Menyingkap Hikmah Surat At-Taubah Ayat 36: Ketetapan Waktu, Keagungan Hukum, dan Seruan Taqwa

Ilustrasi Kalender Kosmik dan Empat Bulan Suci Sebuah ilustrasi yang menggambarkan keteraturan waktu Ilahi, dengan 12 segmen bulan mengelilingi pusat, dan empat segmen di antaranya ditandai sebagai suci, merefleksikan Surat At-Taubah 36. القَيِّمُ Dzulhijjah Muharram Rajab Dzulqa'dah

Empat Bulan Haram (Arba'atun Hurum) dalam siklus tahunan.

Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah, adalah surah Madaniyah yang diturunkan pada periode kritis dalam sejarah Islam, yaitu setelah peristiwa Perang Tabuk dan menjelang tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah ﷺ. Surah ini secara spesifik berisi proklamasi pemutusan hubungan dan perjanjian dengan kaum musyrikin yang telah berulang kali melanggar kesepakatan, serta menetapkan hukum-hukum penting terkait perang, zakat, dan sistem sosial Islam.

Di antara ayat-ayat krusial yang membentuk dasar kosmologi, hukum, dan moralitas Islam, terletaklah ayat ke-36. Ayat ini tidak hanya merevolusi pemahaman tentang waktu tetapi juga memberikan fondasi hukum yang mendalam mengenai kesucian, keadilan, dan ketaatan kolektif. Ayat ini adalah jembatan yang menghubungkan ketetapan alam semesta dengan perintah etika praktis.

Naskah dan Terjemah Surat At-Taubah Ayat 36

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَـٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَـٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah [9]: 36)

Ayat ini dapat dibagi menjadi tiga pilar utama yang saling terkait erat: Ketetapan Kosmis (Waktu dan Kalender), Ketetapan Hukum (Bulan Haram dan Larangan Kezaliman), dan Ketetapan Moral/Perang (Perintah Jihad dan Taqwa).

Pilar Pertama: Ketetapan Kosmis dan Keteraturan Waktu Ilahi

Bagian pertama ayat ini, "إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا" (Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan), menegaskan bahwa sistem penanggalan yang sah di sisi Allah adalah sistem dua belas bulan. Penegasan ini memiliki implikasi historis dan teologis yang sangat mendalam.

1. Penolakan terhadap Manipulasi Kalender (Nasi')

Sebelum turunnya ayat ini, masyarakat Arab pra-Islam memiliki kebiasaan yang disebut An-Nasi’. Praktik ini adalah manipulasi kalender (interkalasi) di mana mereka menggeser penamaan atau penetapan Bulan Haram agar sesuai dengan kepentingan mereka, terutama kebutuhan untuk berperang atau menghindari perang. Jika mereka ingin berperang pada bulan yang seharusnya haram, mereka akan menyatakan bulan itu halal dan memindahkan keharaman ke bulan lain. Praktik ini secara tegas dikutuk dalam ayat berikutnya (At-Taubah: 37).

Ayat 36 datang sebagai proklamasi Ilahi yang mengembalikan keteraturan kosmis. Ia menyatakan bahwa jumlah 12 bulan bukanlah hasil konsensus manusia atau kebiasaan kesukuan, melainkan ketetapan yang telah ada “فِى كِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ” (dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi).

Ini berarti bahwa sistem kalender yang berbasis pada peredaran bulan (Qamariyah) dengan jumlah 12 bulan adalah sistem yang melekat pada struktur penciptaan alam semesta. Penanggalan Qamariyah, yang digunakan untuk menentukan ibadah krusial seperti Ramadan (puasa), Dzulhijjah (Haji), dan penentuan Bulan Haram, adalah penanggalan yang abadi, tidak dapat diubah oleh kepentingan temporal manusia.

2. Hakikat Kitabullah dan Penciptaan

Penyebutan Kitabullah di sini merujuk pada Lauhul Mahfuzh, atau catatan abadi tentang segala ketetapan Allah. Ini memberikan dimensi sakralitas total pada siklus waktu. Waktu bukanlah sekadar urutan angka, melainkan rangkaian kejadian yang telah diatur dan dicatat sejak sebelum penciptaan.

