Sūrah At-Taubah (Pengampunan atau Repentansi) menempati posisi yang sangat unik dan signifikan dalam Al-Qur'an. Surah ke-sembilan ini merupakan satu-satunya surah yang diturunkan tanpa didahului oleh bacaan *Basmalah* (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Para ulama tafsir menjelaskan, ketiadaan Basmalah ini dikarenakan substansi utama dari surah ini adalah pernyataan ketegasan, ultimatum, dan pemutusan hubungan (*Bara'ah*) dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian, sehingga nuansa rahmat dan kasih sayang di awal dirasa kurang sesuai dengan konteks permulaan surah yang keras dan tegas.
Surah ini, yang diturunkan di Madinah setelah peristiwa penaklukan Mekah dan sebelum Perang Tabuk, menguraikan secara rinci tentang pengujian keimanan, perintah mobilisasi (Jihad), klasifikasi munafikin (orang-orang munafik) beserta ciri-ciri dan hukuman mereka, serta menetapkan batasan-batasan hukum yang berkaitan dengan hubungan kaum Muslimin dengan pihak-pihak non-Muslim, terutama mereka yang memusuhi Islam. Lebih dari itu, At-Taubah adalah panduan spiritual yang mendalam mengenai hakikat taubat yang sesungguhnya (*Taubat Nasuha*).
Simbol Pena dan Gulungan, mewakili wahyu dan tuntunan Al-Qur'an.
Pembukaan Sūrah At-Taubah dimulai dengan pernyataan yang sangat keras dan tidak ambigu. Ayat-ayat awal ini dikenal sebagai Ayat *Bara'ah* (Pemutusan Hubungan).
Terjemahan Ayat 1: (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang telah kamu adakan perjanjian (dengan mereka).
Konteks historis Ayat 1–5 ini sangat penting. Ayat-ayat ini diturunkan setelah tahun ke-9 Hijriyah, yang dikenal sebagai Tahun Delegasi. Sebelumnya, Nabi Muhammad ﷺ telah mengadakan perjanjian dengan berbagai kabilah musyrikin. Beberapa kabilah menghormati perjanjian tersebut, sementara yang lain secara terang-terangan atau tersembunyi melanggarnya, terutama setelah Perjanjian Hudaibiyah.
Ultimatum ini ditujukan secara spesifik kepada kelompok musyrikin yang:
Allah memberikan masa tenggang empat bulan (*Sayyihū fil-arḍi arba'ata asyhur*) kepada mereka untuk merenungkan posisi mereka. Selama empat bulan tersebut, mereka memiliki pilihan: masuk Islam atau meninggalkan wilayah perjanjian. Setelah batas waktu tersebut, perjanjian dianggap batal sepenuhnya.
Ayat 5 seringkali disalahpahami dan menjadi fokus kritik, padahal konteksnya adalah peperangan yang sah setelah ultimatum dan pelanggaran perjanjian telah terjadi:
Terjemahan Ayat 5: Apabila telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Para ulama tafsir kontemporer dan klasik, termasuk Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, menekankan bahwa Ayat 5 tidak berlaku secara universal, tetapi merujuk pada musuh-musuh spesifik yang telah melanggar perjanjian dan memusuhi Islam setelah diberikan kesempatan taubat selama empat bulan. Ini adalah aturan peperangan terhadap pengkhianat dan agresor, bukan perintah pembunuhan massal tanpa sebab.
Ayat ini segera diikuti oleh pengecualian yang jelas: jika mereka bertaubat (*tāba*), mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka mereka harus dibiarkan bebas. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama perintah ini bukanlah pemusnahan, melainkan penegakan kedaulatan dan ajakan untuk kembali kepada kebenaran.
Ayat-ayat dalam rentang ini menetapkan standar baru bagi hubungan sosial, ekonomi, dan militer antara kaum Muslimin dengan non-Muslim, terutama setelah kemenangan Islam di Mekah.
Ayat 28 menyatakan bahwa kaum musyrikin tidak diizinkan mendekati Masjidil Haram setelah tahun tersebut. Hal ini merupakan bagian dari pembersihan spiritual dan fisik wilayah suci tersebut dari praktik-praktik paganisme. Ayat ini juga mengatasi kekhawatiran ekonomi para sahabat mengenai hilangnya perdagangan yang dibawa oleh kaum musyrikin, dengan janji bahwa Allah akan memberikan kecukupan dari karunia-Nya jika Dia menghendaki.
