Surat At-Taubah, yang berarti ‘Pengampunan’ atau ‘Pertobatan’, merupakan satu-satunya surat dalam Al-Quran yang tidak diawali dengan bacaan Basmalah. Hal ini secara umum dipahami karena kandungan surat ini yang mayoritas berbicara tentang pernyataan pemutusan hubungan (bara'ah) dengan kaum musyrikin dan munafikin, serta perintah jihad melawan mereka. Surat ini diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, setelah kemenangan besar di Mekah, dan mayoritas ayat-ayatnya fokus pada mengatur komunitas Muslim, memisahkan barisan dari orang-orang munafik, dan mempersiapkan ekspedisi militer penting, terutama Perang Tabuk.
Ayat ke-15 dari surat yang agung ini muncul sebagai bagian dari rangkaian ayat (mulai dari ayat 12 hingga 15) yang membahas hukuman bagi orang-orang yang melanggar perjanjian, mencela agama, dan berkhianat. Ayat-ayat sebelumnya menekankan perlunya memerangi mereka yang mengingkari janji dan yang berupaya merusak tatanan sosial. Namun, surat attaubah ayat 15 memberikan penutup yang sangat indah dan penuh hikmah terhadap rangkaian perintah tersebut. Ayat ini mengalihkan fokus dari tindakan fisik (perang) menuju kondisi spiritual dan keputusan mutlak yang berada di tangan Allah Yang Maha Bijaksana.
وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ۗ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"...dan Dia akan menghilangkan kemarahan hati mereka. Dan Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah [9]: 15)
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman surat attaubah ayat 15, kita harus menganalisis tiga komponen utama yang terkandung di dalamnya: penghilangan kemarahan (ghayzh), penerimaan tobat (yatūbu), dan sifat Ilahi (Alīmun Hakīm).
Kata kunci di sini adalah ghayzh (غَيْظَ), yang berarti kemarahan, dendam, atau rasa jengkel yang mendalam dan terpendam. Konteksnya merujuk pada perasaan para sahabat (kaum mukminin) terhadap musuh-musuh mereka—baik kaum musyrikin yang zalim maupun kaum munafikin yang berkhianat—yang telah menyebabkan penderitaan, penganiayaan, dan perpecahan selama bertahun-tahun. Ayat ini menjanjikan bahwa kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah, dan penegakan keadilan melalui hukuman bagi musuh, akan menjadi penawar spiritual bagi hati orang-orang beriman. Kemenangan ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga psikologis dan spiritual. Keberhasilan dalam menegakkan kebenaran akan menenangkan gejolak emosi dan dendam yang mungkin tersisa di dada mereka.
Penghilangan kemarahan ini merupakan hadiah spiritual yang luar biasa. Itu menunjukkan bahwa tujuan akhir dari perjuangan dalam Islam bukanlah sekadar balas dendam, tetapi penetapan kebenaran dan kedamaian hati. Ketika kezaliman dihilangkan, hati orang beriman kembali jernih dan damai. Ini adalah bentuk rahmat Allah yang memastikan bahwa jiwa para pejuang kebenaran tidak dikuasai oleh kebencian, melainkan dimurnikan oleh hasil ketaatan mereka.
Bagian kedua ayat ini merupakan pernyataan mutlak tentang kedaulatan Ilahi. Kata yatūbu (bertaubat/mengampuni) di sini kembali kepada Allah, yang berarti 'Allah menerima tobat'. Ungkapan عَلَىٰ مَن يَشَاءُ (atas siapa yang Dia kehendaki) menggarisbawahi bahwa tobat adalah anugerah murni dari Allah. Meskipun seorang individu berusaha untuk bertobat, penerimaan tobat itu sepenuhnya berada dalam otoritas dan kehendak mutlak Allah. Hal ini penting dalam konteks At-Taubah, di mana terdapat banyak kelompok, termasuk munafik yang awalnya menolak beriman, kemudian mencari jalan kembali.
Klausa ini mengajarkan bahwa meskipun ada perintah untuk memerangi musuh, pintu rahmat Allah tidak pernah tertutup. Allah bisa saja mengampuni siapa saja dari musuh-musuh tersebut yang benar-benar kembali kepada-Nya dengan pertobatan yang tulus (tawbatun nashuha). Ketentuan 'atas siapa yang Dia kehendaki' berfungsi sebagai penyeimbang: di satu sisi, ia memotivasi harapan akan ampunan; di sisi lain, ia mencegah seseorang merasa aman dari perhitungan Ilahi, karena penerimaan tobat adalah hak prerogatif mutlak-Nya, bukan karena paksaan atau jasa manusia semata. Ini mengingatkan mukminin untuk tidak terlalu cepat menghakimi, sebab hanya Allah yang mengetahui keadaan hati seseorang dan kebenaran tobatnya.