Keterkaitan dengan penciptaan langit dan bumi menekankan universalitas hukum ini. Keteraturan 12 bulan bersifat kosmik, bukan hanya lokal Arab. Sebagaimana rotasi bumi dan pergerakan bulan terikat pada hukum fisika yang ditetapkan Tuhan, demikian pula pembagian waktu menjadi 12 siklus bulanan adalah hukum metafisik yang mendasari tatanan agama yang benar. Jika manusia mencoba mengubah tatanan waktu ini, mereka merusak tatanan agama mereka sendiri, yang dijelaskan di bagian berikutnya.

Kajian mendalam tentang konsep 12 bulan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa Islam menuntut kepatuhan terhadap sistem waktu yang otentik. Manipulasi waktu sama dengan manipulasi ibadah, dan manipulasi ibadah adalah inti dari kesesatan dalam beragama. Oleh karena itu, menegakkan kalender yang benar adalah bagian integral dari menegakkan agama yang lurus.

Pelajaran Kosmologis:

Ayat ini mengajarkan bahwa waktu, sebagai manifestasi dari ciptaan, adalah suci. Perhitungan yang benar terhadap waktu adalah bentuk kepatuhan terhadap Sang Pencipta. Segala bentuk intervensi atau penggeseran kalender adalah upaya penyelewengan yang bertentangan dengan desain Ilahi.

Pilar Kedua: Keagungan dan Kesucian Empat Bulan Haram

Dari dua belas bulan yang ditetapkan Allah, ayat tersebut menunjuk secara khusus kepada empat bulan dengan status yang ditinggikan: "مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ" (di antaranya empat bulan haram). Walaupun ayat ini tidak menyebutkan nama-nama bulan tersebut secara eksplisit, hadis-hadis sahih dan konsensus ulama menetapkannya sebagai:

  1. Dzulqa'dah (Bulan ke-11)
  2. Dzulhijjah (Bulan ke-12)
  3. Muharram (Bulan ke-1)
  4. Rajab (Bulan ke-7)

Tiga bulan pertama berurutan, memberikan masa damai dan aman bagi jamaah haji untuk melakukan perjalanan menuju dan dari Makkah. Rajab adalah bulan yang terpisah, yang secara historis memberikan kesempatan bagi mereka yang datang dari jarak jauh untuk menunaikan umrah (pada masa itu dikenal sebagai umrah Rajabiyyah) atau sekadar berziarah.

1. Makna Historis dan Hukum 'Haram'

Kata Haram (حُرُمٌ) berarti terlarang atau suci. Dalam konteks ini, keharaman tersebut berlaku ganda:

Penetapan Bulan Haram ini adalah bukti rahmat Allah dan keinginan-Nya untuk menciptakan periode kedamaian (Pax Dei) yang dapat diandalkan setiap tahun, bahkan di tengah masyarakat yang cenderung konfliktual seperti masyarakat Arab Jahiliah. Islam mengadopsi dan menyempurnakan konsep ini, menjadikannya bagian dari "ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ" (agama yang lurus).

2. Ketetapan Agama yang Lurus (Ad-Dīnul Qayyim)

Ayat melanjutkan: "ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ" (Itulah ketetapan agama yang lurus). Penegasan ini menggarisbawahi bahwa sistem penanggalan yang benar dan penghormatan terhadap Bulan Haram adalah penanda kebenaran agama. Agama yang lurus (Al-Qayyim) adalah agama yang seimbang, adil, dan stabil. Kezaliman dan kekacauan kalender mencerminkan agama yang bengkok; keteraturan dan keadilan mencerminkan agama yang lurus.

Di sini, hukum syariat (pembatasan perang, penekanan moral) bertemu dengan ketetapan kosmis (12 bulan). Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Agama yang lurus adalah agama yang menghormati batas-batas yang ditetapkan Allah, baik batas waktu maupun batas moral.

Pilar Ketiga: Peringatan Keras terhadap Kezaliman (Zhulm)

Inti moral dari ayat ini, yang berlaku sepanjang masa, adalah larangan tegas: "فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ" (maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu).

Peringatan ini bersifat umum, melarang segala bentuk kezaliman (Zhulm), namun ia dikhususkan untuk Bulan Haram. Mengapa? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kezaliman yang dilakukan pada Bulan Haram memiliki dosa yang jauh lebih besar dan bobotnya lebih berat di sisi Allah, sebagaimana amal kebaikan yang dilakukan di dalamnya juga dilipatgandakan pahalanya.

