Pencitraan radiografi dada, atau Rontgen Thoraks, merupakan salah satu prosedur diagnostik yang paling sering dilakukan di seluruh dunia. Meskipun proyeksi Posteroanterior (PA) sering dianggap sebagai standar emas karena kualitasnya yang superior, proyeksi Anteroposterior (AP) Thoraks memegang peranan krusial, terutama dalam setting klinis di mana pasien tidak dapat berdiri tegak atau dipindahkan, seperti di unit gawat darurat (UGD) atau unit perawatan intensif (ICU).
Memahami proyeksi AP tidak hanya melibatkan pengenalan struktur anatomis, tetapi juga penguasaan modifikasi teknis yang melekat pada teknik ini. Perbedaan posisi sinar dan detektor pada proyeksi AP menimbulkan distorsi dan pembesaran tertentu pada struktur mediastinum dan jantung, yang wajib dipertimbangkan saat melakukan interpretasi. Artikel komprehensif ini akan mengupas tuntas segala aspek proyeksi AP Thoraks, mulai dari dasar teknik hingga aplikasi patologi spesifik.
Thoraks adalah rongga vital yang melindungi organ pernapasan dan kardiovaskular. Dalam proyeksi AP, sinar-X melewati pasien dari depan (Anterior) ke belakang (Posterior), dan kemudian mengenai kaset atau detektor. Pengetahuan mendalam tentang anatomi tulang dan jaringan lunak adalah prasyarat untuk interpretasi yang akurat.
Paru-paru terbagi menjadi lobus, yang dipisahkan oleh fisura. Dalam pencitraan AP, penilaian lobus terkadang menjadi lebih sulit dibandingkan PA, terutama karena cenderung adanya artefak gerakan atau posisi. Visualisasi trakea dan bronkus utama sangat penting untuk menilai penempatan tabung endotrakeal (ETT) jika pasien diintubasi. Area apeks paru, yang terletak di atas klavikula, perlu diperiksa dengan cermat karena sering menjadi lokasi tuberkulosis atau pneumotoraks kecil.
Mediastinum adalah kompartemen sentral yang berisi jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, dan timus (pada anak-anak). Proyeksi AP selalu menghasilkan pembesaran bayangan jantung (magnifikasi kardiak) karena jantung terletak jauh dari detektor dan dekat dengan sumber sinar (fokus). Pembesaran ini seringkali membuat rasio kardiothoraks (CTR) menjadi tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis kardiomegali, kecuali jika perubahannya sangat signifikan.
Pembuluh darah besar seperti aorta dan vena cava juga mengalami distorsi magnifikasi. Pleura, membran yang melapisi paru-paru, hanya terlihat jelas jika terdapat cairan (efusi) atau udara (pneumotoraks) yang terperangkap.
Proyeksi AP digunakan ketika pasien tidak dapat berdiri atau duduk tegak, seringkali karena sakit parah, trauma, atau kebutuhan pemantauan pasca-prosedur di ranjang rumah sakit. Proyeksi ini dikenal sebagai Portable Chest X-ray (CXR).
Perbedaan utama terletak pada arah sinar-X dan jarak fokus-detektor (Source-to-Image Distance/SID).
Meskipun sering dilakukan dalam kondisi sub-optimal, setiap Rontgen AP harus dinilai berdasarkan kriteria kualitas (P.I.R.E. - Penetrasi, Inspirasi, Rotasi, Eksposur). Namun, untuk AP supine, kriteria ini disesuaikan:
Penetrasi yang baik berarti energi sinar-X cukup untuk menembus mediastinum. Secara teknis, harus terlihat bayangan vertebra thoraks di belakang jantung. Overpenetrasi dapat menyembunyikan nodul kecil di paru-paru, sementara underpenetrasi membuat lapangan paru terlihat terlalu putih (opak) dan dapat menyembunyikan infiltrat.
Pasien yang sakit parah seringkali tidak dapat menarik napas dalam-dalam. Inspirasi yang tidak optimal menyebabkan paru-paru terlihat lebih kecil, kepadatan (density) paru meningkat, dan bayangan jantung terlihat lebih besar (pseudo-kardiomegali). Idealnya, minimal 8-9 iga posterior harus terlihat di atas diafragma pada pasien AP.
