Surat At-Taubah, yang dikenal sebagai salah satu surat terpenting dalam Al-Qur'an, membahas secara mendalam tentang perjanjian, keikhlasan, jihad, dan ujian keimanan. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, Ayat 25 berdiri tegak sebagai pengingat abadi tentang realitas pertolongan Allah (Nushrah) yang melampaui perhitungan materi dan kekuatan duniawi. Ayat ini tidak hanya mencatat peristiwa sejarah yang monumental, tetapi juga memberikan pedoman spiritual bagi setiap Muslim yang menghadapi kesulitan besar, mengajarkan bahwa kuantitas bukanlah penentu kemenangan hakiki.
Surat At-Taubah (Pengampunan) adalah surat ke-9 dalam mushaf Al-Qur'an dan merupakan surat Madaniyah, yang diturunkan setelah peristiwa Hijrah, berfokus pada hukum dan peperangan. Ayat 25 secara spesifik membahas salah satu pertempuran paling kritis yang dialami umat Islam: Perang Hunain.
(25) Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi bangga karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan berbalik.
Ayat 25 adalah narasi langsung mengenai Perang Hunain, yang terjadi pada tahun 8 Hijriah, tak lama setelah Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah). Pembebasan Mekah telah meningkatkan moral dan jumlah kaum Muslimin secara signifikan. Namun, kemenangan besar ini justru menjadi pangkal ujian keimanan berikutnya.
Perang Hunain adalah perang pertama di mana jumlah pasukan Muslim mencapai angka yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu sekitar 12.000 orang (10.000 yang datang dari Madinah dan 2.000 mualaf baru dari Mekah). Angka ini jauh melampaui jumlah pasukan yang pernah bertempur dalam Perang Badr (313 orang) atau Perang Uhud. Jumlah yang besar ini memunculkan rasa bangga dan keyakinan diri yang berlebihan di kalangan sebagian prajurit.
Para ahli tafsir, termasuk Imam At-Tabari, meriwayatkan perkataan sebagian Muslim saat melihat jumlah mereka: "Kita tidak akan kalah hari ini karena sedikitnya jumlah." Perasaan inilah yang oleh Al-Qur'an disorot sebagai 'ujian'. Ketika hati bersandar pada kekuatan materi (jumlah, senjata), bukan pada Pertolongan Ilahi, maka hasil yang didapat adalah kebalikannya.
Pasukan musuh, yang terdiri dari kabilah Hawazin dan Tsaqif, dipimpin oleh Malik bin Auf Al-Nashri. Mereka adalah ahli panah yang sangat piawai dan telah mengatur strategi penyergapan yang cerdik di celah-celah Lembah Hunain yang sempit. Ketika kaum Muslimin memasuki lembah tersebut sebelum fajar, mereka tidak menyadari bahwa musuh telah bersembunyi di bebatuan dan celah-celah terjal.
Penyergapan mendadak terjadi. Hujan panah menghujani pasukan Muslimin dari segala arah. Keadaan ini menciptakan kekacauan yang ekstrem. Ayat 25 menggambarkan momen ini dengan frasa: "maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu."
Pasukan Muslimin yang berada di garda depan, terutama yang baru memeluk Islam (mualaf Makkah), langsung porak-poranda. Mereka berbalik dan lari tanpa memikirkan barisan. Kepanikan menyebar dengan cepat. Frasa "kemudian kamu lari ke belakang dengan berbalik (summa wallaitum mudbirīn)" mencerminkan betapa parahnya kekacauan tersebut. Bahkan, kuda-kuda dan unta-unta yang membawa barang bawaan saling bertabrakan, menghalangi jalan keluar.
Dalam situasi yang mencekam ini, hanya segelintir sahabat yang tetap teguh di sisi Rasulullah ﷺ, termasuk Abbas bin Abdul Muttalib, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa Muhajirin dan Anshar senior. Rasulullah ﷺ sendiri menunjukkan keteguhan luar biasa, menyeru para sahabat dengan panggilan khas, mengingatkan mereka pada janji-janji Allah.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, perlu dilakukan analisis terhadap kata kunci yang digunakan oleh Al-Qur'an. Pilihan kata dalam ayat 25 sangatlah presisi, mencerminkan kondisi psikologis dan spiritual kaum Muslimin pada saat itu.