1. Definisi Kezaliman (Zhulm) yang Komprehensif

Kezaliman (Zhulm) bukan hanya berarti mengambil hak orang lain. Dalam konteks Al-Qur'an, ia mencakup tiga tingkatan utama:

A. Kezaliman terhadap Allah (Asy-Syirk)

Bentuk kezaliman terbesar adalah syirik (menyekutukan Allah). Hal ini mencakup segala bentuk pengingkaran terhadap tauhid yang murni. Berbuat syirik, atau mendekati perbuatan syirik, pada Bulan Haram adalah kezaliman yang sangat serius, karena melanggar kesucian waktu yang telah Allah tetapkan.

Meskipun Surah At-Taubah secara keseluruhan berhubungan dengan pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin, peringatan ini mengingatkan orang-orang beriman agar tidak kembali tergelincir pada praktik-praktik yang merusak tauhid, terutama saat ibadah haji dan umrah sedang berlangsung (Dzulhijjah dan Rajab).

B. Kezaliman terhadap Orang Lain (Pelanggaran Hak)

Ini mencakup segala bentuk pelanggaran hak-hak manusia, seperti mencuri, menipu, berkhianat, membunuh (kecuali dalam kondisi perang yang sah), dan menzalimi anak yatim atau orang lemah. Karena Bulan Haram diciptakan untuk keamanan, melanggar keamanan orang lain pada waktu ini adalah kezaliman yang melipatgandakan bobot dosa.

Misalnya, praktik riba atau penimbunan yang merugikan masyarakat, yang mungkin dianggap "dosa biasa" di bulan lain, menjadi jauh lebih berbahaya secara spiritual jika dilakukan selama Bulan Haram. Ayat ini menuntut tingkat kehati-hatian sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

C. Kezaliman terhadap Diri Sendiri (Al-Ma'ashi)

Setiap dosa yang dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun tidak melibatkan orang lain, pada hakikatnya adalah kezaliman terhadap dirinya sendiri, karena ia menempatkan jiwanya dalam posisi bahaya siksaan. Melakukan dosa-dosa besar, atau bahkan memperbanyak dosa-dosa kecil, pada Bulan Haram adalah bentuk merusak diri sendiri di waktu yang sangat sensitif secara spiritual. Ini termasuk meninggalkan kewajiban, melalaikan salat, atau melakukan maksiat secara sembunyi-sembunyi.

Para mufassir menekankan bahwa peringatan "فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ" harus dipahami sebagai ajakan untuk meningkatkan tingkat ibadah (taqarrub) dan menjauhi maksiat (taharrum) secara ekstrem selama empat bulan tersebut. Waktu itu menjadi cawan penguji bagi kesungguhan iman seorang hamba.

Peningkatan Bobot Amal:

Kezaliman di Bulan Haram diperberat dosanya. Hal ini berlaku secara simetris: Ketaatan dan amal saleh di Bulan Haram, seperti puasa sunnah, sedekah, dan zikir, juga dilipatgandakan pahalanya, mendorong umat Islam untuk memanfaatkan periode ini sebagai musim spiritualitas yang intensif.

2. Relevansi Kezaliman di Era Kontemporer

Meskipun konteks awal ayat ini berkaitan dengan penghentian perang, konsep Zhulm tetap relevan secara menyeluruh hingga kini. Dalam masyarakat modern, kezaliman seringkali muncul dalam bentuk yang lebih halus:

Ayat ini mengingatkan kita bahwa empat bulan ini harus menjadi periode resolusi moral, di mana kita secara aktif mengevaluasi dan memperbaiki kezaliman, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang kita lakukan terhadap diri sendiri atau orang lain.

Pilar Keempat: Perintah Pertahanan Kolektif dan Janji Taqwa

Ayat 36 beralih dari hukum waktu dan moral pribadi ke perintah yang bersifat kolektif dan militer, yang sangat relevan dengan konteks Surah At-Taubah secara keseluruhan:

"dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

1. Hukum Perang di Bulan Haram: Interpretasi Kaffah

Perintah "وَقَـٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَـٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً" (perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya) muncul segera setelah larangan berbuat zalim di Bulan Haram. Ini menimbulkan pertanyaan fiqh: Apakah ayat ini menasakh (menggantikan) larangan berperang di Bulan Haram?

