Simbol yang terinspirasi dari keagungan dan keindahan sejarah.
Surah Al Imran ayat 33 hingga 37 merupakan bagian penting dalam Al-Qur'an yang menceritakan kisah luar biasa tentang keluarga Imran, khususnya mengenai kelahiran dan pengasuhan Siti Maryam, ibunda Nabi Isa Al-Masih. Ayat-ayat ini tidak hanya menyoroti kesucian dan ketakwaan Siti Maryam, tetapi juga menggambarkan bagaimana Allah SWT memilih dan mempersiapkan beliau untuk sebuah tugas kenabian yang agung. Kisah ini menjadi inspirasi bagi jutaan umat Muslim di seluruh dunia mengenai keimanan, kesabaran, dan penerimaan terhadap takdir Ilahi.
Ayat 33 diawali dengan firman Allah: "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga 'Imran atas (seluruh) alam." Ini menegaskan bahwa Allah memiliki rencana khusus bagi keluarga-keluarga tertentu yang memiliki kedekatan dan ketaatan kepada-Nya. Keluarga Imran, yang mencakup Siti Maryam dan ayahnya Imran, termasuk dalam golongan yang dipilih ini. Pemilihan ini bukan tanpa alasan, melainkan karena kualitas spiritual dan kesungguhan mereka dalam beribadah.
" (Ingatlah) ketika istri 'Imran berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu dari anak yang dalam kandunganku ini, untuk memerdekakannya (dari tugas dunia dan menjadikannya khadim di baitul Maqdis). Maka terimalah (nazar) ini dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." " (QS. Al Imran: 35)
Ayat berikutnya, ayat 35, melanjutkan kisah dengan menggambarkan doa dan nazar yang diucapkan oleh istri Imran (yang kelak dikenal sebagai Hannah binti Faqudh) saat beliau mengandung. Beliau berjanji akan mendedikasikan anak yang dikandungnya untuk melayani di Baitul Maqdis (tempat suci di Yerusalem), sebuah janji yang menunjukkan kesungguhan dan pengabdian luar biasa kepada Allah SWT. Ini mencerminkan semangat pengorbanan yang tinggi, di mana sang ibu rela menyerahkan anaknya untuk sebuah tujuan yang mulia, bahkan sebelum mengetahui jenis kelamin anaknya.
Kemudian, ayat 36 menjelaskan ketika Siti Maryam lahir: "Ketika dia (istri 'Imran) melahirkan anaknya, dia pun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan anak perempuan...". Dan Allah lebih mengetahui apa yang dia lahirkan; "dan anak laki-laki tidak seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam, dan aku memohon perlindungan kepada Engkau (dari godaan) setan yang terkutuk untuknya dan untuk keturunannya."
Di sini, terlihat kebesaran hati dan penerimaan Siti Maryam (setelah kelahiran ibunya). Meskipun ia lahir sebagai seorang perempuan, yang mungkin berbeda dari harapan awal sang ibu yang menginginkan seorang anak laki-laki untuk melayani di Baitul Maqdis, Siti Maryam tetap dihadirkan dengan penuh kebanggaan. Penamaan "Maryam" oleh ibunya sendiri, beserta doa perlindungan dari godaan setan, menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab besar dalam membesarkan anak yang akan memiliki peran penting.
"Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan menyerahkannya kepada Zakariya. Setiap kali Zakariya masuk untuk menemuinya di mihrab, dia mendapati makanan di sisinya. Dia (Zakariya) berkata, "Wahai Maryam! Dari mana (datangnya) makanan ini?" Dia menjawab, "Sumbernya dari Allah." Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan." (QS. Al Imran: 37)
Ayat 37 adalah puncak dari narasi ini, yang menggambarkan bagaimana Allah SWT menerima nazar keluarga Imran dan memelihara Siti Maryam dengan cara yang luar biasa. Siti Maryam tumbuh di bawah asuhan Nabi Zakariya AS. Keajaiban-keajaiban mulai tampak sejak dini. Setiap kali Nabi Zakariya mengunjungi Siti Maryam di mihrabnya, ia selalu menemukan rezeki yang melimpah di sisinya, yang tak lain adalah karunia langsung dari Allah SWT. Ketika ditanya dari mana datangnya makanan tersebut, Siti Maryam dengan keyakinan menjawab, "Itu dari sisi Allah." Jawaban ini menunjukkan kedalaman imannya dan pemahamannya bahwa segala sesuatu berasal dari Sang Pencipta.
Kisah Al Imran 33-37 memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, pentingnya niat dan doa yang tulus kepada Allah SWT. Kedua, kesabaran dan penerimaan terhadap ketetapan Allah, bahkan ketika kenyataan berbeda dari harapan. Ketiga, keagungan derajat orang-orang yang shaleh dan dekat dengan Allah, serta bukti nyata dari pertolongan dan pemeliharaan-Nya. Siti Maryam menjadi teladan wanita mukminah yang suci, taat, dan penuh keyakinan. Kisahnya adalah pengingat bahwa Allah SWT Maha Kuasa dan memiliki cara-Nya sendiri dalam mewujudkan rencana-Nya, seringkali melalui ujian dan cobaan yang justru akan meninggikan derajat hamba-Nya. Peristiwa ini menjadi fondasi penting bagi kemunculan mukjizat kelahiran Nabi Isa AS.