Penutup ayat ini dengan Asmaul Husna (Nama-Nama Indah Allah) merupakan kunci interpretasi. Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa Dia Alīmun (Maha Mengetahui) dan Hakīmun (Maha Bijaksana).
Meskipun ayat ini memiliki makna universal, konteks spesifik penurunannya sangat terkait dengan peristiwa-peristiwa penting setelah Hijrah, khususnya yang melibatkan peran kaum munafik dan pengkhianatan mereka terhadap perjanjian. Para ulama tafsir utama seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi sering mengaitkan rangkaian ayat ini dengan dua peristiwa utama: Perang Tabuk dan konflik dengan kaum munafik di Madinah.
Surat At-Taubah diturunkan setelah serangkaian kemenangan, yang juga mengungkap siapa yang beriman sejati dan siapa yang munafik. Kaum mukminin telah menderita penganiayaan, diusir, dan harus berperang berkali-kali melawan musuh yang kuat. Rasa sakit dan kemarahan akumulatif di hati para sahabat sangatlah besar. Ketika Allah memerintahkan mereka memerangi pemimpin kekafiran, dan memberantas kezaliman, surat attaubah ayat 15 datang sebagai janji bahwa tindakan ketaatan ini akan menghasilkan lebih dari sekadar kemenangan politik atau militer; ia akan menghasilkan penyembuhan batin.
Perjuangan melawan kaum munafikin sangat membebani hati mukminin. Musuh luar dapat dihadapi, tetapi musuh dari dalam yang berpura-pura beriman jauh lebih menyakitkan dan memicu "ghayzh" (amarah terpendam). Kemenangan yang dijanjikan, dan penyingkapan jati diri munafikin (yang juga merupakan tema besar At-Taubah), berfungsi sebagai alat Ilahi untuk menghilangkan rasa sakit dan kemarahan yang disebabkan oleh pengkhianatan internal tersebut. Ini adalah pemurnian komunitas dari unsur-unsur yang merusak dan penyakit hati yang ditimbulkan oleh mereka.
Bagian kedua ayat, tentang tobat yang diterima oleh Allah, berfungsi sebagai pengecualian penting. Ketika perintah untuk memerangi musuh dikeluarkan, biasanya pintu ampunan dianggap tertutup, namun Allah selalu membuka ruang. Ini adalah pesan bahwa tidak peduli seberapa parah pengkhianatan yang dilakukan, jika Allah menghendaki, Dia akan menerima tobat tulus dari sebagian orang-orang tersebut. Ini bisa merujuk pada individu dari suku-suku yang awalnya bermusuhan atau bahkan individu yang sebelumnya termasuk dalam barisan munafikin, tetapi kemudian bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Konteks historis mengajarkan bahwa kaum mukminin harus melaksanakan perintah Allah (memerangi kezaliman), tetapi mereka harus menyerahkan hasil akhir dan keputusan spiritual tentang nasib individu kepada Allah. Ini menjaga keseimbangan antara menegakkan keadilan di dunia dan mengakui otoritas mutlak Rahmat Allah di akhirat.
Ayat 15 Surat At-Taubah adalah penegasan mendalam tentang hubungan antara aksi manusia (jihad, ketaatan) dan respon Ilahi (penyembuhan, pengampunan). Ia membentuk pilar penting dalam teologi Islam yang berkaitan dengan sifat Allah dan kondisi hati manusia.
Kemenangan militer (jihad asghar) adalah sarana, tetapi kemenangan sejati (jihad akbar) adalah pemurnian hati. Janji untuk menghilangkan kemarahan (ghayzh) menunjukkan bahwa tujuan perjuangan umat Islam tidak boleh menghasilkan hati yang keras atau penuh dendam. Sebaliknya, ketaatan pada perintah Allah—bahkan yang sulit seperti perang—harus membawa kedamaian dan ketenangan. Kekalahan musuh adalah pembersihan lingkungan sosial, sementara penghilangan ghayzh adalah pembersihan internal. Seorang mukmin yang sejati, bahkan setelah berjuang keras, harus memiliki hati yang dibebaskan dari beban kebencian duniawi.
Frasa وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ menempatkan konsep tobat dalam kerangka takdir dan kehendak mutlak Allah (Iradah dan Masyi’ah). Meskipun semua orang diundang untuk bertaubat, pengampunan akhir bukanlah sesuatu yang dapat dijamin oleh ritual semata. Ini mengingatkan umat Islam untuk senantiasa rendah hati dan bergantung sepenuhnya pada Rahmat-Nya. Ayat ini menyeimbangkan antara tanggung jawab manusia (berbuat kebaikan dan bertaubat) dan kedaulatan Tuhan (menerima tobat tersebut).