Mayoritas ulama tafsir dan fiqh menyimpulkan bahwa perintah ini tidak sepenuhnya menasakh larangan tersebut, tetapi ia memberikan pengecualian krusial yang harus dipahami dalam konteks Surah At-Taubah:

A. Prinsip Pertahanan Diri (Self-Defense)

Ayat ini beroperasi berdasarkan prinsip timbal balik: "sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya." Jika musuh melanggar kesucian Bulan Haram dan menyerang umat Islam, maka umat Islam wajib membalas dan mempertahankan diri, tanpa menunggu hingga bulan berlalu. Status haram tidak boleh dijadikan alat oleh musuh untuk menyerang tanpa balasan.

B. Jihad Kolektif (Kāffatan)

Kata Kāffatan (كَآفَّةً) yang diulang dua kali berarti 'semuanya' atau 'secara kolektif'. Ini memerintahkan umat Islam untuk menghadapi musuh secara bersatu dan menyeluruh, tidak terpecah-pecah, sama seperti musuh juga beroperasi secara kolektif melawan mereka. Ini adalah seruan untuk persatuan dan mobilisasi total dalam menghadapi ancaman eksistensial, yang merupakan tema sentral dalam konteks pasca-Tabuk.

Namun, dalam pandangan yang lebih luas, perintah ini juga merujuk pada pemutusan perjanjian yang telah dikhianati, yang menghasilkan perintah perang yang lebih umum, berlaku setelah periode Bulan Haram berakhir, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya dalam surah ini.

2. Penutup Ayat: Allah Beserta Orang-orang yang Bertakwa

Ayat 36 ditutup dengan janji mulia: "وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ" (dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa).

Ini adalah kesimpulan yang menyatukan semua perintah di atas. Keberpihakan Allah bukanlah kepada mereka yang kuat secara militer atau mereka yang cerdas secara politis, melainkan kepada Al-Muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Taqwa adalah benang merahnya. Bagaimana taqwa terwujud dalam ayat ini?

Janji kebersamaan Allah (Ma'iyyah) adalah dukungan, bimbingan, dan pertolongan. Orang yang bertakwa tidak hanya mendapatkan pahala di akhirat, tetapi juga dukungan Ilahi yang sangat dibutuhkan untuk menegakkan keadilan di dunia ini.

Analisis Lanjutan: Mendalami Konsep Kezaliman dan Konsekuensi Spiritualnya

Untuk memahami sepenuhnya urgensi larangan "فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ", perluasan konsep Zhulm menjadi sangat penting, terutama dalam konteks perbandingan bobot dosa di waktu yang sakral.

1. Kezaliman Melalui Pengabaian Sunnah dan Ibadah

Kezaliman diri yang paling umum adalah pengabaian. Ketika Allah menetapkan waktu suci, Dia membuka pintu rahmat yang lebih lebar. Pengabaian terhadap kesempatan ini, seperti tidak meningkatkan salat sunnah, tidak berpuasa sunnah (kecuali pada Rajab yang merupakan bulan haram tunggal yang sering dikaitkan dengan puasa sunnah, dan Dzulhijjah yang di dalamnya ada puasa Arafah), atau tidak memperbanyak istighfar, adalah bentuk kezhaliman spiritual.

Seseorang menzalimi dirinya sendiri ketika ia tahu bahwa amal di bulan itu berlipat ganda, namun ia malah memilih kemalasan dan kelalaian. Kezaliman ini merampas kesempatan jiwa untuk naik derajat di sisi Allah.

2. Peran Bulan Haram dalam Pembentukan Karakter (Tazkiyatun Nafs)

Empat bulan ini berfungsi sebagai sekolah moral tahunan. Jika Ramadan adalah madrasah intensif selama sebulan, Bulan Haram adalah tiga periode jeda yang dihormati, menuntut Muslim untuk mempertahankan tingkat ketaatan yang lebih tinggi daripada bulan-bulan biasa. Ini membantu membentuk kebiasaan spiritual yang berkelanjutan (istiqamah).

Dengan demikian, larangan berbuat zalim adalah mekanisme preventif untuk memastikan Muslim memasuki dan menjalani siklus spiritual ini dengan hati yang bersih.

Kajian Fiqh: Mengatasi Kekeliruan Interpretasi

Perluasan konteks keilmuan terhadap At-Taubah 36 juga harus menyentuh isu-isu fiqh yang muncul dari perdebatan historis, terutama terkait konsep Nasi’ dan status hukum perang.