Ayat 29 adalah pondasi hukum Islam tentang interaksi dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam wilayah kekuasaan Islam, yang mana status mereka berbeda dari kaum musyrikin Makkah:
Terjemahan Ayat 29: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (yaitu) orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (pajak perlindungan) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
*Jizyah* adalah pajak per kapita yang dikenakan pada laki-laki dewasa non-Muslim yang tinggal di bawah perlindungan negara Islam (*Dhimmi*). Sebagai imbalannya, mereka dibebaskan dari kewajiban militer (Jihad) dan diberikan jaminan keamanan, perlindungan properti, dan kebebasan menjalankan agama mereka.
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan fukaha (ahli fikih) mengenai makna "tunduk" (*ṣāghirūn*). Mayoritas ulama menafsirkannya sebagai pengakuan terhadap supremasi dan otoritas negara Islam (pemerintah Muslim), bukan penghinaan pribadi. Ini berarti mereka harus mematuhi hukum umum negara dan mengakui perlindungan yang diberikan kepada mereka.
Ayat 36 menegaskan kembali kekudusan empat bulan haram (Muharram, Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah), di mana peperangan, kecuali dalam membela diri, dilarang. Ayat ini juga menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas, sesuai dengan ketetapan Allah sejak penciptaan langit dan bumi:
Ayat ini berfungsi sebagai penolakan terhadap praktik *Nasi’* (pergeseran bulan haram) yang dilakukan oleh kaum Jahiliyyah untuk memfasilitasi peperangan atau perdagangan, yang dianggap sebagai penambahan kekafiran.
Ayat-ayat ini diturunkan berkaitan dengan persiapan Perang Tabuk, ekspedisi yang sangat sulit menghadapi Kekaisaran Romawi yang saat itu jauh lebih kuat. Allah menguji keimanan para sahabat, memisahkan orang mukmin sejati dari orang munafik.
Ketika diperintahkan untuk maju berperang di jalan Allah (*infirū*), sebagian sahabat merasa berat karena cuaca panas, jarak tempuh yang jauh, dan panen kurma yang sedang terjadi. Allah menegur keras kecintaan mereka yang berlebihan terhadap kehidupan dunia:
Terjemahan Ayat 38: Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan) di akhirat, hanyalah sedikit.
Ayat 41 menegaskan kewajiban untuk berangkat berperang, baik dalam keadaan ringan (muda, sehat, kaya) maupun berat (tua, sakit, miskin), kecuali bagi yang benar-benar uzur. Ini adalah perintah *Nafir 'Amm* (mobilisasi umum):
Ayat ini mengajarkan bahwa Jihad, dalam konteks membela diri dan menegakkan keadilan, adalah kewajiban yang melibatkan seluruh sumber daya: jiwa (*anfus*) dan harta (*amwal*). Pengorbanan ini dijamin lebih baik bagi manusia di dunia maupun di akhirat.
Bagian terbesar dari At-Taubah didedikasikan untuk mengungkap identitas, tipu daya, dan nasib orang-orang munafik. Mereka adalah ancaman internal yang lebih berbahaya daripada musuh eksternal. Sifat-sifat mereka meliputi:
Pengecaman terhadap munafikin mencapai puncaknya dengan perintah agar Nabi ﷺ tidak menshalatkan jenazah mereka atau berdiri di kuburan mereka, karena hati mereka telah tertutup oleh kekafiran (Ayat 84).
Setelah membahas pengkhianatan dan kemunafikan, surah ini beralih ke pembahasan tentang taubat sejati dan pengampunan. Allah membedakan antara munafikin yang hatinya keras dan mukminin yang melakukan kesalahan namun segera bertaubat.
Ayat 103 adalah ayat kunci dalam hukum Zakat. Setelah terjadinya dosa dan kesalahan, Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk mengambil sedekah (Zakat) dari harta mereka yang bertaubat. Fungsi Zakat di sini adalah ganda: membersihkan harta dan menyucikan jiwa.
Terjemahan Ayat 103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenangan jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kata *Tuṭahhiruhum* (membersihkan mereka) merujuk pada pembersihan dari dosa-dosa dan sifat kikir, sedangkan *Tuzakkīhim* (mensucikan mereka) merujuk pada peningkatan kualitas spiritual dan moral. Zakat bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga terapi spiritual yang ditujukan untuk kesejahteraan batin dan sosial. Para ulama fikih menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa Zakat wajib dipungut oleh negara, bukan diserahkan secara sukarela, karena perintahnya ditujukan kepada Nabi ("Ambillah").
Simbol Keseimbangan dan Lingkaran Waktu, mewakili proses penyucian (Tazkiyah).
Puncak dari kisah taubat dalam surah ini adalah kisah Ka'b bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi', dan Hilal bin Umayyah. Mereka adalah mukminin sejati yang tertinggal dari Perang Tabuk bukan karena kemunafikan, melainkan karena kelalaian. Sebagai hukuman, Nabi ﷺ memerintahkan agar seluruh Muslimin menjauhi mereka selama 50 hari. Ini adalah ujian mental dan sosial yang sangat berat.