Penggunaan huruf penegas *Laqad* menunjukkan bahwa pertolongan Allah adalah janji yang pasti dan telah terbukti berkali-kali di masa lalu (seperti Badr, Khandaq). Penegasan ini berfungsi sebagai teguran lembut: Mengapa kalian melupakan pertolongan yang pasti hanya karena melihat jumlah materi?
Kata *Mawāthin* (jamak dari *Mauthin*) berarti tempat atau kedudukan. Ini merujuk pada banyak pertempuran atau situasi sulit lainnya di mana kaum Muslimin meraih kemenangan meskipun dalam kondisi lemah, seperti Badr atau ketika menghadapi pengepungan besar. Ayat ini mengingatkan bahwa pola kemenangan bukan terletak pada jumlah, tetapi pada keteguhan iman dan ketaatan.
Kata kunci di sini adalah *A'jabatkum*, yang mengandung makna kekaguman yang berlebihan, yang sering kali berujung pada keangkuhan atau kesombongan (ujub). Ini adalah akar masalah spiritual yang menyebabkan kekalahan awal. Kepercayaan pada diri sendiri melebihi kepercayaan kepada Dzat yang Memberi Pertolongan. Tafsir Ibn Katsir menegaskan bahwa inilah titik kritis ujian: ketika manusia lupa bahwa segala kekuatan adalah milik Allah semata.
Penggunaan kata *Katsratukum* (banyaknya jumlahmu) adalah kritik langsung. Jumlah yang besar seharusnya menjadi berkah, tetapi jika disikapi dengan keangkuhan, ia berubah menjadi musibah yang menghalangi Pertolongan Ilahi.
Ini adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan kepanikan psikologis dan fisik. Secara fisik, lembah Hunain memang sempit, tetapi dalam konteks ini, ia menggambarkan kondisi batiniah. Meskipun berada di bumi yang luas, hati menjadi sempit, pikiran terhalang, dan rasa aman hilang total. Hal ini menunjukkan bahwa ketenangan (*sakinah*) adalah anugerah spiritual, bukan hasil dari lingkungan fisik.
Ini adalah deskripsi tindakan mundur dan melarikan diri dari medan perang (tawalli). Ini adalah aib besar dalam peperangan, tetapi Al-Qur'an merekamnya secara jujur untuk menunjukkan parahnya keadaan dan sebagai pengingat akan kelemahan manusiawi ketika ditinggalkan oleh *sakinah* Allah.
Ayat 25 At-Taubah menawarkan beberapa pelajaran teologis fundamental yang melampaui konteks militer Perang Hunain. Pelajaran ini relevan bagi perjuangan spiritual, ekonomi, dan sosial umat Islam sepanjang masa.
Pelajaran terpenting adalah larangan bersandar pada kekuatan diri sendiri, kekayaan, atau jumlah. *Ujub* (self-admiration/keangkuhan diri) adalah penyakit hati yang merusak. Ayat ini mengajarkan bahwa ujian terbesar terkadang datang setelah kemenangan besar. Setelah penaklukan Mekah, kaum Muslimin merasa telah mencapai puncak kekuatan, dan inilah yang menyebabkan mereka sejenak lalai.
Dalam kehidupan modern, *ujub* dapat termanifestasi sebagai kebanggaan akan gelar, kekayaan, jumlah pengikut, atau kecerdasan. Ketika seseorang merasa 'sudah cukup' tanpa pertolongan Allah, ia akan ditinggalkan dan menghadapi kesempitan, meskipun dunianya luas.
Islam menuntut adanya usaha (*asbab*), seperti menyiapkan pasukan dan strategi. Namun, Ayat 25 mengingatkan bahwa usaha harus diiringi dengan tawakal (berserah diri) yang murni. Pasukan di Hunain telah berusaha maksimal (mengumpulkan 12.000 orang), tetapi hati mereka bersandar pada *asbab* tersebut, bukan pada Pemberi *asbab*. Kemenangan sejati adalah perpaduan harmonis antara strategi terbaik manusia dan penyerahan total kepada kehendak Ilahi.