1. Pemulihan Kalender yang Murni

Salah satu pencapaian terbesar dari ayat 36 dan 37 adalah pemulihan kalender Islam ke formatnya yang murni. Rasulullah ﷺ dalam Haji Wada' (Perpisahan) menyatakan bahwa waktu telah kembali kepada bentuk aslinya (berdasarkan peredaran bulan yang sebenarnya), menghapus semua modifikasi yang dilakukan melalui praktik Nasi'.

Ayat ini secara permanen membatalkan kalender berbasis interkalasi (penambahan hari atau bulan untuk menyamakan dengan tahun matahari) untuk tujuan ibadah. Kalender Hijriyah adalah manifestasi dari Dīnul Qayyim dalam urusan waktu. Keakuratan dalam penentuan awal bulan (ru’yatul hilal) adalah ibadah itu sendiri, karena ia menghormati ketetapan waktu sejak penciptaan.

2. Status Perang: Prinsip Defensif yang Dominan

Meskipun terdapat perbedaan pendapat klasik mengenai apakah semua larangan perang di Bulan Haram telah dinasakh oleh ayat-ayat perang yang lebih umum, pandangan yang kuat dan lebih hati-hati (ahwat) adalah bahwa larangan perang ofensif (penyerangan tanpa alasan) tetap berlaku, sementara perang defensif diperbolehkan, bahkan diwajibkan jika diserang.

Ayat 36 sendiri memberikan batasan: "sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya." Ini memastikan bahwa hukum Islam tidak menempatkan umatnya dalam posisi rentan hanya karena ketaatan pada batas waktu. Kesucian waktu harus dihormati, tetapi kedaulatan dan nyawa umat Islam juga harus dilindungi. Oleh karena itu, larangan berbuat zalim di Bulan Haram juga berarti larangan melanggar perjanjian damai tanpa alasan yang sah.

Implementasi Praktis At-Taubah 36 dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana seorang Muslim di era modern menerapkan perintah dan hikmah dari At-Taubah 36, mengingat tantangan dan struktur sosial yang berbeda?

1. Menghormati Waktu dengan Ketepatan

Penerapan pertama adalah disiplin waktu. Jika Allah telah menetapkan 12 bulan dan menuntut akurasi dalam perhitungan waktu ibadah, seorang Muslim harus disiplin dalam penggunaan waktunya sehari-hari. Menepati janji, datang tepat waktu, dan tidak menunda pekerjaan (semua ini adalah bentuk penghormatan terhadap waktu) merupakan cerminan dari menghormati ketetapan kosmis. Keterlambatan dan kemalasan adalah bentuk kezaliman terhadap waktu dan potensi diri.

2. Sikap Ekstra Hati-hati selama Bulan Haram

Saat memasuki Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, seorang Muslim harus secara sadar meningkatkan kesadaran spiritualnya. Ini bukan hanya tentang menghindari dosa besar, tetapi juga menjauhi dosa-dosa kecil yang sering terabaikan (seperti ghibah, prasangka buruk, dan berkata kasar).

Peningkatan amal selama periode ini harus menjadi prioritas. Puasa pada hari-hari tertentu (seperti Puasa Muharram atau Ayyamul Bidh), memperbanyak shalat malam, dan meningkatkan frekuensi sedekah dapat menjadi praktik nyata dalam memanfaatkan "musim spiritual" ini.

3. Menjaga Persatuan Umat (Kāffatan)

Meskipun konteks perang fisik mungkin tidak relevan bagi mayoritas Muslim saat ini, perintah untuk bertindak kāffatan (secara kolektif/bersatu) tetap relevan dalam konteks dakwah, sosial, dan ekonomi. Umat Islam diperintahkan untuk bersatu dalam menghadapi tantangan, baik itu kemiskinan, kebodohan, atau ancaman moral.

Perpecahan internal, saling menjatuhkan, atau menyebarkan kebencian di antara Muslim adalah bentuk kezaliman diri yang kolektif. Menghormati Bulan Haram juga berarti menjaga kedamaian dan harmoni sosial di dalam komunitas Muslim sendiri.

