Novel "Salah Asuhan" karya Abdoel Moeis merupakan salah satu tonggak penting dalam sastra Indonesia modern. Diterbitkan pada masa pergolakan pemikiran, novel ini tidak hanya menyajikan kisah cinta segitiga yang tragis antara Hanafi, Rapiah, dan Corrie, tetapi juga menyimpan amanat mendalam mengenai benturan budaya, batasan adat, serta dampak dari pemahaman yang keliru terhadap modernitas. Memahami amanat utama novel ini esensial untuk mengapresiasi kritik sosial yang dibangun oleh penulis.
Inti dari tragedi yang menimpa Hanafi berakar pada ketidakmampuannya melepaskan diri dari belenggu adat istiadat Minangkabau yang kaku, meskipun ia telah terpapar oleh pemikiran Barat melalui pendidikan dan pengaruh Corrie. Amanat pertama yang kuat adalah tentang bahaya pengekangan emosi dan tradisi yang tidak lagi relevan. Hanafi, seorang intelektual muda, terjebak antara rasa cinta sejatinya pada Corrie—seorang Eropa yang dianggap "asing"—dan kewajiban sosialnya terhadap Rapiah, wanita yang dinikahkan oleh pamannya sesuai tradisi.
Amanat sentral yang ditawarkan Moeis adalah kritik tajam terhadap adat yang menghalangi kebahagiaan individu. Novel ini secara eksplisit menyoroti bagaimana norma-norma sosial yang diwariskan secara turun-temurun dapat menjadi tembok penghalang yang mematikan potensi dan kebahagiaan pribadi. Hanafi menerima pendidikan modern, namun jiwanya tetap terikat pada sistem matrilineal dan adat yang menuntut kesetiaan pada pernikahan yang tidak didasari cinta sejati.
Corrie, sosok wanita modern yang independen, menjadi simbol pembaruan dan pembebasan pikiran. Namun, perbedaan ras dan budaya menjadi jurang pemisah yang tidak bisa diseberangi oleh masyarakat saat itu. Amanat di sini adalah bahwa penerimaan terhadap kemajuan dan pemikiran baru harus disertai dengan fleksibilitas budaya. Jika adat hanya berfungsi sebagai rantai, maka ia justru menjadi penghambat kemajuan sosial, bukan pelindungnya. Novel ini mengajak pembaca merenungkan, sejauh mana tradisi harus dipertahankan jika mengorbankan nurani dan cinta sejati.
Judul "Salah Asuhan" sendiri mengandung amanat penting. Ini merujuk pada bagaimana Hanafi "diasuh" atau dibentuk oleh lingkungannya. Ia diasuh untuk menghargai adat di atas segalanya, namun juga terdidik untuk menghargai akal dan perasaan. Konflik batin inilah yang membuatnya tidak mampu mengambil keputusan yang tegas, yang pada akhirnya menghancurkan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Salah asuhan tidak hanya tentang pengasuhan anak, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat mengasuh pikiran individu dalam menghadapi perubahan zaman.
Kisah tragis diakhiri dengan kesadaran Hanafi yang terlambat, ketika Corrie telah meninggalkannya dan ia baru menyadari betapa berharganya kebebasan berpikir yang pernah ia tolak demi kepatuhan buta. Novel ini mengingatkan bahwa kesetiaan pada nilai yang salah—walaupun itu adalah nilai mayoritas—akan membawa penyesalan yang mendalam. Amanatnya jelas: diperlukan keberanian untuk hidup sesuai dengan hati nurani, meski harus berhadapan dengan tekanan sosial. Novel ini mendorong pembaca untuk mengkritisi nilai-nilai yang diwariskan dan mencari keseimbangan antara identitas diri dan tuntutan lingkungan.
Meskipun berlatar belakang sejarah kolonial dan pra-kemerdekaan, amanat "Salah Asuhan" tetap bergema kuat di era kontemporer. Pertentangan antara tradisi yang mengikat dan keinginan individu untuk hidup bebas masih terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Baik itu dalam pilihan karir, pernikahan beda suku, atau pandangan hidup, novel ini adalah cermin abadi tentang perjuangan manusia dalam mendefinisikan jati diri di tengah arus harapan kolektif.
Novel ini mengajak kita untuk selalu melakukan evaluasi kritis terhadap sistem nilai yang berlaku. Apakah "asuhan" yang kita terima selama ini benar-benar membawa kita pada kebahagiaan? Atau justru menjebak kita dalam tragedi seperti yang dialami Hanafi? Dengan demikian, Abdoel Moeis tidak hanya meninggalkan karya sastra, tetapi juga warisan kritik sosial yang menuntut keberanian intelektual pembacanya. Ini adalah pesan tentang pentingnya otentisitas diri di tengah tekanan homogenisasi sosial.