Kemenangan di Hunain akhirnya diraih, tetapi prosesnya menunjukkan bahwa kemenangan bukanlah semata-mata hasil dari kalkulasi matematika. Kemenangan sejati berakar pada:
Walaupun Ayat 25 ditutup dengan deskripsi kepanikan, ia menjadi pendahuluan penting untuk pemahaman tentang *sakinah* yang dijelaskan di ayat setelahnya. Ketiadaan *sakinah* yang terjadi ketika pasukan bangga dengan jumlah mereka adalah akar dari rasa sempitnya bumi.
Sakinah secara harfiah berarti ketenangan, kedamaian, atau ketenteraman. Dalam terminologi Al-Qur'an, *sakinah* adalah anugerah spiritual dari Allah yang menenangkan hati seorang mukmin saat menghadapi bahaya, kekacauan, atau ujian. Hilangnya *sakinah* di Hunain membuat mereka melihat 12.000 pasukan sebagai angka yang tidak berarti, dan bumi menjadi penjara.
Para mufassir menjelaskan bahwa *sakinah* adalah prasyarat kemenangan. Ketika hati dipenuhi *sakinah*, seseorang tidak lagi melihat musuh, kesulitan, atau kekurangan materi sebagai ancaman mutlak, karena pandangannya terarah kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
Dalam tafsir modern, pelajaran ini diterapkan pada tantangan hidup sehari-hari. Ketika seseorang merasa tertekan oleh utang, pekerjaan yang sulit, atau masalah keluarga, seolah-olah bumi terasa sempit baginya. Solusinya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarah Hunain, bukanlah dengan mengandalkan kekayaan atau teman yang banyak, melainkan dengan memohon *sakinah* agar hati kembali tenang dan mampu mengambil keputusan rasional.
Ulama dari berbagai mazhab dan era telah memberikan penekanan luar biasa pada Ayat 25 At-Taubah karena sifatnya yang merupakan kritik ilahi terhadap kondisi mental umat.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa kejadian Hunain adalah peringatan yang nyata bahwa hasil akhir tidak pernah bergantung pada penyebab duniawi. Beliau merujuk pada ucapan seorang sahabat yang mengatakan, "Kita tidak akan dikalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit." Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ucapan ini, meskipun diniatkan baik (ingin menguatkan), telah merusak keikhlasan tawakal mereka, sehingga Allah membiarkan mereka diuji dengan kekalahan awal yang memalukan.
Menurut beliau, Allah ingin mengajarkan umat Islam bahwa meskipun mereka telah melakukan persiapan terbaik, kemenangan hanya datang dari-Nya. Kegagalan awal di Hunain berfungsi sebagai pendidikan spiritual kolektif yang keras.
Imam Al-Qurtubi fokus pada bagian akhir ayat, *“tsumma wallaitum mudbirīn”* (kemudian kamu lari ke belakang dengan berbalik). Meskipun melarikan diri dari medan jihad adalah dosa besar (kecuali dalam kondisi strategi tertentu), Al-Qurtubi mencatat bahwa dalam konteks Hunain, Allah memaafkan mereka. Ayat ini diturunkan untuk mendidik dan memarahi mereka, bukan untuk menghukum mereka atas dosa besar melarikan diri. Pengampunan ini dikarenakan faktor kepanikan ekstrem dan segera diturunkannya *sakinah* yang mengembalikan mereka ke medan perang.
Pelajaran fikihnya adalah bahwa keadaan darurat psikologis dapat meringankan hukuman, tetapi hal itu harus segera diikuti dengan taubat dan kembali kepada ketaatan, sebagaimana yang dilakukan oleh sisa pasukan Muslimin.
Dalam kajian kontemporer, Ayat 25 sering dianalisis dalam konteks manajemen krisis dan kepemimpinan. Pemimpin yang hebat (Rasulullah ﷺ) adalah yang tetap teguh dan mampu memanggil kembali pasukannya di tengah kekacauan total. Ayat ini mengajarkan bahwa krisis tidak hanya diatasi dengan sumber daya yang banyak, tetapi dengan ketegasan pemimpin spiritual dan inti kekuatan yang solid (para sahabat senior yang tetap bertahan).