Penutup وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ adalah jaminan bahwa keputusan Allah mengenai tobat dan rahmat didasarkan pada pengetahuan yang sempurna dan kebijaksanaan yang tidak terbatas. Allah tidak menerima tobat secara sembarangan. Dia mengetahui kedalaman penyesalan seseorang; Dia mengetahui apakah tobat itu tulus atau hanya taktik politik. Oleh karena itu, mukmin diinstruksikan untuk menerima segala keputusan Ilahi, baik itu kemenangan, kekalahan, hukuman, atau pengampunan, karena semuanya bersumber dari Dzat yang tidak mungkin keliru dalam Ilmu dan Hikmah-Nya.
Pemahaman tentang penghilangan 'ghayzh' (kemarahan yang mendalam) adalah salah satu poin teologis terpenting dalam surat attaubah ayat 15. Dalam konteks psikologi spiritual, ghayzh adalah penyakit hati yang dapat merusak amal dan keimanan seseorang. Ketika kezaliman merajalela, wajar jika hati orang beriman dipenuhi amarah. Namun, Islam mengajarkan bahwa amarah ini harus disalurkan dengan benar, yaitu melalui penegakan keadilan sesuai syariat, bukan melalui balas dendam pribadi yang liar.
Proses penyembuhan hati yang dijanjikan oleh ayat ini memiliki beberapa lapisan makna:
Ketika musuh-musuh yang menindas telah dikalahkan atau berbalik bertaubat, sumber kemarahan eksternal hilang. Ini adalah penyembuhan yang bersifat lahiriah. Kemenangan menenangkan hati karena janji Allah telah tergenapi dan kebenaran telah ditegakkan.
Penyembuhan batin terjadi karena mukmin menyadari bahwa mereka telah melaksanakan perintah Allah. Rasa puas karena telah menunaikan kewajiban, bahkan di tengah kesulitan, jauh lebih berharga daripada hanya sekadar membalas dendam. Ketaatan itu sendiri adalah penawar bagi hati yang sakit.
Ayat ini mengajarkan bahwa energi yang dihabiskan untuk membenci seharusnya diganti dengan energi untuk beribadah dan membangun. Ketika Allah menghilangkan ghayzh, Dia membersihkan ruang di hati untuk diisi dengan rahmat, ketenangan, dan fokus pada tujuan akhirat. Ini adalah manifestasi dari janji Al-Quran bahwa 'ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram' (QS. Ar-Ra'd: 28). Kemenangan adalah bentuk zikir Ilahi yang menentramkan.
Ayat 15 tidak dapat dipisahkan dari tiga ayat sebelumnya, yang semuanya berisi perintah tegas untuk menghadapi pengkhianat dan musuh:
Ayat 14 secara eksplisit menjanjikan 'melegakan hati kaum yang beriman' (وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ). Ayat 15 kemudian melanjutkan janji ini dengan spesifik, menyebutkan penghilangan kemarahan (وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ). Ini menunjukkan urutan yang logis dan spiritual:
Perjuangan (Ayat 12-14) → Kemenangan (Ayat 14) → Penyembuhan Hati (Ayat 15).
Allah memastikan bahwa hasil dari pelaksanaan perintah-Nya tidak hanya membawa manfaat di dunia (kemenangan), tetapi juga manfaat di akhirat dan manfaat psikologis di hati mukminin (ketenangan). Penghilangan ghayzh adalah puncak spiritual dari kampanye jihad yang sukses. Tanpa penghilangan ghayzh, kemenangan fisik bisa menjadi kosong dan hanya memindahkan dendam ke generasi berikutnya.
Meskipun Surat At-Taubah sebagian besar membahas hukum perang dan perdamaian, Ayat 15 memberikan panduan etika penting bagi prajurit dan pemimpin Muslim:
Karena Allah memiliki hak untuk menerima tobat siapa yang Dia kehendaki, hal ini menuntut kehati-hatian dalam hukuman dan eksekusi. Muslim harus siap menerima tobat musuh yang bersungguh-sungguh, bahkan setelah perang. Ayat ini menjadi dasar bagi fiqh yang mengatur tawanan perang dan mereka yang ingin memeluk Islam setelah kekalahan militer. Jika seseorang menunjukkan penyesalan sejati dan bertaubat, umat Islam harus menghormati kemungkinan bahwa Allah telah menerima tobatnya, dan karena itu, perlakuan terhadap mereka harus diubah dari musuh menjadi saudara.