Ayat 118 mengisahkan penerimaan taubat mereka setelah masa penantian yang penuh penderitaan. Penerimaan taubat mereka tidak datang dari pengakuan manusia, tetapi langsung dari Allah, menunjukkan bahwa taubat sejati harus memiliki unsur kejujuran, penyesalan, dan pengakuan dosa.
“...hingga bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit bagi mereka, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat berlindung dari azab Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)
Kisah ini menegaskan bahwa bahkan sahabat terbaik pun bisa berbuat salah, dan pintu taubat selalu terbuka lebar bagi mereka yang jujur dan tulus.
Ayat 119 sering dianggap sebagai salah satu ayat paling fundamental mengenai akhlak dan spiritualitas dalam At-Taubah, terutama setelah kisah para sahabat yang tertinggal.
Terjemahan Ayat 119: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).
Ayat ini diturunkan langsung setelah penerimaan taubat tiga sahabat yang jujur mengakui kesalahan mereka, berbeda dengan munafikin yang mencari-cari alasan dan bersumpah palsu. Ayat ini mengajarkan bahwa kejujuran (*Sidq*) adalah syarat mutlak bagi taubat yang diterima, dan merupakan puncak ketakwaan.
Perintah untuk 'bersama orang-orang yang benar' memiliki dimensi ganda:
Kebenaran (Sidq) dalam Islam tidak hanya berarti tidak berbohong, tetapi juga jujur dalam niat, janji, dan perbuatan. Seorang yang jujur adalah orang yang tindakannya sesuai dengan kata-katanya, dan batinnya sesuai dengan lahiriahnya.
Sūrah At-Taubah ditutup dengan dua ayat yang sangat kuat, yang berfungsi sebagai kontras lembut setelah seluruh nada keras mengenai peringatan dan hukuman. Ayat-ayat ini merangkum sifat kasih sayang Nabi Muhammad ﷺ kepada umatnya dan ketergantungan mutlak pada Allah.
Terjemahan Ayat 128: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Ayat ini menyebutkan empat kualitas utama Nabi Muhammad ﷺ:
Ayat penutup ini memberikan kenyamanan dan menegaskan bahwa di balik perintah-perintah yang keras (seperti Jihad dan pengujian taubat), ada kasih sayang (rahmat) yang luar biasa dari pembawa risalah tersebut.
Ayat terakhir berfungsi sebagai penutup yang mengembalikan seluruh urusan kepada Allah semata. Jika ada yang berpaling dari risalah, Nabi ﷺ diperintahkan untuk mengatakan:
Terjemahan Ayat 129: Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.”
Ini adalah pelajaran fundamental tentang Tawakkal (ketergantungan mutlak). Setelah menyampaikan seluruh peringatan, perintah, dan kabar gembira dalam surah, seorang Muslim harus memahami bahwa keberhasilan bukanlah karena kekuatan diri sendiri, melainkan karena dukungan dan kehendak Allah, Pemilik Arsy yang Maha Agung.
Surah At-Taubah adalah sumber hukum (fikih) yang kaya, khususnya dalam bidang *Siyar* (hukum internasional Islam), Zakat, dan adab (etika) bermasyarakat, serta membedakan antara hakikat iman dan kemunafikan. Kedalaman tafsir dalam surah ini melahirkan berbagai mazhab pemikiran yang membahas nuansa dari setiap ayat.
Ayat-ayat awal At-Taubah menjadi landasan utama bagi Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam menetapkan hukum perang dan damai. Poin utama yang disepakati adalah:
Diskusi tentang *jihad bis-sayf* (jihad dengan pedang) dalam surah ini selalu dikaitkan dengan *jihad an-nafs* (jihad melawan hawa nafsu) yang dijelaskan oleh para sufi dan moralis, yang mengingatkan bahwa Jihad eksternal tanpa Jihad internal akan menjadi kekerasan tanpa hikmah.
Ayat 103 adalah dalil paling kuat bagi sistem Zakat terpusat. Ibnu Taimiyah, dalam pandangannya mengenai politik Islam, berargumen bahwa kewajiban pemimpin Muslim (*ulil amri*) adalah mengumpulkan Zakat karena fungsi Zakat bukan hanya amal, tetapi juga pembersih sosial dan spiritual yang memerlukan kekuatan negara untuk ditegakkan. Zakat yang dipungut memiliki kekuatan untuk menenangkan jiwa, seperti yang dijelaskan dalam ayat tersebut, karena menghilangkan keraguan dan rasa bersalah para penderma.