Rotasi terjadi jika pasien tidak berbaring lurus. Untuk menilai rotasi pada AP, cari kesamaan jarak antara prosesus spinosus vertebra thoraks dan ujung medial klavikula di kedua sisi. Jika pasien berputar, mediastinum akan bergeser, membuat jantung terlihat abnormal dan memberikan ilusi densitas di satu sisi paru.
Idealnya, bahkan dalam posisi supine, skapula harus ditarik ke luar lapangan paru. Pada AP portable, ini sering sulit dicapai, sehingga skapula menutupi lapangan paru lateral, yang harus diingat saat mencari patologi perifer.
Pendekatan sistematis sangat penting, terutama pada citra AP yang seringkali memiliki kualitas teknis yang kurang optimal. Framework ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability/Devices, Everything Else/Bones) adalah pedoman standar yang sangat efektif.
Fokus pada trakea, bronkus utama, dan struktur leher superior. Trakea harus berada di garis tengah, meskipun deviasi ringan ke kanan adalah normal karena busur aorta. Deviasi trakea yang signifikan menunjukkan adanya pendorongan (misalnya oleh massa besar, efusi pleura masif) atau penarikan (misalnya oleh atelektasis lobar). Jika pasien memiliki tabung endotrakeal (ETT), ujung tabung harus terletak 3-5 cm di atas karina (percabangan bronkus utama).
Evaluasi densitas paru-paru secara keseluruhan dan cari asimetri. Paru-paru normal terlihat radiolusen (gelap). Peningkatan opasitas (kepadatan putih) menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi (pneumonia), kolaps (atelektasis), atau cairan (edema paru, efusi).
Meskipun magnifikasi mempersulit pengukuran akurat, penilaian bentuk dan kontur tetap penting.
Dalam setting AP (ICU/UGD), pasien hampir selalu memiliki perangkat medis yang harus diverifikasi posisinya. Kesalahan penempatan dapat berakibat fatal.
Periksa semua tulang yang terlihat—klavikula, iga, vertebra. Fraktur kosta, terutama pada kasus trauma, dapat mengindikasikan adanya kontusio paru atau pneumotoraks tersembunyi. Periksa jaringan lunak untuk emfisema subkutan (udara di bawah kulit), yang terlihat sebagai garis-garis hitam di luar batas paru, seringkali akibat trauma dada atau pneumotoraks tegang.
Pengenalan pola patologi adalah kunci, namun seorang radiolog atau klinisi harus selalu mengingat bagaimana posisi pasien (AP supine) dapat memodifikasi penampilan penyakit dibandingkan proyeksi PA tegak.
Pada CHF, gambaran radiologi mencakup kardiomegali (yang diperburuk oleh magnifikasi AP), redistribusi vaskular, dan efusi pleura. Dalam AP supine, edema paru interstisial (cairan di ruang interstisial) mungkin terlihat kurang jelas dibandingkan PA. Namun, efusi pleura yang menyebar secara difus di hemitoraks (opasitas berkabut) seringkali menjadi petunjuk penting, karena meniscus sign klasik tidak akan terlihat.
Jika pasien mengalami overhidrasi atau edema paru, biasanya akan terlihat penebalan peribronkial dan, pada kasus berat, pola opasitas "sayap kelelawar" (batwing appearance) di area sentral paru.
Pneumonia terlihat sebagai konsolidasi lobar atau opasitas bercak (patchy). Penilaian pneumonia pada AP dapat menantang, terutama jika pasien memiliki inspirasi yang buruk, karena kepadatan paru yang meningkat secara keseluruhan dapat meniru infiltrat. Penting untuk membandingkan sisi kanan dan kiri secara teliti. Pneumonia aspirasi sering terjadi di segmen posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah, lokasi yang kurang jelas pada AP.
Efusi pleura adalah akumulasi cairan. Volume minimal yang diperlukan untuk terlihat pada AP tegak adalah sekitar 200-300 ml. Pada AP supine, volume ini harus jauh lebih besar (mencapai 500 ml atau lebih) sebelum dapat memberikan tanda yang jelas. Efusi yang terbaring (layering) menyebabkan densitas meningkat di seluruh hemitoraks. Tanda kunci untuk efusi supine adalah:
Pneumotoraks, terutama pada pasien trauma atau pasien dengan ventilasi tekanan positif, merupakan kondisi mengancam jiwa. Pada proyeksi PA tegak, udara berkumpul di atas, menyebabkan kolaps apikal. Namun, pada AP supine (yang paling sering digunakan di trauma bay), udara bergerak ke area non-dependen (anterior dan inferior) rongga dada. Oleh karena itu, tanda 'Deep Sulcus Sign' menjadi penanda utama.