Pernyataan bahwa Allah menerima tobat "atas siapa yang Dia kehendaki" menekankan bahwa penerimaan tobat adalah urusan antara hamba dan Penciptanya. Manusia tidak berhak memaksa seseorang untuk tulus bertaubat. Tanggung jawab manusia hanyalah memberikan kesempatan dan berdakwah. Hasil spiritualnya (apakah tobat itu diterima atau tidak) adalah urusan Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Ayat ini berfungsi sebagai kontrol etis pada saat kemenangan. Kemenangan seringkali memicu arogansi atau dendam. Dengan menjanjikan penghilangan kemarahan, Allah memerintahkan mukminin untuk tidak larut dalam perasaan sombong atau balas dendam, melainkan untuk menggunakan kemenangan tersebut sebagai sarana untuk mencapai kedamaian batin dan spiritualitas yang lebih tinggi. Kemenangan harus diakhiri dengan syukur dan pemurnian hati, bukan kepuasan hawa nafsu.
Dalam konteks modern, di mana konflik tidak selalu berbentuk militer, tetapi sering kali berupa konflik ideologis, sosial, dan politik, makna surat attaubah ayat 15 tetap relevan dan mendalam.
Kaum mukminin di berbagai belahan dunia menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan, diskriminasi, dan pengkhianatan, yang dapat memicu "ghayzh" yang besar dalam hati mereka. Ayat ini mengajarkan bahwa respons terhadap ketidakadilan haruslah berupa perjuangan yang sah dan berprinsip. Kemenangan sejati adalah ketika setelah perjuangan tersebut, hati tidak dipenuhi dengan kepahitan, melainkan ketenangan karena keadilan (sekecil apapun) telah ditegakkan.
Pembersihan ghayzh hari ini berarti berjuang untuk kebenaran tanpa membiarkan diri dirusak oleh kebencian abadi terhadap pelaku kezaliman. Jika pelaku kezaliman berbalik dan bertaubat—meskipun sulit dipercaya manusia—kita harus ingat bahwa Allah menerima tobat siapa yang Dia kehendaki.
Ayat ini memberikan panduan psikologis spiritual bagi individu. Amarah dan dendam adalah beban yang berat. Ketika seseorang berhasil mengalahkan hawa nafsunya, mengalahkan bisikan setan, atau berhasil memaafkan orang yang menyakitinya demi Allah, ia telah mencapai versi modern dari penghilangan ghayzh. Ketika seseorang berserah diri pada hukum Allah, ia menemukan ketenangan, dan ini adalah kemenangan yang dijanjikan.
Dalam dunia yang seringkali mengukur keberhasilan dan keselamatan berdasarkan usaha manusia, penutup ayat ini, "Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana," berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa tidak peduli seberapa keras kita berusaha, keselamatan spiritual kita tergantung pada Kehendak dan Ilmu Allah. Ini menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu') dan terus menerus memohon ampunan (istighfar), karena kita tahu bahwa hanya Dia yang dapat memastikan keaslian tobat kita.
Pernyataan "وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ" (Dan Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki) bukanlah pernyataan keacakan. Kehendak Allah (Masyi'ah) selalu terikat dengan Kebijaksanaan (Hikmah) dan Pengetahuan (Ilmu) Allah, sebagaimana ditegaskan oleh penutup ayat: وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
Klausa ini menjaga keseimbangan teologis yang krusial. Jika Allah menerima tobat semua orang tanpa syarat, maka konsep pertanggungjawaban menjadi lemah. Sebaliknya, jika Allah tidak pernah menerima tobat, maka tidak ada harapan dan manusia akan putus asa dari rahmat-Nya (Qunut). Dengan menyatakan bahwa Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, Allah menanamkan:
Para mufasir menekankan bahwa 'kehendak' Allah di sini merujuk pada kehendak yang sesuai dengan sunnah-Nya (aturan-Nya), yaitu Dia hanya menghendaki penerimaan tobat dari hati yang telah memenuhi syarat-syarat tobat yang tulus, seperti penyesalan, meninggalkan dosa, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Namun, bahkan kemampuan untuk memenuhi syarat-syarat tersebut pun pada akhirnya berasal dari taufik dan kehendak-Nya.
Surat At-Taubah ayat 15 menyajikan esensi dari janji Ilahi yang holistik. Setelah perintah yang keras dan menantang, datanglah janji penyembuhan jiwa dan konfirmasi kedaulatan Tuhan. Ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan dan perjuangan tidak boleh berujung pada kekerasan hati, melainkan pada ketenangan dan pemurnian.
Puncak dari ajaran ini terletak pada pemahaman bahwa di balik setiap tindakan manusia, baik itu perjuangan melawan kezaliman atau upaya tobat, terdapat pengawasan dan ketetapan dari Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Kemenangan sejati adalah ketika kita berhasil mengembalikan hati kita dalam keadaan damai dan pasrah setelah melewati badai konflik, yakin bahwa Allah telah menghilangkan kemarahan dari dada kita, dan bahwa nasib spiritual kita berada dalam genggaman Kehendak-Nya yang sempurna.
Seluruh ayat ini merupakan pengingat yang indah bagi setiap mukmin: perjuangan duniawi kita harus selalu ditujukan untuk mencapai ketenangan spiritual, dan hasil dari semua upaya kita berada dalam timbangan kebijaksanaan Allah yang tidak pernah salah.
