penyakit sosial (ketidakadilan ekonomi). Dengan demikian, tujuan At-Taubah 103 adalah membangun masyarakat yang sehat secara finansial dan spiritual.
VII. Pemantapan Konsep: Implikasi Kepemimpinan dan Ketenangan
Perintah ganda—mengambil harta dan berdoa—menegaskan fungsi ganda kepemimpinan Islam: fungsi eksekutif (pemerintahan dan hukum) dan fungsi spiritual (pembimbingan dan penjagaan moral). Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan dalam Islam yang ideal.
Kewenangan Mengambil Harta (Khudz)
Perintah ‘Khudz’ memastikan bahwa negara memiliki kekuatan hukum untuk menegakkan syariat ekonomi. Jika sebuah negara mengabaikan perintah ini, ia berisiko gagal dalam menegakkan salah satu pilar utama kesejahteraan sosial. Kewenangan ini harus digunakan dengan bijak, adil, dan transparan, sesuai dengan semangat Tazkiyah. Pengambilan zakat harus disertai dengan edukasi yang berkelanjutan tentang manfaat Tathhir dan Tazkiyah.
Keseimbangan Otoritas dan Rahmat
Otoritas yang keras dalam pengambilan (Khudz) diimbangi dengan rahmat dalam spiritualitas (Wa Shalli Alaihim). Ini mengajarkan para pemimpin bahwa penegakan hukum harus selalu disertai dengan kasih sayang (rahmat), dukungan moral, dan doa. Pemimpin yang hanya fokus pada aspek hukum tanpa memberikan dukungan spiritual akan menciptakan ketidaknyamanan, sementara pemimpin yang hanya fokus pada aspek spiritual tanpa penegakan hukum akan menciptakan kekacauan ekonomi.
Keseimbangan ini, yang tertuang dalam At-Taubah 103, adalah cetak biru kepemimpinan Islam yang efektif dan menenangkan (Sakan).
Ketenangan (Sakan) sebagai Imbalan Spiritual
Konsep ‘Sakan’ yang dihasilkan dari doa Nabi adalah imbalan non-material yang jauh lebih berharga daripada imbalan duniawi apa pun. Ketenangan batin, rasa aman, dan kepastian bahwa ketaatan telah diterima oleh Allah adalah puncak dari pencapaian spiritual seorang Mukmin. Zakat, sebagai ibadah yang memisahkan diri dari harta yang dicintai, membutuhkan penenang ini.
Penyakit jiwa modern, seperti kecemasan, stres, dan ketidakpuasan, seringkali berakar pada kekhawatiran berlebihan terhadap harta benda. Ketika seseorang menunaikan zakat dengan niat tulus, dan mendapatkan jaminan (baik melalui doa pemimpin atau melalui janji Al-Qur'an), ia melepaskan sebagian dari kecemasannya. Harta yang tersisa menjadi berkah karena ia telah menyerahkan hak Allah yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, At-Taubah 103 tidak hanya mengatur kewajiban fiskal, tetapi juga menawarkan resep psikologis dan spiritual untuk mencapai kedamaian sejati melalui kepatuhan dan pelepasan. Ayat ini adalah undangan untuk mempercayai sepenuhnya janji Allah tentang pertumbuhan dan keberkahan.
Zakat dan Istiqamah (Konsistensi)
Ayat 103 sering diturunkan dalam konteks orang-orang yang bertaubat dan mencari konsistensi (istiqamah). Kewajiban zakat, yang terus berulang, berfungsi sebagai pengujian konsistensi iman mereka. Setiap tahun, seorang Muslim diuji: apakah ia akan kembali kikir, ataukah ia akan istiqamah dalam jalan Tazkiyah? Ayat ini memastikan bahwa proses Tazkiyah adalah disiplin seumur hidup.
Jika kita menganalisis struktur bahasa Arab ayat tersebut, kita melihat hubungan kausalitas yang kuat: pengambilan zakat (Khudz) adalah sebab, dan pensucian/pertumbuhan (Tathhir dan Tazkiyah) adalah akibatnya. Tidak ada pensucian yang sempurna tanpa kepatuhan finansial ini.
Pemahaman ini mendorong kita untuk melihat zakat bukan sebagai beban, melainkan sebagai hak istimewa yang diberikan Allah agar kita dapat membersihkan diri kita sendiri. Sebagaimana kita membersihkan diri dari hadas kecil dan besar dengan wudu dan mandi untuk shalat, kita membersihkan harta kita dengan zakat untuk menjadikannya layak dan berkah di hadapan Allah.
VIII. Menafsirkan 'Min Amwalihim' Lebih Jauh: Sifat Harta Zakat
Frasa ‘Min Amwalihim’ (dari harta mereka) memerlukan eksplorasi lebih lanjut mengenai kriteria harta yang wajib dizakati. Meskipun ayat ini umum, ia menjadi pijakan bagi Nabi dan para sahabat untuk merumuskan hukum rinci tentang jenis harta yang termasuk dalam kategori zakat, yang dikenal sebagai 'amwal zakawiyah'.