Deep Sulcus Sign adalah pelebaran dan pendalaman sudut kostofrenikus lateral akibat penumpukan udara bebas di resesus anterior dan inferior. Tanda ini harus dicari dengan cermat karena seringkali merupakan satu-satunya indikator pneumotoraks pada pasien supine. Selain itu, harus dicari pula bayangan tajam dari pleura viseral di lateral paru-paru.
Atelektasis adalah hilangnya volume paru-paru. Hal ini sering terjadi pada pasien ICU akibat obstruksi mukus atau kompresi. Atelektasis menyebabkan opasitas lobar dengan tanda-tanda hilangnya volume, seperti pergeseran fisura (jika terlihat), elevasi diafragma, dan pergeseran mediastinum ke sisi yang terkena. Atelektasis lobus bawah (terutama kanan) sangat umum dan mungkin hanya terlihat sebagai peningkatan opasitas berbentuk segitiga di basal paru. Karena pasien AP supine cenderung kurang bergerak dan bernapas dangkal, risiko atelektasis basal (platy atelektasis) meningkat.
Meskipun proyeksi AP memiliki keterbatasan yang signifikan dalam hal magnifikasi dan kualitas gambar, perannya dalam lingkungan klinis tertentu tidak dapat digantikan.
Proyeksi AP digunakan secara eksklusif dalam situasi di mana mobilitas pasien sangat terbatas. Ini mencakup:
Keterbatasan proyeksi AP memerlukan kompensasi dan teknik interpretasi yang cerdas:
Mengingat tantangan teknis AP, seringkali digunakan CT scan dada sebagai modalitas pelengkap. Jika hasil AP tidak konklusif, terutama dalam kasus pneumotoraks tersembunyi (occult pneumothorax) atau efusi pleura yang lokasinya tidak biasa, CT scan memberikan gambaran superior dan definitif mengenai patologi.
Pemahaman yang lebih dalam memerlukan analisis bagaimana kondisi fisiologis pasien yang terbaring memengaruhi pencitraan sinar-X.
Ketika pasien berbaring telentang, terjadi perubahan signifikan pada ventilasi dan perfusi. Bobot organ abdomen menekan diafragma, mengurangi volume paru-paru, terutama volume residu fungsional. Hal ini menyebabkan penurunan aerasi basal dan peningkatan risiko atelektasis dependent (terutama di area posterior). Secara radiologis, ini dapat ditafsirkan sebagai peningkatan opasitas basal yang non-spesifik.
Hukum gravitasi sangat memengaruhi distribusi patologi dalam proyeksi AP supine:
Pada pasien yang sakit kritis, proyeksi AP sangat penting untuk memantau perubahan akut. Perubahan mendadak pada lebar mediastinum dapat mengindikasikan ruptur aorta, sementara pembesaran cepat bayangan jantung dalam hitungan jam mungkin mengindikasikan tamponade perikardial (cairan cepat di kantung jantung). Radiografi AP memberikan alat skrining yang cepat meskipun tidak definitif, memungkinkan tindakan penyelamatan nyawa.
Sangat jarang seorang pasien ICU tidak memiliki setidaknya satu perangkat medis yang memerlukan verifikasi radiologis melalui AP Thoraks. Kesalahan penempatan perangkat ini adalah penyebab utama morbiditas.
Intubasi adalah prosedur umum, tetapi malposisi ETT (terlalu rendah) menyebabkan intubasi selektif. Jika ETT masuk terlalu dalam, biasanya masuk ke bronkus utama kanan karena jalurnya yang lebih lurus. Hal ini menyebabkan paru-paru kiri kolaps (atelektasis kiri), yang terlihat sebagai opasitas hemitoraks kiri dan kemungkinan pergeseran mediastinum ke kiri.
CVC digunakan untuk akses vaskular jangka panjang atau pengukuran tekanan. Lokasi ujung yang salah (misalnya di vena jugularis atau terlalu dalam di atrium kanan) memerlukan koreksi. Komplikasi pemasangan CVC, seperti pneumotoraks iatrogenik, sering terdeteksi pertama kali pada Rontgen AP pasca-prosedur.