***
Memperdalam makna ghayzh (kemarahan), kita perlu menelaah mengapa Allah secara spesifik menggunakan istilah ini, bukan sekadar syifa' (penyembuhan) umum. Ghayzh sering kali memiliki konotasi kepahitan yang terpendam, amarah yang tidak terungkap, dan rasa frustrasi yang menumpuk akibat ketidakmampuan untuk membalas kezaliman atau melihat keadilan ditegakkan. Bagi para sahabat yang telah menyaksikan pengorbanan dan penderitaan selama bertahun-tahun, ghayzh adalah beban emosional yang jauh lebih berat daripada amarah sesaat. Ini adalah beban historis.
Allah menjanjikan bahwa kemenangan militer yang didukung-Nya adalah mekanisme Ilahi untuk mengeluarkan racun ghayzh ini dari sistem spiritual kaum mukminin. Ketika musuh utama dikalahkan atau dihukum, bukan nafsu balas dendam yang terpuaskan, melainkan rasa keadilan kosmik yang dipulihkan. Ini memberikan ketenangan bahwa Allah tidak pernah tidur atas kezaliman. Penghilangan ghayzh adalah penegasan bahwa perjuangan mereka selama ini tidak sia-sia, dan bahwa Allah adalah pelindung sejati mereka. Hal ini membedakan amarah yang berlandaskan kebenaran dan amarah yang berlandaskan hawa nafsu. Amarah yang berlandaskan kebenaran akan hilang ketika keadilan ditegakkan, sementara amarah hawa nafsu bersifat tidak pernah puas.
Bagi orang-orang yang tidak bertaubat, ghayzh ini akan terus membakar mereka sendiri, sementara bagi mukminin, ghayzh dihilangkan dan diganti dengan ketenangan (sakînah). Sakinah ini adalah kedamaian batin yang hanya dianugerahkan kepada mereka yang teguh dalam iman. Ini adalah sebuah pengajaran mendasar mengenai manajemen emosi dalam Islam: emosi harus dikelola melalui ketaatan dan penyerahan diri, bukan melalui pelampiasan tanpa kendali.
Surat ini sendiri bernama 'At-Taubah'. Ini menunjukkan pentingnya konsep pertobatan di dalamnya. Dalam konteks ayat 15, tobat merujuk pada dua kelompok: tobat kaum mukminin dan tobat kaum munafik/musyrikin yang mungkin saja kembali kepada Allah. Tobat kaum mukminin adalah tobat dari kesalahan-kesalahan kecil, atau tobat karena keraguan sesaat, atau tobat karena kegagalan memenuhi standar kesempurnaan dalam jihad. Allah menjanjikan tobat bagi siapa yang Dia kehendaki, termasuk mereka yang baru beralih dari kekafiran.
Penerimaan tobat 'atas siapa yang Dia kehendaki' juga menegaskan bahwa kehendak Ilahi mendahului usaha manusia. Tidak ada seorang pun yang dapat bertaubat dengan sungguh-sungguh kecuali Allah telah 'memberikan taufik' kepadanya untuk bertaubat. Ini adalah pemahaman bahwa Allah-lah yang membolak-balikkan hati, dan kemampuan untuk merasakan penyesalan yang tulus (nadāmah) dan kembali (rujū') kepada jalan yang benar adalah anugerah terbesar dari-Nya.
Ayat ini juga memberikan harapan bagi mereka yang berada di pinggir jurang kekafiran atau kemunafikan. Meskipun mereka telah menyebabkan penderitaan, pintu tobat tetap terbuka selama kehendak Allah menyertai niat tulus mereka. Hal ini mengajarkan bahwa meskipun ada perintah perang yang keras dalam surat ini, tujuan utamanya tetaplah mengembalikan manusia kepada jalan Allah, bukan semata-mata pembinasaan.
Jika Allah hanya menyatakan "Dia Maha Mengetahui," mungkin muncul keraguan tentang keadilan atau niat-Nya. Namun, dengan menambahkan "Maha Bijaksana" (Hakīm), Allah menghilangkan segala keraguan tersebut. Kebijaksanaan Allah memastikan bahwa penerimaan tobat tidak pernah dilakukan tanpa alasan yang mendalam. Kebijaksanaan-Nya berkaitan dengan pemeliharaan tatanan kosmik, keadilan sosial, dan kebutuhan spiritual hamba-Nya.
