Ilustrasi simbolis panggung kesenian di tengah masyarakat desa.
Alur cerita "Ronggeng Dukuh Paruk" (berdasarkan novel Lintang Kemukus di Jejer Wengi karya Ahmad Tohari) dimulai dengan penggambaran otentik kehidupan masyarakat Desa Dukuh Paruk, sebuah dusun terpencil yang sangat terikat pada tradisi. Kehidupan mereka sederhana, penuh keterbatasan, namun diselimuti kehangatan komunal. Inti dari kehidupan sosial dan spiritual mereka adalah kesenian tradisional, yaitu Ronggeng. Ronggeng bukan sekadar hiburan; ia adalah ritual, penyeimbang spiritual, dan pembawa nasib desa.
Fokus cerita segera beralih pada tokoh utama, yaitu Srintil, seorang gadis yang dipersiapkan sejak kecil untuk menjadi penerus penari Ronggeng. Kecantikannya yang alami dan bakatnya yang murni dipandang sebagai anugerah sekaligus takdir bagi Dukuh Paruk. Proses pendewasaan Srintil disajikan secara perlahan, menunjukkan bagaimana ia dibentuk menjadi ikon desa, sebuah wadah bagi roh penari terdahulu.
Momen penting dalam alur adalah ketika Srintil resmi diangkat menjadi penari Ronggeng. Malam pentas itu digambarkan penuh magis dan mistis. Ia menari bukan hanya dengan raga, melainkan juga dengan jiwa para leluhur. Setelah malam itu, hidup Srintil berubah total. Ia tidak lagi sekadar gadis desa; ia adalah Srintil Si Ronggeng, figur yang dihormati sekaligus objek hasrat banyak orang.
Alur cerita kemudian mempertemukan Srintil dengan Rasus, seorang pemuda desa yang memilih jalur berbeda, yakni menjadi tentara (TNI). Hubungan cinta mereka yang tumbuh di tengah tradisi yang mengikat Srintil menjadi salah satu konflik batin utama. Rasus melihat Srintil sebagai gadis yang dicintainya, sementara masyarakat hanya melihatnya sebagai simbol desa. Dilema ini memuncak ketika kepentingan karir Rasus sebagai prajurit mulai bentrok dengan status Srintil sebagai penari keramat.
Alur cerita mencapai titik baliknya ketika terjadi gejolak politik besar di era Orde Baru. Dukuh Paruk, yang tadinya terisolasi, terpaksa bersentuhan dengan ideologi dan kekuasaan negara. Tradisi Ronggeng yang dianggap klenik dan bertentangan dengan "kemajuan" mulai dipandang sebelah mata oleh pihak luar, bahkan dicurigai memiliki muatan politik tertentu.
Karena situasi politik yang memanas dan tuduhan yang tidak berdasar, Rasus terpaksa mengambil keputusan yang menyakitkan. Ia terlibat dalam operasi yang menargetkan unsur-unsur yang dianggap subversif di wilayah tersebut. Sayangnya, Srintil, karena posisinya yang selalu menjadi pusat perhatian dalam keramaian, ikut terseret dalam pusaran konflik. Ia dituduh terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum negara, dan akibatnya, ia harus ditangkap dan dibawa pergi.
Penangkapan Srintil memicu kehancuran total bagi Dukuh Paruk. Tanpa Ronggeng, tanpa Srintil, desa itu seolah kehilangan jiwanya. Alur bergerak menuju suasana melankolis. Masyarakat desa merasa dikhianati oleh dunia luar yang tidak memahami nilai tradisi mereka.
Bagian akhir dari narasi ini menyajikan nasib Srintil setelah dibawa paksa. Ia berubah menjadi sosok yang rapuh, kehilangan kemurnian dan cahayanya. Ketika ia akhirnya diizinkan kembali ke Dukuh Paruk, desa itu telah berubah drastis. Teknologi dan modernitas telah merasuk, dan tradisi Ronggeng yang ia sandang telah memudar atau bahkan hilang. Srintil kembali bukan sebagai penari yang agung, melainkan sebagai korban dari perubahan zaman yang kejam. Ia hidup dalam bayang-bayang masa lalunya, sebuah representasi pilu dari bagaimana tradisi lokal bisa dihancurkan oleh arus politik dan modernitas tanpa kompromi. Alur cerita ini ditutup dengan refleksi pahit tentang harga yang harus dibayar oleh sebuah tradisi demi "kemajuan" yang seringkali tidak berpihak pada kearifan lokal.