Penegasan Akhir: Tiga Tingkat Makna Ayat 36

Surat At-Taubah ayat 36 adalah ringkasan luar biasa dari hukum dan etika Islam. Ia bergerak mulus dari konsep alam semesta yang luas hingga ke detail moralitas pribadi, dan berakhir pada perintah kolektif serta janji Ilahi.

Tingkat I: Kosmologi dan Teologi Waktu

Allah adalah Pencipta Waktu. Waktu adalah bagian dari ketetapan-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Penanggalan Qamariyah yang lurus (12 bulan) adalah kehendak-Nya. Kepatuhan pada kalender ini adalah kepatuhan pada tatanan kosmik Ilahi.

Tingkat II: Hukum dan Moralitas Sakral

Empat bulan tertentu (Haram) memerlukan tingkat penghormatan dan kehati-hatian moral yang lebih tinggi. Larangan berbuat zalim di masa ini adalah fondasi moral yang menegakkan agama yang lurus. Ia menuntut pengorbanan keinginan pribadi demi ketaatan yang lebih besar.

Tingkat III: Tindakan Kolektif dan Janji Akhir

Umat Islam harus bersatu dalam pertahanan (jika diserang) dan dalam menjauhi kezaliman. Keberhasilan, keamanan, dan pertolongan Allah (Ma’iyyah) secara eksklusif diberikan kepada mereka yang berhasil menginternalisasi semua perintah ini, yaitu Al-Muttaqin.

Ayat 36 ini tidak sekadar memberikan peraturan kalender; ia memberikan panduan hidup abadi. Ia mengikat keadilan di bumi dengan ketetapan di langit, memastikan bahwa setiap tindakan manusia—besar atau kecil—selalu diukur dengan timbangan Ilahi, terutama pada musim-musim yang telah disucikan.

Merenungkan ayat ini adalah merenungkan stabilitas yang Allah berikan kepada kehidupan kita melalui struktur waktu yang tidak berubah. Sementara manusia terus menerus berusaha mengubah dan memanipulasi, Allah mengingatkan bahwa fondasi keberagamaan yang lurus (Ad-Dīnul Qayyim) terletak pada penerimaan dan penghormatan terhadap batasan-batasan suci yang telah Dia ciptakan sejak awal penciptaan. Dengan menjaga diri dari kezaliman pada waktu-waktu suci ini, seorang hamba sesungguhnya tengah mempersiapkan dirinya untuk menerima kebersamaan Allah yang abadi.

Penting untuk diingat bahwa keagungan At-Taubah 36 terletak pada kemampuannya menyatukan dimensi ibadah (Haji, Umrah), dimensi keamanan (penghentian perang), dan dimensi etika pribadi (larangan dosa). Ayat ini adalah panggilan untuk menggapai kesempurnaan etika di setiap musim kehidupan, dengan kesadaran penuh bahwa setiap detak jam dicatat dalam Kitabullah.

Pada akhirnya, pemahaman dan pengamalan Surat At-Taubah ayat 36 adalah pengakuan bahwa kita hidup dalam sistem yang teratur, suci, dan penuh makna, yang dirancang oleh Sang Pencipta bagi keselamatan dan kesuksesan kita, asalkan kita senantiasa berada dalam barisan orang-orang yang bertakwa.

***

***

Ekstensifikasi Kajian: Detil Linguistik dan Dampak Sosial dari Empat Bulan Haram

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita perlu kembali menilik setiap frase kunci dengan lensa linguistik dan sejarah yang lebih tajam. Detail-detail inilah yang memperkaya kandungan hukum dan etika dalam At-Taubah 36.

1. Analisis Mendalam Kata 'Iddah (عِدَّةَ)

Kata ‘Iddah berarti jumlah, hitungan, atau bilangan. Dalam konteks ini, ia menegaskan kuantitas yang pasti: 12. Pilihan kata ini menolak setiap argumen yang mencoba mengubah jumlah bulan dalam setahun. Secara linguistik, ‘Iddah membawa konotasi ketetapan yang tak dapat diganggu gugat. Ini adalah penanda keaslian dan kemutlakan hukum Ilahi mengenai waktu. Ketika Allah berfirman ‘Iddah, itu berarti hitungan yang sudah ditetapkan, bukan hitungan yang bisa diubah-ubah oleh kesepakatan suku atau otoritas temporal mana pun.