Harta yang Bertumbuh (An-Nami)
Para ulama sepakat bahwa Zakat, sesuai dengan semangat Tazkiyah (pertumbuhan), hanya wajib atas harta yang memiliki potensi pertumbuhan (an-nami) atau harta yang secara aktual menghasilkan (misalnya, hasil pertanian). Ini termasuk:
- Aset Investasi (Tijarah): Barang dagangan yang diperuntukkan untuk dijual-beli.
- Aset Produksi (Pertanian dan Ternak): Penghasilan dari tanah atau hewan ternak yang menghasilkan susu, keturunan, atau dijual.
- Emas dan Perak: Yang merupakan standar moneter, dan kini mencakup mata uang kontemporer.
Harta pribadi yang digunakan untuk kebutuhan pokok (rumah tinggal, kendaraan pribadi, perabotan) dikecualikan dari zakat. Filosofi ini sangat relevan dengan tujuan pensucian. Zakat membersihkan potensi kekikiran yang melekat pada akumulasi kekayaan yang tidak produktif atau kekayaan yang berlebihan.
Implikasi Harta Zakat Terhadap Taubat
Jika kita kembali pada konteks taubat di mana ayat ini diturunkan, harta yang diambil dari mereka yang bertaubat adalah sebagai bentuk kompensasi atas kerugian sosial dan spiritual yang timbul akibat kelalaian mereka. Oleh karena itu, besaran dan jenis harta zakat harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan, yang telah diatur secara rinci dalam Sunnah Nabi SAW.
Jika seseorang bertaubat dari dosa yang melibatkan hak orang lain (seperti harta haram atau penipuan), proses tathhir (pembersihan) hanya sempurna jika ia mengembalikan hak tersebut kepada pemiliknya. Jika tidak dapat dikembalikan, harta itu disalurkan ke jalan Allah (seperti Baitul Mal atau fakir miskin). Zakat dalam 9:103 adalah bentuk pensucian harta yang sah secara hukum, tetapi telah 'tercemar' oleh kelalaian kewajiban sebelumnya.
IX. Penutup: Mengabadikan Nilai At-Taubah 103 di Era Kontemporer
Surat At-Taubah ayat 103, meskipun diturunkan dalam konteks spesifik para sahabat yang bertaubat, memberikan prinsip universal yang abadi dalam sistem Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas dan ekonomi tidak boleh dipandang sebagai dua entitas yang terpisah. Keduanya harus terintegrasi di bawah naungan Tazkiyah.
Di era modern, di mana sistem keuangan global seringkali didominasi oleh ketidakadilan dan ketamakan, nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ini menjadi semakin relevan. Lembaga zakat modern, yang bertindak sebagai penerus fungsi amil dan otoritas, harus selalu berpegang pada tiga prinsip utama 9:103:
- Otoritas (Khudz): Memiliki keberanian dan sistem yang kuat untuk mengumpulkan zakat secara profesional dan wajib.
- Pensucian (Tathhir wa Tazkiyah): Memastikan bahwa setiap dana yang dikumpulkan dan didistribusikan menghasilkan pembersihan moral bagi muzaki dan pemberdayaan serta pertumbuhan bagi mustahik.
- Ketenangan (Sakan): Memberikan jaminan spiritual dan rasa aman kepada pembayar zakat, mengukuhkan keyakinan mereka bahwa Allah telah menerima amal mereka.
Keindahan dari ayat ini terletak pada janji Allah: ia adalah obat. Ia membersihkan harta dari hak orang lain, membersihkan jiwa dari kekikiran, dan memberikan ketenangan batin yang melampaui perhitungan materi. Mengamalkan At-Taubah 103 adalah langkah esensial menuju pembangunan masyarakat yang adil, sejahtera, dan suci secara spiritual.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang menunaikan zakat harus merenungkan makna mendalam dari 'Tathhir' dan 'Tazkiyah'. Mereka tidak hanya memenuhi rukun Islam, tetapi mereka juga berpartisipasi dalam program pensucian ilahi yang menjamin keberkahan di dunia dan ketenangan abadi di akhirat.
Proses Tazkiyah ini adalah cerminan dari seluruh ajaran Islam yang menghendaki kesucian dan pertumbuhan. Zakat adalah wujud konkrit ketaatan yang membuahkan kedamaian. Ketika seorang Muslim menerima janji ketenangan (Sakan) dari Allah melalui tindakan kepatuhan finansialnya, ia menyadari bahwa seluruh hidupnya, termasuk hartanya, adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Kesempurnaan iman dicapai ketika harta tidak lagi menjadi ikatan, tetapi menjadi jembatan menuju keridhaan Ilahi. Zakat, sebagai realisasi dari At-Taubah 103, adalah bukti nyata dari pembebasan spiritual ini.
X. Elaborasi Lanjutan Mengenai Dimensi Sosiologis Zakat
Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi, "Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka," dampaknya segera terasa pada struktur sosial masyarakat Madinah. Sebelum Islam, sistem sosial sering didasarkan pada kekerasan, sukuisme, dan penumpukan harta tanpa kepedulian. Ayat 103 mengubah dinamika ini secara fundamental.
