Makna Mendalam QS. An-Nahl Ayat 72: Kekuasaan dan Kasih Allah

Surat An-Nahl (Lebah), surat ke-16 dalam Al-Qur'an, mengandung banyak pelajaran berharga tentang keesaan Allah, ciptaan-Nya, dan pedoman hidup bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sarat makna tentang ketuhanan dan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya adalah ayat ke-72. Ayat ini sering kali mengingatkan kita akan kontradiksi luar biasa antara pengakuan lisan terhadap tauhid dengan perilaku sehari-hari yang menyekutukan-Nya dalam bentuk lain.

Timbangan Keadilan Ilahi Batal Benar Kebenaran Tunggal

Ilustrasi: Penegasan kebenaran mutlak di hadapan ketidakpastian.

Teks dan Terjemahan QS. An-Nahl (16): 72

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ ۚ أَفَبِٱلْبَٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ ٱللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

"Dan Allah menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, kemudian Dia menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapakah mereka beriman kepada kebatilan dan mengingkari nikmat Allah?"

Analisis Kandungan Ayat

Ayat 72 dari Surah An-Nahl ini adalah rangkaian penegasan nikmat Allah yang konkret dan mendasar, diikuti dengan teguran keras atas sikap kufur nikmat. Allah subhanahu wa ta'ala memulai dengan menyebutkan tiga pilar kehidupan manusia yang merupakan karunia besar:

1. Penciptaan Pasangan dari Jenis Sendiri

Nikmat pertama adalah penyediaan pasangan hidup (isteri) yang berasal dari jenis manusia itu sendiri. Ini menunjukkan kesempurnaan penciptaan Allah. Pasangan bukan sekadar pelengkap, melainkan sumber ketenangan (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan rahmat, sebagaimana dijelaskan di ayat lain. Proses ini memudahkan pemenuhan kebutuhan biologis dan emosional manusia tanpa harus bercampur dengan spesies lain, menjamin kemaslahatan sosial dan moral.

2. Generasi Penerus: Anak Cucu

Dari pernikahan itu, Allah menganugerahkan anak cucu (keturunan). Keberadaan anak cucu adalah penerus perjuangan, penjaga nilai-nilai, dan sumber kebahagiaan dunia akhirat. Dalam konteks masyarakat Arab kuno, anak laki-laki seringkali dianggap sebagai penopang kekuatan, namun di sini Allah menekankan nilai keberlanjutan dan keberkahan dalam keturunan secara umum.

3. Rezeki dari yang Baik-Baik (Thayyibat)

Nikmat ketiga adalah pemberian rezeki yang "baik-baik" (ath-thayyibat). Kata "baik" di sini mencakup aspek halal, bersih, sehat, dan bermanfaat. Rezeki yang diberikan Allah bukanlah sekadar cukup, melainkan berkualitas, mencerminkan perhatian penuh Tuhan terhadap kesejahteraan jasmani dan spiritual hamba-Nya.

Teguran Keras: Iman kepada Kebatilan

Setelah merinci tiga anugerah besar tersebut, ayat ini melontarkan pertanyaan retoris yang tajam: "Mengapakah mereka beriman kepada kebatilan dan mengingkari nikmat Allah?"

Pertanyaan ini ditujukan kepada mereka yang secara lisan mengakui keesaan Allah (tauhid), namun dalam praktik kehidupannya, mereka masih meyakini, menyembah, atau bergantung kepada selain-Nya (syirik atau kebatilan). Kebatilan di sini bisa merujuk pada berhala, takhayul, takhayul, atau sistem sosial yang bertentangan dengan wahyu Ilahi. Kontras antara penerimaan rezeki hakiki dari Allah dan pengingkaran terhadap hakikat-Nya itulah yang menjadi inti permasalahan.

Mengimani kebatilan berarti menempatkan sesuatu yang fana, lemah, atau ciptaan sebagai setara atau lebih utama daripada Al-Khaliq (Pencipta). Sikap ini dianggap sebagai bentuk pengkhianatan tertinggi terhadap karunia yang telah diberikan. QS. An-Nahl 16:72 menjadi pengingat abadi bahwa pengakuan iman harus tercermin dalam tindakan nyata, yaitu bersyukur (syukur) atas segala nikmat yang terwujud dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari pasangan, keturunan, hingga rezeki yang dikonsumsi.

🏠 Homepage