Penekanan pada bilangan ‘Iddah, yang diimbangi dengan struktur kosmik (penciptaan langit dan bumi), menunjukkan bahwa jika manusia mengubah ‘Iddah (jumlah bulan), ia merusak harmoni yang telah ditetapkan sejak awal mula, sehingga mengganggu Dīnul Qayyim. Inilah yang menjadi dasar bagi penolakan keras terhadap Nasi’ dalam ayat berikutnya.

2. Perbandingan Bulan Qamariyah vs. Syamsiyah

Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit melarang penggunaan kalender Syamsiyah (matahari) untuk urusan duniawi, penegasan 12 bulan yang terkait dengan ibadah (Haji, Puasa, Bulan Haram) secara tak terhindarkan merujuk pada tahun Qamariyah (bulan). Tahun Qamariyah, yang lebih pendek 10-11 hari daripada tahun Syamsiyah, memastikan bahwa ibadah besar seperti Ramadan dan Haji berotasi melalui semua musim. Hal ini menunjukkan keadilan Tuhan: setiap Muslim di berbagai belahan dunia akan mengalami ibadah puasa baik di musim dingin (pendek) maupun musim panas (panjang), serta haji di berbagai kondisi cuaca.

Keadilan rotasi musim ini adalah interpretasi lain dari frasa Dīnul Qayyim—agama yang adil dan lurus. Jika kalender ibadah dipatok pada tahun matahari, ibadah hanya akan jatuh pada musim tertentu, memberikan keuntungan atau kesulitan permanen bagi wilayah tertentu.

3. Makna Khusus 'Empat Bulan Haram'

Mengapa empat, dan mengapa yang itu? Penetapan empat bulan ini mencerminkan hikmah sosial dan ekonomi:

Kekuatan ayat 36 adalah bahwa ia mengesahkan praktik sosial yang baik (keamanan, perdagangan, ibadah) dengan legitimasi teologis yang tak terhindarkan: ini adalah ketetapan Allah, bukan kesepakatan manusia. Melanggar keharaman bulan-bulan ini berarti meruntuhkan tatanan sosial, ekonomi, dan ibadah.

***

Menyelami Kedalaman Konsep Kezaliman (Zhulm) di Bulan Haram

Pembahasan tentang kezaliman harus diperluas lebih jauh, karena ini adalah perintah etis yang paling pribadi dalam ayat tersebut. Para ulama tafsir menekankan bahwa kezaliman dalam konteks waktu suci memiliki efek domino yang merusak.

1. Kezaliman Sebagai Ketidaksesuaian (Wadh’u Asy-Syay’i fi Ghayri Mawdi’ihi)

Secara etimologis, Zhulm berarti menempatkan sesuatu di tempat yang tidak semestinya. Dalam konteks Bulan Haram, kezaliman berarti:

  1. Menempatkan ketaatan pada posisi rendah, padahal waktu menuntut peningkatan ketaatan.
  2. Menempatkan dosa pada posisi ringan, padahal waktu menuntut peningkatan kehati-hatian.
  3. Menempatkan perang pada posisi halal, padahal waktu menuntut damai (kecuali defensif).

Dengan demikian, kezaliman diri pada Bulan Haram adalah manifestasi dari kegagalan spiritual untuk menghargai bobot dan kesucian waktu yang dianugerahkan Allah. Ketika seseorang berbuat dosa, ia menempatkan dirinya (jiwanya) di tempat yang salah, yaitu di bawah murka Ilahi, dan penempatan yang salah ini diperparah oleh kesucian waktu.

2. Kisah Ulama dan Kehati-hatian Ekstrem

Diriwayatkan dari beberapa salafush shalih, mereka cenderung meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap kata-kata yang diucapkan selama Bulan Haram. Misalnya, mereka akan sangat berhati-hati agar tidak sampai mengucapkan sumpah yang sia-sia, atau terlibat dalam perdebatan yang sia-sia, karena mereka menyadari bahwa kesalahan kecil sekalipun bisa memiliki konsekuensi yang besar di sisi Allah selama periode ini. Ini mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang fala tazhlimu fihinna anfusakum.

Kezaliman lisan, seperti ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba), yang seringkali dianggap remeh, harus dihindari dengan sekuat tenaga di Bulan Haram. Kezaliman lisan merusak persatuan kolektif, dan perusakan persatuan adalah kezaliman terhadap perintah kāffatan.