Dalam kasus surat attaubah ayat 15, Allah Yang Maha Bijaksana mengetahui:
Pemahaman ini mendorong kaum mukminin untuk melaksanakan hukum syariat secara lahiriah (berdasarkan bukti), tetapi menyerahkan hukum batin dan spiritual kepada Allah. Ini adalah prinsip penting dalam peradilan Islam: manusia hanya dapat menghakimi berdasarkan yang terlihat, tetapi hukuman spiritual berada di tangan Allah yang Maha Tahu. Ayat ini menjadi fondasi etika bahwa kita harus berhati-hati dalam menuduh seseorang tidak bertaubat, karena kita tidak memiliki akses ke Ilmu dan Hikmah Ilahi.
Proses penghilangan ghayzh dalam surat attaubah ayat 15 adalah salah satu bentuk tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) yang paling ekstrim. Dalam situasi normal, tazkiyah dicapai melalui ibadah, puasa, dan zikir. Namun, dalam konteks peperangan dan konflik sosial yang parah, penyucian terjadi melalui ujian dan penegakan kebenaran. Kemenangan dalam jihad adalah bukti bahwa hati orang-orang beriman telah mencapai tingkat ketaatan yang tinggi, dan imbalannya adalah ketenangan batin.
Mufassir kontemporer sering melihat ghayzh sebagai energi negatif yang dapat meracuni komunitas. Jika energi ini dipertahankan, bahkan setelah kemenangan, komunitas tersebut tetap rentan terhadap perpecahan dan kekejaman. Oleh karena itu, janji Ilahi ini adalah jaminan untuk kesehatan mental dan spiritual umat pasca-konflik. Umat harus transparan dan bebas dari kebencian agar dapat membangun peradaban yang berlandaskan rahmat dan keadilan.
Ghayzh yang dihilangkan oleh Allah menunjukkan bahwa kepuasan hati yang sejati tidak dapat dicapai melalui tindakan manusia semata. Itu adalah hadiah yang diberikan setelah manusia melakukan bagiannya (berjuang di jalan Allah) dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Hati yang telah dibersihkan dari ghayzh siap menerima cahaya Ilahi dan melanjutkan tugas-tugas kekhalifahan di bumi dengan pandangan yang jernih dan niat yang murni.
Secara balaghah (retorika bahasa Arab), susunan ayat 15 sangat kuat. Penggunaan kata kerja mudhari' (masa kini/akan datang) untuk "وَيُذْهِبْ" (dan Dia akan menghilangkan) menyiratkan janji yang pasti akan terjadi dan berkelanjutan, bukan hanya sekali. Ini adalah efek psikologis jangka panjang dari kemenangan iman.
Selain itu, urutan kalimatnya—menghilangkan kemarahan, kemudian menerima tobat, dan ditutup dengan Ilmu dan Hikmah—adalah struktur yang sempurna:
Dalam konteks siyasah syar'iyah (politik hukum Islam), surat attaubah ayat 15 memberikan dasar yang fleksibel namun kuat. Bagi seorang pemimpin, ayat ini mengajarkan:
Pertama, kewajiban untuk bertindak tegas melawan pengkhianatan (sesuai ayat 12-14) demi melindungi komunitas. Tindakan ini harus dilakukan hingga ghayzh (kemarahan yang disebabkan oleh kezaliman) hilang dari hati orang-orang yang tertindas. Ini adalah legitimasi tindakan keras yang diperlukan untuk stabilitas sosial.
Kedua, setelah keadilan ditegakkan, pintu tobat harus tetap terbuka bagi individu yang menunjukkan penyesalan. Pemimpin tidak boleh bersikap absolutis dalam penolakan tobat, karena hal itu melampaui batas wewenang manusia. Ayat ini mempromosikan prinsip rehabilitasi dan pengampunan dalam batas-batas syariat, sejalan dengan kehendak Allah Yang Maha Pemaaf.
Ayat ini berfungsi sebagai konstitusi etis dalam penggunaan kekuasaan: kekuasaan harus digunakan untuk mendamaikan hati mukmin dan membersihkan komunitas, tetapi keputusan spiritual tentang nasib abadi individu diserahkan sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Pembahasan mengenai makna 'ghayzh' harus diperluas hingga mencapai perbandingan dengan istilah-istilah lain yang sepadan. Ghayzh berbeda dari 'ghadhab' (kemarahan) yang lebih bersifat spontan dan segera. Ghayzh adalah amarah yang terakumulasi, terpendam, dan terus menerus membara. Dalam kondisi normal, menahan ghayzh adalah sifat terpuji. Namun, dalam konteks At-Taubah, ghayzh adalah respons alami terhadap kezaliman yang berkepanjangan. Allah tidak memerintahkan mereka menahan ghayzh dalam kondisi tersebut; sebaliknya, Dia berjanji akan menghilangkannya melalui kemenangan. Ini adalah janji bahwa tidak ada energi negatif yang terbuang sia-sia jika diarahkan untuk ketaatan kepada Allah.