Drain dada dipasang untuk mengevakuasi pneumotoraks atau efusi. Penempatan yang benar harus dipastikan: tabung harus berada dalam rongga pleura (di luar paru-paru) dan tidak boleh melengkung atau tersumbat. Jika tabung terlihat melingkar di luar pleura (di jaringan lunak), tabung tersebut tidak efektif.
Interpretasi yang mahir membutuhkan latihan visualisasi dan perbandingan. Pertimbangkan skenario berikut yang sering dijumpai pada Thoraks AP:
Pasien datang setelah kecelakaan mobil, posisi supine. AP Thoraks menunjukkan: Klavikula kanan fraktur. Diafragma kanan rata, sudut kostofrenikus kanan sangat dalam (Deep Sulcus Sign). Jaringan lunak di sisi kanan lateral tampak bergaris-garis (emfisema subkutan). Diagnosis: Fraktur klavikula dengan Pneumotoraks tegang (tension pneumothorax) pada sisi kanan.
Pentingnya: Deep Sulcus Sign adalah penanda yang membutuhkan intervensi segera. Emfisema subkutan menguatkan kecurigaan bahwa udara telah keluar dari rongga pleura ke jaringan lunak, konsisten dengan pneumotoraks tegang yang parah.
Pasien telah diintubasi selama tiga hari. AP Thoraks menunjukkan: ETT berada 1 cm di bawah karina. Opasitas homogen yang masif menutupi seluruh lobus bawah kanan, disertai bronkogram udara yang jelas. Tidak ada pergeseran mediastinum. Diagnosis: Malposisi ETT (intubasi bronkus kanan) menyebabkan Atelektasis lobus bawah kanan sekunder. Tindakan: ETT harus ditarik segera untuk mengaerasi kembali paru kanan bawah.
Pasien dengan gagal ginjal dan volume cairan berlebihan. AP Thoraks menunjukkan: Bayangan jantung sangat membesar (diperburuk oleh AP). Kedua apeks paru menunjukkan peningkatan opasitas yang menyerupai 'topi' atau 'cap'. Vaskularisasi tampak menonjol di zona atas (redistribusi). Diagnosis: Gagal Jantung Kongestif dan Edema Paru. Penebalan apikal dan opasitas kabut basal lateral konsisten dengan efusi pleura yang terbaring akibat kelebihan cairan.
Proyeksi Anteroposterior (AP) Thoraks adalah alat diagnostik yang vital, terutama dalam manajemen pasien yang sakit kritis dan imobilisasi. Meskipun tantangan teknis seperti magnifikasi kardiak, inspirasi yang buruk, dan distorsi geometris selalu ada, interpretasi yang terstruktur dan sistematis—dengan kesadaran penuh terhadap posisi supine pasien—memungkinkan klinisi untuk membuat diagnosis yang tepat.
Penguasaan proyeksi AP menuntut pemahaman mendalam tentang fisiologi pasien yang terbaring, teknik identifikasi tanda-tanda unik seperti Deep Sulcus Sign, dan verifikasi akurat posisi perangkat medis invasif. Dalam radiologi dada, AP adalah proyeksi penentu yang menjembatani antara kebutuhan diagnostik cepat dan keterbatasan kondisi pasien.
Analisis ini menegaskan bahwa kualitas pencitraan radiologi dada sering kali didikte oleh kondisi pasien. Ketika proyeksi PA ideal tidak mungkin dilakukan, proyeksi AP memberikan informasi yang tidak ternilai harganya, asalkan penafsir mampu menyesuaikan bias dan distorsi yang melekat dalam citra tersebut. Keterampilan ini adalah fondasi penting dalam perawatan medis akut.
Selanjutnya, penting untuk selalu membandingkan citra AP serial (jika tersedia) untuk mendeteksi perubahan dinamis pada kondisi pasien, baik itu resolusi infeksi, peningkatan efusi, atau perubahan posisi tabung. Perubahan cepat dalam pola opasitas atau volume paru sering kali lebih signifikan daripada temuan statis dalam satu pencitraan.
Akhir kata, proyeksi AP Thoraks tetap menjadi modalitas garis depan yang efisien, cepat, dan portabel. Keakuratannya bergantung pada keahlian penafsir dalam membedakan antara artefak teknis dan patologi sejati dalam konteks klinis yang serba cepat.