Keterkaitan Hukum dan Moralitas: Dīnul Qayyim

Ayat 36 adalah salah satu landasan yang mendefinisikan apa itu Dīnul Qayyim, agama yang lurus. Untuk memahami Dīnul Qayyim, kita harus melihat bagaimana Islam menyelaraskan antara aturan (fiqh) dan tujuan (maqasid).

1. Stabilitas Hukum

Agama yang lurus haruslah stabil. Stabilitas ini dicapai melalui penetapan kalender yang tidak berubah (12 bulan) dan penetapan hukum yang jelas (empat bulan suci). Tanpa stabilitas waktu dan hukum, masyarakat akan hidup dalam kekacauan dan ketidakpastian. Penetapan ini memberikan struktur yang memungkinkan perencanaan ibadah (Haji), perdagangan, dan kehidupan sosial.

2. Keadilan Moral

Agama yang lurus haruslah adil. Keadilan ini tercermin dalam larangan zalim yang ditingkatkan. Jika kezaliman terhadap manusia biasa dilarang, kezaliman terhadap diri sendiri di waktu yang sakral jauh lebih dilarang. Allah menuntut keadilan sempurna, dimulai dari keadilan terhadap diri sendiri.

Konsep keadilan kolektif juga ditekankan: "perangilah... sebagaimana mereka pun memerangi kamu." Keadilan di sini adalah keadilan pertahanan (retribusi yang seimbang), bukan kezaliman agresi. Bahkan dalam kondisi perang, Islam menuntut keadilan, apalagi di masa damai.

3. Integrasi Spiritual

Pada akhirnya, Dīnul Qayyim adalah agama yang mengintegrasikan aspek spiritual (taqwa) dengan aspek duniawi (hukum perang dan waktu). Tidak ada pemisahan. Ketaatan terhadap hukum waktu (Bulan Haram) adalah sarana untuk mencapai tujuan spiritual tertinggi (Taqwa dan Ma’iyyatullah).

***

Penekanan pada Ma’iyyatullah (Kebersamaan Allah)

Penutup ayat, "وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ", adalah janji yang menghibur sekaligus menantang. Janji ini memastikan bahwa segala kesulitan dalam menjaga diri dari kezaliman dan dalam menegakkan kebenaran kolektif tidaklah sia-sia.

1. Makna 'Ma’iyyah' (Kebersamaan)

Kebersamaan Allah dengan orang-orang bertakwa (Ma’iyyah Khassah) memiliki dua implikasi utama:

2. Taqwa Sebagai Syarat Mutlak

Ayat ini secara jelas menjadikan taqwa sebagai syarat untuk mendapatkan kebersamaan Allah. Jika umat Islam menzalimi diri sendiri atau orang lain, bahkan di luar Bulan Haram, apalagi di dalamnya, mereka kehilangan hak atas kebersamaan Allah. Dengan kata lain, hubungan antara sistem waktu yang suci, larangan kezaliman, dan kemenangan kolektif diikat erat oleh satu syarat: Taqwa.

Bagi orang yang bertakwa, setiap bulan adalah bulan yang dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun di Bulan Haram, intensitas pendekatan itu harus ditingkatkan secara eksponensial. Ini adalah cara Allah menguji keikhlasan hati hamba-Nya. Apakah kita hanya menghindari dosa karena takut dihukum, atau karena kita mencintai keadilan dan ketetapan-Nya?

Keseluruhan pesan At-Taubah 36 adalah seruan untuk hidup dalam harmoni yang sempurna: Harmoni dengan waktu yang ditetapkan Ilahi, harmoni dengan diri sendiri melalui penghindaran dosa, dan harmoni dengan masyarakat melalui penegakan keadilan dan persatuan.

Ayat ini memastikan bahwa Islam bukanlah agama yang terpisah dari realitas kosmik; sebaliknya, ia adalah Dīnul Qayyim, sistem kehidupan yang lurus, yang hukumnya terukir sejak penciptaan langit dan bumi, menuntun manusia menuju Taqwa dan kebersamaan abadi dengan Sang Khaliq.

Dalam memahami kelima puluh kata berbahasa Arab ini, kita menemukan cakrawala hukum, spiritualitas, dan sejarah yang tak terbatas, menegaskan kembali bahwa setiap detail dalam wahyu Ilahi adalah peta jalan menuju keselamatan sempurna.

🏠 Homepage