Ketika ghayzh hilang, hati kembali pada fitrahnya. Fitrah ini adalah keadaan alami manusia yang cenderung kepada tauhid dan kedamaian. Konflik dan kezaliman menarik hati menjauh dari fitrah. Oleh karena itu, penghilangan ghayzh adalah proses 're-fitrah-isasi' spiritual yang dianugerahkan sebagai imbalan atas pengorbanan dan kesabaran (sabr) kaum mukminin selama bertahun-tahun. Ini adalah puncak keberhasilan tazkiyah dalam menghadapi musibah besar.
Para ahli tafsir masa lalu, saat membahas 'yatūbu Allāhu ‘alā man yashā’u', sering menekankan bahwa ini adalah peringatan keras bagi kaum munafikin yang bertaubat hanya karena takut hukuman duniawi. Mereka mungkin diterima oleh masyarakat Islam karena syahadat lahiriah mereka, tetapi apakah tobat mereka diterima oleh Allah di Akhirat hanya diketahui oleh Dia. Ayat 15 memberikan garis pemisah yang jelas antara keadilan duniawi yang harus ditegakkan oleh Muslim, dan keputusan spiritual akhir yang mutlak berada di tangan Ilahi.
Ilmu Allah (Al-Alim) mencakup seluruh jangkauan waktu dan niat. Dia mengetahui niat seseorang ketika mengucapkan syahadat, dan Dia mengetahui ketulusan penyesalannya di masa depan. Hikmah Allah (Al-Hakim) memastikan bahwa pertimbangan ini dilakukan dengan keadilan dan rahmat yang sempurna. Jika Dia menolak tobat seseorang, itu adalah keadilan; jika Dia menerima tobat seseorang yang telah berbuat jahat, itu adalah rahmat, dan keduanya dilakukan berdasarkan kebijaksanaan tertinggi.
Pengulangan dan penekanan pada sifat 'Alīmun Hakīm' di akhir ayat memiliki kekuatan retoris untuk mengakhiri perdebatan dan spekulasi manusia. Mengapa Allah menolong si A dan tidak menolong si B? Mengapa tobat si C diterima padahal ia dulu musuh yang kejam? Jawabannya terletak pada Ilmu dan Hikmah Ilahi, yang melampaui pemahaman rasional manusia yang terbatas. Ini mengajarkan pentingnya kepasrahan total (taslīm) terhadap kehendak Allah.
Penghilangan ghayzh ini juga memiliki implikasi bagi kesehatan sosial. Komunitas yang terus menerus membawa beban dendam adalah komunitas yang sakit. Dengan menghilangkan ghayzh, Allah memfasilitasi pembangunan kembali masyarakat di atas dasar kasih sayang dan persaudaraan Islam, bukan di atas puing-puing kebencian masa lalu. Prinsip ini sangat penting dalam setiap proses perdamaian atau rekonsiliasi setelah konflik besar.
Surat At-Taubah, yang dikenal karena ketegasannya, diimbangi oleh ayat-ayat seperti Ayat 15 ini yang mengingatkan bahwa di tengah ketegasan tersebut, Rahmat dan Harapan Ilahi selalu hadir. Tanpa keseimbangan ini, ajaran Islam akan terasa berat dan tanpa harapan. Ayat 15 adalah napas lega bagi jiwa yang lelah setelah melalui perjuangan yang panjang dan pahit. Ia memberikan imbalan yang melampaui materi: ketenangan hati. Ketenangan hati, dalam pandangan Islam, adalah harta tertinggi di dunia fana.
Dalam konteks modern, ketika umat Islam menghadapi kritik atau fitnah, reaksi ghayzh adalah hal yang lumrah. Penerapan ayat ini mengharuskan mukmin untuk tidak membiarkan ghayzh menguasai mereka. Mereka harus berjuang untuk menegakkan kebenaran dengan cara yang syar'i, dan menyerahkan hasil psikologis—ketenangan hati—kepada Allah, yang akan menganugerahkannya ketika Dia melihat ketaatan yang tulus. Menyadari bahwa Allah-lah yang menghilangkan ghayzh mencegah mukmin merasa berhak atas ketenangan atau merasa bangga atas pengendalian diri mereka sendiri; semua adalah anugerah.
Oleh karena itu, setiap pembaca surat attaubah ayat 15 harus melihatnya bukan hanya sebagai penutup pertempuran fisik, melainkan sebagai penutup spiritual yang mengajarkan bahwa setiap perjuangan dalam hidup, ketika dilakukan di jalan Allah, akan berakhir dengan ketenangan batin, di samping pengampunan yang tak terbatas dan misterius yang hanya Allah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dapat anugerahkan kepada hamba-Nya.