Zakat sebagai Pilar Persaudaraan (Ukhuwah)
Zakat memaksa interaksi antara si kaya dan si miskin, tetapi interaksi ini diframing dalam konteks ibadah dan kewajiban, bukan sekadar belas kasihan (charity). Si kaya menunaikan hak Allah, dan si miskin menerima haknya. Ini menghilangkan potensi rasa malu bagi penerima dan potensi kesombongan bagi pemberi. Hubungan yang terjalin adalah hubungan persaudaraan di mana salah satu pihak membantu pihak lain untuk tumbuh dan suci.
Pencegahan Rasa Iri dan Dengki
Dalam masyarakat yang memiliki kesenjangan ekonomi yang lebar, potensi konflik dan rasa iri sangat tinggi. Zakat berfungsi sebagai katup pengaman sosial. Si miskin tahu bahwa Allah telah menetapkan bagian untuk mereka dari harta si kaya, sehingga mengurangi rasa permusuhan. Si kaya, melalui Tazkiyah, belajar untuk berempati dan menghargai rezeki yang diberikan Allah.
Aspek Hukum dan Administrasi Khudz
Bagaimana Khudz ini diimplementasikan secara administratif? Pada masa Nabi SAW, amil dikirim ke berbagai wilayah untuk mengumpulkan zakat ternak dan hasil bumi. Proses ini harus dilakukan dengan adil, tanpa menekan atau menakut-nakuti para muzaki. Nabi SAW memberikan instruksi yang ketat agar amil tidak mengambil harta terbaik dari muzaki, tetapi juga tidak mengambil harta terburuk. Ini adalah bagian dari proses Tathhir dan Tazkiyah: zakat haruslah harta yang baik agar pensuciannya maksimal.
Prinsip keadilan dalam pengambilan ini menegaskan bahwa perintah ‘Khudz’ harus dijalankan dengan rahmat dan kebijaksanaan. Otoritas harus kuat, tetapi tidak zalim. Otoritas harus tegas, tetapi juga pendoa bagi rakyatnya.
Mengapa 'Wa Shalli Alaihim' Begitu Penting?
Jika Tazkiyah sudah terjadi secara otomatis melalui pengeluaran zakat, mengapa Nabi SAW harus berdoa? Doa (Shalli Alaihim) adalah penguatan aspek spiritual. Dalam terminologi agama, amalan yang diterima adalah amalan yang dibimbing oleh niat yang benar dan diakhiri dengan harapan rahmat Allah. Doa Nabi adalah perwujudan rahmat Allah, yang memastikan bahwa amalan mereka bukan hanya diterima, tetapi juga menenangkan jiwa mereka.
Di luar konteks spesifik taubat, doa ini secara umum berfungsi sebagai bentuk penghargaan dan jaminan spiritual atas kepatuhan seorang hamba terhadap perintah Ilahi yang begitu mendasar. Ia mengukuhkan hubungan spiritual antara pemimpin (otoritas) dan umatnya.
XI. Kontinuitas Tazkiyah: Zakat dan Jihad Nafs
Ayat 103 ini juga dapat dilihat dalam kerangka jihadun nafs (perjuangan melawan hawa nafsu). Salah satu nafsu terbesar adalah kecintaan yang berlebihan terhadap harta. Tazkiyah yang dihasilkan oleh zakat adalah bentuk jihad melawan nafsu kikir (bukhul).
Setiap pembayaran zakat adalah kemenangan kecil atas setan dan hawa nafsu yang selalu membisikkan kekhawatiran akan kemiskinan dan kehilangan. Ketika seorang Muslim mampu mengatasi bisikan ini dan dengan ikhlas menyerahkan hak Allah, ia telah mencapai derajat pensucian yang tinggi. Proses Tathhir dan Tazkiyah adalah buah dari jihad finansial ini.
Dalam pandangan ulama kontemporer, penekanan pada Tazkiyah dalam 9:103 harus menginspirasi lembaga zakat untuk tidak hanya fokus pada angka dan distribusi, tetapi juga pada program-program pemberdayaan yang menghasilkan perubahan akhlak pada mustahik. Pemberdayaan bukan hanya memberi ikan, tetapi juga mengajarkan memancing sekaligus membersihkan jiwa mereka dari ketergantungan dan keputusasaan, memungkinkan mereka untuk melakukan Tazkiyah diri mereka sendiri kelak ketika mereka menjadi muzaki.
Zakat adalah siklus suci: si kaya memberikan untuk Tazkiyah dirinya, dan si miskin menerima untuk Tazkiyah hidupnya, menciptakan masyarakat yang terus tumbuh dan suci di bawah rahmat Allah SWT.
Pesan akhir dari Surat At-Taubah ayat 103 ini adalah panggilan universal untuk melihat harta sebagai alat, bukan tujuan. Tujuan hakiki adalah pensucian jiwa, pertumbuhan iman, dan ketenangan batin. Semua ini, dengan rahmat Allah, dapat dicapai melalui kepatuhan total terhadap perintah untuk menunaikan Zakat.