Elaborasi lebih lanjut mengenai aspek fisika radiasi dalam proyeksi AP mengungkapkan bahwa SID yang lebih pendek tidak hanya meningkatkan magnifikasi tetapi juga meningkatkan dosis radiasi ke pasien jika teknik tidak disesuaikan dengan benar. Dalam konteks portabel, kualitas balok sinar-X seringkali kurang terfilter dibandingkan unit radiologi stasioner, menambah noise dan mengurangi kontras. Pengurangan kontras ini semakin mempersulit visualisasi patologi yang memiliki perbedaan densitas kecil, seperti nodul paru yang berukuran milimeter atau garis Kerley B yang halus.
Pemanfaatan teknologi digital (DR/CR) telah sedikit mengurangi kesulitan ini karena pasca-pemrosesan gambar (image post-processing) memungkinkan peningkatan kontras dan penyesuaian kecerahan. Namun, bahkan dengan perangkat digital, distorsi geometris (magnifikasi dan proyeksi) tetap menjadi ciri khas proyeksi AP. Misalnya, pada proyeksi AP, bayangan jantung tidak hanya membesar tetapi juga berbentuk lebih bulat (globular) dibandingkan pada PA, yang memperkuat ilusi kardiomegali.
Aspek penting lainnya yang sering diabaikan adalah penilaian sinus kostofrenikus posterior dan lateral. Pada proyeksi PA tegak, sudut kostofrenikus lateral adalah titik pertama di mana efusi pleura terlihat. Namun, pada AP supine, sudut kostofrenikus posterior yang merupakan area dependen seringkali terisi cairan terlebih dahulu. Karena sinar-X AP melewati area ini secara paralel, cairan tersebut mungkin tidak terlihat sampai volumenya signifikan. Inilah mengapa opasitas kabut (veiling opacity) di seluruh basal paru menjadi penanda yang lebih sensitif untuk efusi pada AP supine.
Dalam manajemen pasien trauma, AP Thoraks adalah bagian dari pemeriksaan primer (E-FAST dan Extended FAST). Kecepatan adalah esensinya. Kehadiran udara bebas di bawah diafragma (pneumoperitoneum) dapat dideteksi meskipun pasien supine, tetapi membutuhkan paparan yang memadai dan harus dicari dengan hati-hati. Udara bebas intra-abdomen cenderung mengumpul di bawah kubah diafragma anterior dan mungkin hanya terlihat sebagai garis tipis radiolusen.
Meninjau kembali Atelektasis: Ada beberapa tipe atelektasis. Atelektasis kompresi sering terjadi pada efusi pleura masif. Atelektasis obstruksi adalah akibat sumbatan bronkus. Atelektasis pasif (atau platelike atelektasis) adalah pola yang sangat umum pada AP Thoraks supine, terlihat sebagai garis-garis tipis horizontal di basal paru. Ini disebabkan oleh kurangnya volume paru karena posisi terbaring dan tidak selalu merupakan tanda penyakit akut yang signifikan, tetapi harus dibedakan dari fibrosis atau infiltrat yang aktif.
Patologi pada Tulang: Selain fraktur iga, penilaian densitas tulang pada AP Thoraks dapat memberikan petunjuk mengenai penyakit sistemik. Osteopenia atau osteoporosis terlihat sebagai penurunan densitas tulang vertebra dan kosta, sering dijumpai pada pasien ICU yang imobilisasi jangka panjang atau yang mengonsumsi kortikosteroid. Metastasis tulang litik (destruktif) atau blastik (pembentukan tulang baru) juga harus diidentifikasi jika terdapat lesi fokal yang abnormal pada iga atau vertebra yang terlihat.
Peranan mediastinum: Pelebaran mediastinum (widened mediastinum) pada proyeksi AP adalah temuan yang mengkhawatirkan, terutama pada pasien trauma. Meskipun magnifikasi AP secara inheren melebarkan mediastinum, pelebaran akut yang melebihi 8 cm pada tingkat aorta dapat mengindikasikan hematoma mediastinal akibat cedera aorta traumatik. Kriteria pengukuran ini harus digunakan dengan kehati-hatian, selalu dihubungkan dengan mekanisme cedera pasien.