Dalam konteks organisasi atau negara, Ayat 25 mengingatkan bahwa ketika krisis melanda, yang runtuh pertama kali adalah mereka yang mendasarkan diri pada ilusi kekayaan atau jumlah, sementara yang bertahan adalah mereka yang memiliki fondasi moral dan kepercayaan yang teguh.
Frasa *“bumi yang luas itu terasa sempit olehmu”* adalah inti psikologis dari ayat ini. Perluasan tema ini menunjukkan bagaimana pandangan terhadap dunia dapat berubah drastis hanya karena kondisi batin.
Kesempitan yang dialami di Hunain disebabkan oleh dua hal: kegagalan eksternal (penyergapan) dan kegagalan internal (ujub). Ketika hati terganggu oleh ujub, ketidakpercayaan muncul, dan Allah menahan pertolongan-Nya. Akibatnya, setiap kesulitan, seberapa pun kecilnya, terasa mematikan. Ini adalah manifestasi hukuman duniawi bagi kesombongan spiritual.
Jika kita meninjau secara mendalam kondisi spiritual kaum Muslimin saat itu, mereka baru saja menyaksikan kebesaran Islam di Mekah. Mereka merasa tak terhentikan. Rasa tak terhentikan inilah yang membuat mereka rentan. Kesempitan bumi berfungsi sebagai 'alat kalibrasi' ilahi, memaksa mereka menyadari bahwa mereka hanyalah hamba yang lemah tanpa dukungan Allah.
Ayat 25 secara implisit memaksa perbandingan dengan Perang Badr. Di Badr, jumlah Muslim hanya sekitar 313 orang melawan ribuan musuh. Secara logistik, mereka pasti akan kalah. Namun, hati mereka murni, tawakal mereka sempurna. Mereka tidak punya keangkuhan. Hasilnya: kemenangan telak dan turunya ribuan malaikat. Hunain, dengan 12.000 pasukan, justru mengalami kekalahan awal. Perbedaan kuncinya terletak pada 'kualitas hati' (keikhlasan dan tawakal), bukan 'kuantitas fisik'.
Ayat 25 menjadi pedoman penting bagi umat Islam di zaman modern yang seringkali terobsesi dengan data statistik, jumlah pemilih, kekuatan ekonomi, atau media sosial. Kecenderungan untuk merasa bangga dengan 'banyaknya kita' (katsratukum) tanpa diimbangi dengan kualitas iman yang murni akan selalu berujung pada kesempitan dan kekalahan batin.
Jika umat hanya mengandalkan kemampuan diplomatik, teknologi, atau kekayaan mereka sendiri, mereka akan diuji. Ketika ujian itu datang, bumi, yang semula tampak penuh peluang, akan menjadi sempit dan menyesakkan, persis seperti yang terjadi di lembah Hunain.
Oleh karena itu, pesan abadi Ayat 25 adalah seruan untuk introspeksi mendalam: periksa sumber kepercayaanmu. Apakah ia bersandar pada angka-angka manusia, ataukah bersandar pada Janji Allah yang pasti?
Meskipun Ayat 25 menggambarkan kegagalan dan kepanikan, ia sebenarnya adalah ayat harapan yang monumental. Ayat ini mempersiapkan pembaca untuk Ayat 26, di mana Allah menunjukkan kasih sayang-Nya dengan menurunkan *sakinah* dan para tentara yang tidak terlihat.
Kegagalan di Hunain hanyalah sementara. Itu adalah teguran yang cepat, diikuti oleh pemulihan yang cepat pula. Ini menunjukkan bahwa meskipun hamba melakukan kesalahan dan terjerumus dalam keangkuhan (ujub), pintu taubat dan pertolongan Allah selalu terbuka lebar bagi mereka yang kembali kepada-Nya dengan tulus.
Kesimpulan dari Ayat 25 adalah bahwa Allah senantiasa menolong hamba-Nya di medan yang banyak, dan jika terjadi kegagalan, itu adalah cerminan dari kegagalan internal (keangkuhan), bukan karena kegagalan kapasitas Allah. Selama kaum Muslimin kembali menyadari kelemahan diri dan bersandar total kepada Sang Pencipta, ketenangan batin (*sakinah*) akan diturunkan, dan kemenangan, baik di medan perang maupun dalam kehidupan pribadi, akan menjadi kepastian, terlepas dari seberapa sempitnya bumi terasa.