At-Taubah juga mencantumkan kisah Masjid Dhirar (Masjid yang Menimbulkan Bahaya), yang dibangun oleh kelompok munafikin sebagai pusat operasi untuk memecah belah kaum Muslimin dan mendukung musuh. Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk menghancurkannya. Pelajaran fikih dari Ayat 107 adalah bahwa setiap institusi atau tempat yang dibangun dengan niat jahat untuk merusak persatuan atau mengkhianati agama, meskipun terlihat religius di permukaannya, adalah haram dan harus dihilangkan. Ayat ini menjadi dasar hukum Islam mengenai perlunya menguji niat di balik tindakan-tindakan keagamaan.
Gaya bahasa Sūrah At-Taubah mencerminkan periode krusial dalam sejarah Islam, di mana komunitas Muslim Madinah harus sepenuhnya mandiri dan berhadapan langsung dengan ancaman internal (munafikin) dan eksternal (kekuatan besar). Retorika surah ini sangat lugas, langsung, dan penuh ancaman bagi yang melanggar, namun sangat lembut bagi yang bertaubat.
Surah ini memiliki transisi emosional yang dramatis:
Penutup surah dengan kalimat:
Mengandung makna *tawakkal* (ketergantungan) yang ditempatkan secara strategis. Setelah serangkaian perintah dan ujian yang menuntut pengorbanan besar, penekanan pada tawakal mengingatkan bahwa tugas manusia adalah berusaha, namun hasil akhir berada di tangan Allah. Penggunaan frasa *Rabbu al-Arsy al-'Azhīm* (Tuhan Arsy yang Agung) menanamkan rasa kekuasaan tak terbatas Allah, yang jauh melampaui kekuasaan musuh mana pun (Romawi) yang mungkin mereka hadapi.
Salah satu kontribusi terbesar Sūrah At-Taubah adalah deskripsi psikologis dan sosiologis yang mendalam mengenai kemunafikan. Munafikin tidak hanya digambarkan sebagai pembohong, tetapi sebagai penyakit yang menggerogoti struktur masyarakat Islam.
Allah menggambarkan bahwa orang-orang munafik senantiasa takut dan curiga, baik terhadap sesama munafik maupun terhadap orang mukmin. Mereka digambarkan sebagai individu yang sangat peduli pada penampilan luar tetapi kosong di dalam. Mereka khawatir setiap wahyu baru akan mengungkap rahasia mereka (Ayat 64). Ketakutan ini, menurut tafsir, adalah hasil dari hati yang tidak tenang karena berada di antara dua kelompok, tidak memiliki pendirian yang pasti.
At-Taubah mengajarkan bahwa munafikin adalah penghambat pembangunan dan kemajuan. Mereka enggan berinfak, tetapi ketika berinfak, mereka melakukannya dengan berat hati dan sebagai beban (Ayat 54). Mereka juga suka menimbulkan keraguan dan perpecahan di kalangan mukminin. Hal ini menunjukkan bahwa kemunafikan bukan hanya dosa individu, tetapi juga kejahatan sosial yang merusak solidaritas umat.
Terjemahan Ayat 73: Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Perintah untuk 'berjihad' melawan munafikin biasanya ditafsirkan sebagai Jihad *Hujjah* (argumentasi) dan *Iqāmatul Ḥudūd* (penegakan hukum). Karena munafikin secara lahiriah mengaku Islam, mereka tidak diperangi secara fisik seperti kafir, tetapi mereka harus dihadapi dengan argumen yang kuat, hukum yang tegas, dan tidak diberi kekuasaan politik.
Sūrah At-Taubah bukanlah semata-mata catatan sejarah mengenai peperangan atau kebijakan luar negeri. Surah ini adalah peta jalan spiritual yang mengajarkan bahwa keimanan sejati memerlukan pengorbanan, kejujuran, dan ketulusan mutlak.
Dari permulaan yang tegas tentang *Bara'ah* hingga penutup yang penuh Tawakkal, surah ini mengajarkan bahwa menjadi seorang Muslim adalah mengambil posisi yang jelas. Tidak ada tempat abu-abu: seseorang harus jujur dalam taubatnya, rela berkorban demi agamanya, dan menjauhi segala bentuk kemunafikan yang merusak hati dan komunitas. Perintah untuk menyucikan diri melalui Zakat dan untuk selalu bersama orang-orang yang benar (*kūnū ma’a aṣ-ṣādiqīn*) menjadi warisan abadi dari surah ini, memastikan bahwa kejujuran adalah mata uang tertinggi di sisi Allah.
Kajian mendalam terhadap setiap ayat dalam Sūrah At-Taubah membawa kita pada pemahaman bahwa ujian terberat bagi seorang mukmin bukanlah musuh di luar, tetapi godaan internal, keraguan, dan kemalasan yang hanya bisa diatasi dengan Taubat Nasuha dan Tawakkal yang sempurna kepada Rabbul ‘Arsyil ‘Azhīm.