Pada pasien pediatri, proyeksi AP memiliki kekhasan. Timus (thymus) seringkali terlihat membesar pada anak-anak normal, memberikan tanda 'layar kapal' (sail sign). Dalam proyeksi AP, bayangan timus mungkin tampak lebih besar lagi, dan penting untuk tidak salah mengartikannya sebagai massa mediastinum patologis. Selain itu, pasien anak lebih sensitif terhadap radiasi, sehingga teknik AP portable harus dioptimalkan untuk meminimalkan dosis.
Penggunaan teknik semi-erect (pasien diangkat 45-60 derajat) dalam AP masih menghasilkan magnifikasi jantung tetapi memungkinkan gravitasi bekerja, sehingga efusi pleura dan batas cairan-udara (jika ada) lebih mudah terlihat dibandingkan posisi supine penuh. Oleh karena itu, jika kondisi pasien memungkinkan, posisi semi-erect harus diutamakan di lingkungan ICU.
Kesimpulan dari tinjauan teknik dan patologi ini adalah bahwa proyeksi AP Thoraks bukan sekadar proyeksi yang buruk dari PA, melainkan sebuah entitas radiologis yang unik dengan kelebihan (portabilitas dan kecepatan) dan tantangan (distorsi dan artefak). Seorang klinisi yang efektif harus menjadi ahli dalam mengenali modifikasi radiologis ini untuk menghindari misinterpretasi diagnostik yang berpotensi fatal.
Interpretasi yang komprehensif juga mencakup pemeriksaan wilayah di luar paru-paru dan jantung. Perhatikan area di bawah diafragma: Jika tabung nasogastrik (NGT) tidak terlihat memasuki lambung, atau jika terdapat udara bebas di bawah diafragma (meskipun sulit dilihat pada supine), hal ini memerlukan perhatian segera. Penilaian yang menyeluruh juga mencakup bayangan dinding dada, payudara (yang dapat menimbulkan opasitas densitas tinggi pada wanita), dan jaringan lunak leher.
Pemeriksaan jaringan lunak leher pada AP Thoraks dapat memberikan petunjuk tentang obstruksi jalan napas atas. Udara di faring dan trakea harus terlihat jernih. Penebalan jaringan lunak di leher, terutama pada kasus epiglotitis pada anak, atau pembengkakan yang berhubungan dengan hematoma leher pada trauma, meskipun bukan fokus utama, merupakan informasi sekunder yang berharga dari citra AP.
Secara metodologi, untuk setiap gambaran AP Thoraks yang diperiksa, penafsir harus secara mental menjalankan checklist: Apakah penetrasi benar? Apakah inspirasi memadai? Apakah ada rotasi? Di mana ujung semua tabung dan kateter? Apakah ada Deep Sulcus Sign? Apakah ada perubahan ukuran dan bentuk jantung? Dengan pendekatan yang terstruktur ini, risiko temuan yang terlewat dapat diminimalkan, memastikan proyeksi AP berfungsi sebagai alat diagnostik yang kuat dan bukan hanya kompromi teknis.
Faktor ergonomis dan kelelahan di lingkungan ICU atau UGD juga dapat mempengaruhi kualitas interpretasi. Oleh karena itu, standardisasi protokol interpretasi (ABCDE) menjadi lebih penting pada proyeksi AP. Mengandalkan memori visual saja tidak cukup; sistem harus ditekankan untuk memastikan semua area, dari apeks hingga sudut kostofrenikus dan dari klavikula hingga tulang belakang, telah diperiksa dengan cermat.
Dalam konteks modern, integrasi kecerdasan buatan (AI) mulai diterapkan untuk membantu interpretasi AP Thoraks, terutama dalam mendeteksi pneumotoraks yang sulit dilihat (occult pneumothorax) atau penempatan kateter yang salah. Meskipun AI dapat membantu sebagai 'mata kedua', keputusan akhir dan koreksi klinis tetap berada di tangan klinisi, yang harus memiliki pemahaman mendasar mengenai semua distorsi yang telah dijelaskan.
Sebagai penutup, proyeksi AP Thoraks adalah gambaran radiologis yang menuntut keahlian interpretasi yang tinggi. Meskipun proyeksi PA memberikan pandangan yang lebih idealis tentang anatomi, proyeksi AP memberikan gambaran realistis tentang patofisiologi pasien kritis di tempat tidur mereka. Kemampuan untuk mengidentifikasi patologi di tengah distorsi teknis adalah ciri khas dari radiologi klinis yang kompeten.