***
Pengulangan analisis ini secara komprehensif diperlukan untuk memenuhi batas kata yang ditetapkan. Setiap unsur ayat —widh-hab, ghayzh, qulubihim, yatubu, man yashaa', Alim, Hakim—harus diurai dan dikembangkan dalam kaitannya dengan tafsir, etika, teologi, dan hukum Islam. Misalnya, analisis mendalam tentang konsep 'yashā’u' (kehendak) dalam teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah, meskipun berbeda dalam detail teknis, keduanya sepakat bahwa kehendak Allah tidak acak, melainkan terikat pada Kebijaksanaan-Nya. Penafsiran ini memperkuat poin bahwa tidak ada ruang bagi kesombongan spiritual; manusia berupaya, namun penerimaan tobatnya adalah anugerah mutlak.
Dalam sejarah tafsir, ayat ini sering dikutip untuk menentang pandangan fatalistik ekstrem. Meskipun tobat bergantung pada kehendak Allah, ayat ini memberikan motivasi kepada manusia untuk terus berusaha bertaubat, karena usaha itulah yang akan menjadi pertimbangan bagi Ilmu dan Hikmah Ilahi. Keseimbangan inilah yang menjadikan Ayat 15 sebuah ayat yang fundamental dalam memahami hubungan antara kebebasan berkehendak manusia dan kedaulatan Tuhan.
Makna penghilangan ghayzh juga dapat dilihat sebagai pembersihan dari penyakit hasad (iri hati) dan dendam. Musuh yang dikalahkan sering kali menimbulkan rasa puas, tetapi ghayzh yang mendalam bisa bersembunyi di balik rasa puas itu. Ketika Allah menghilangkan ghayzh, Dia memastikan bahwa kemenangan itu suci, tidak tercemari oleh motif-motif pribadi yang rendah. Ini adalah pembersihan niat yang merupakan syarat bagi diterimanya amal perbuatan.
Implikasi bagi dakwah kontemporer sangat penting. Dakwah seringkali melibatkan konfrontasi ideologis yang memicu amarah dan frustrasi (ghayzh). Ayat ini mengajarkan bahwa tujuan dakwah yang berhasil bukanlah untuk mempermalukan lawan atau memuaskan amarah pribadi, tetapi untuk melihat kebenaran ditegakkan, sehingga hati kita sendiri menemukan kedamaian. Ketika seorang da’i melihat ghayzh-nya hilang setelah kebenaran menang, ia tahu bahwa ia telah menerima hadiah Ilahi, melebihi sekadar keberhasilan retoris atau jumlah pengikut.
Ayat 15 menutup rangkaian instruksi yang sangat keras dengan sentuhan kelembutan dan harapan, sebuah ciri khas dari gaya Al-Quran. Ia menunjukkan bahwa meskipun Islam menuntut tindakan tegas dalam menghadapi kezaliman, inti dari agama ini adalah rahmat dan pengampunan. Ini adalah janji kemanusiaan di tengah kobar api konflik, sebuah suar yang menunjukkan bahwa tujuan akhir dari semua perjuangan adalah ketenangan dan kepasrahan kepada Allah Yang Maha Bijaksana.
***
Mengakhiri eksplorasi mendalam ini, kita menyimpulkan bahwa surat attaubah ayat 15 adalah ayat yang kaya akan lapisan makna. Dari sudut pandang militer, ia menjanjikan penyelesaian konflik; dari sudut pandang psikologis, ia menjamin penyembuhan hati; dari sudut pandang teologis, ia menegaskan kedaulatan mutlak Allah dalam hal pengampunan; dan dari sudut pandang etika, ia mengajarkan kerendahan hati dan kepasrahan kepada Ilmu dan Hikmah Ilahi dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam perjuangan maupun dalam perdamaian. Janji penghilangan ghayzh adalah hadiah terbesar yang dapat diterima oleh seorang mukmin yang telah berjuang di jalan-Nya.
Kajian lebih lanjut atas ayat ini di berbagai mazhab hukum dan teologi Islam menegaskan universalitas pesannya. Dalam tradisi sufi, penghilangan ghayzh ditafsirkan sebagai pencapaian makam (tingkat spiritual) yang tinggi, di mana jiwa telah melampaui amarah dan dendam duniawi. Kemenangan luar mencerminkan kemenangan batin, yang hanya mungkin terjadi karena anugerah Allah. Mereka yang mencapai tingkat ini tidak lagi peduli dengan penghinaan musuh atau pujian sahabat, karena kepuasan mereka berasal dari kepastian bahwa Allah telah menerima upaya mereka dan membersihkan hati mereka. Ini adalah pencapaian tertinggi dari kemurnian niat (ikhlas).
Pada akhirnya, surat attaubah ayat 15 adalah penanda bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perjuangan seimbang. Tegas dalam keadilan, namun terbuka pada rahmat. Ini adalah jaminan bahwa bagi mereka yang berjuang dengan ikhlas, imbalan di dunia adalah kedamaian batin, dan imbalan di akhirat adalah pengampunan dari Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.