Radang tenggorokan atau faringitis adalah keluhan yang sangat umum dan sering menyebabkan kekhawatiran. Secara naluriah, banyak orang berharap antibiotik dapat menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Namun, dalam banyak kasus, penggunaan antibiotik tidak hanya tidak perlu, tetapi juga berbahaya. Artikel mendalam ini akan membahas secara tuntas kapan, mengapa, dan jenis antibiotik apa yang *benar-benar* diperlukan untuk mengatasi radang tenggorokan, serta risiko serius dari penyalahgunaan obat antimikroba.
Radang tenggorokan dicirikan oleh nyeri, rasa gatal, atau iritasi pada tenggorokan, yang seringkali semakin parah saat menelan. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh infeksi, namun etiologinya—penyebab utamanya—menentukan apakah antibiotik diperlukan atau tidak. Memahami perbedaan antara penyebab viral dan bakteri adalah fondasi dari penggunaan antibiotik yang bijak.
Sekitar 80% hingga 90% kasus radang tenggorokan pada orang dewasa, dan persentase yang sedikit lebih rendah pada anak-anak, disebabkan oleh infeksi virus. Virus penyebab umum termasuk rhinovirus, adenovirus, influenza, parainfluenza, dan yang paling terkenal, virus penyebab flu biasa. Bahkan, mononukleosis (disebabkan oleh virus Epstein-Barr) juga sering bermanifestasi dengan radang tenggorokan parah.
Gejala Khas Faringitis Viral:
Sangat penting untuk diingat: Antibiotik tidak bekerja melawan virus. Menggunakan antibiotik untuk infeksi virus sama sekali tidak akan mempercepat penyembuhan. Sebaliknya, hal ini hanya akan meningkatkan risiko efek samping dan kontribusi terhadap resistensi antibiotik global.
Penyebab bakteri yang paling signifikan dan paling sering memerlukan intervensi antibiotik adalah Streptococcus pyogenes, atau lebih dikenal sebagai Streptokokus Grup A (Grup A Strep). Infeksi ini bertanggung jawab atas sekitar 5% hingga 15% kasus radang tenggorokan pada orang dewasa dan 20% hingga 30% pada anak-anak usia sekolah.
Pentingnya Identifikasi Grup A Strep: Infeksi Grup A Strep tidak hanya menyebabkan rasa sakit yang signifikan (strep throat), tetapi juga berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang tidak dapat dicegah tanpa antibiotik, termasuk demam reumatik dan glomerulonefritis pasca-streptokokus. Oleh karena itu, diagnosis akurat adalah mutlak.
Gejala Khas Strep Throat (Grup A Strep):
Karena membedakan antara infeksi virus dan bakteri hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit, tenaga medis profesional menggunakan alat bantu dan tes diagnostik untuk menentukan kebutuhan antibiotik. Penggunaan antibiotik harus didasarkan pada konfirmasi adanya Streptococcus pyogenes, bukan hanya berdasarkan asumsi.
Untuk memandu keputusan pengujian, dokter sering menggunakan sistem skoring klinis seperti Kriteria Centor atau Kriteria McIsaac. Sistem ini menilai probabilitas infeksi Grup A Strep berdasarkan lima kriteria klinis utama:
Berdasarkan total skor, dokter akan memutuskan apakah pasien memerlukan tes diagnostik (Rapid Antigen Detection Test/RADT atau kultur) atau dapat diobati secara simtomatik (jika skor sangat rendah).
Pengobatan empiris (pemberian antibiotik tanpa konfirmasi tes) kini sangat dihindari kecuali dalam situasi berisiko tinggi.
RADT adalah tes cepat yang dapat mendeteksi antigen Grup A Strep langsung dari usap tenggorokan (swab) dalam hitungan menit. Tes ini sangat spesifik (jika positif, hampir pasti Strep), namun sensitivitasnya bervariasi. Jika RADT positif, antibiotik harus segera diberikan.
Kultur adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis Strep. Sampel usapan dikirim ke laboratorium untuk ditumbuhkan. Hasilnya memakan waktu 24 hingga 48 jam, tetapi sangat sensitif. Jika RADT negatif pada anak-anak, kultur seringkali dilakukan untuk memastikan tidak ada infeksi yang terlewatkan. Pada orang dewasa, karena risiko demam reumatik yang jauh lebih rendah, RADT negatif sering dianggap sudah cukup.
Kesimpulan Klinis: Antibiotik hanya diindikasikan jika hasil tes menunjukkan adanya infeksi Streptococcus pyogenes. Jika hasil tes negatif, meskipun gejala tampak buruk, penyebabnya hampir pasti viral, dan antibiotik harus ditahan.
Fokus utama penggunaan antibiotik pada radang tenggorokan adalah untuk membasmi Streptococcus pyogenes (GAS). Pengobatan ini bukan hanya untuk meredakan gejala, tetapi yang paling krusial, adalah untuk mencegah sekuel non-supuratif yang parah.
Pemberian antibiotik dalam waktu 9 hari setelah timbulnya gejala Strep dapat secara efektif mencegah komplikasi autoimun yang paling ditakuti: Demam Reumatik (DR).
Demam Reumatik adalah penyakit inflamasi yang berpotensi menyebabkan kerusakan permanen pada jantung, sendi, otak, dan kulit. DR disebabkan oleh respons autoimun di mana antibodi yang awalnya dibuat tubuh untuk melawan bakteri Strep, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, khususnya katup jantung (menyebabkan Penyakit Jantung Reumatik atau PJR).
Pencegahan DR adalah alasan utama di balik kebijakan pengobatan Strep yang agresif pada anak-anak. Pemberian penisilin atau amoksisilin selama 10 hari telah terbukti membasmi koloni bakteri di faring dan menghentikan proses inflamasi yang mengarah pada DR.
Ini adalah komplikasi ginjal yang terjadi beberapa minggu setelah infeksi Strep. Meskipun mekanismenya berbeda dari DR dan belum terbukti sepenuhnya dapat dicegah dengan antibiotik yang diberikan setelah infeksi dimulai, pengobatan yang tepat tetap penting untuk mengurangi penyebaran jenis Strep nefrogenik.
Antibiotik juga mencegah penyebaran infeksi ke struktur terdekat, seperti abses peritonsil (kumpulan nanah di belakang amandel), mastoiditis, atau limfadenitis servikal.
Pengobatan harus dimulai segera setelah diagnosis, dan pasien harus menyelesaikan seluruh rangkaian pengobatan (biasanya 10 hari) bahkan jika gejala membaik dalam 2–3 hari. Kegagalan menyelesaikan kursus dapat menyebabkan eradikasi bakteri yang tidak tuntas, meningkatkan risiko kekambuhan, dan yang terpenting, meningkatkan risiko Demam Reumatik.
Pilihan antibiotik untuk Strep throat relatif konsisten di seluruh dunia karena tingginya tingkat sensitivitas S. pyogenes terhadap kelompok obat tertentu. Penisilin tetap menjadi pilihan lini pertama karena efikasi yang terbukti, keamanan yang tinggi, biaya yang rendah, dan yang paling penting, karena tidak adanya resistensi Strep terhadap penisilin yang terdokumentasi secara klinis.
Penisilin V adalah pilihan obat oral utama. Cara kerjanya adalah mengganggu sintesis dinding sel bakteri (tepatnya, menghambat transpeptidasi dengan mengikat protein pengikat penisilin atau PBPs), menyebabkan lisis sel. Dosis standar diberikan dua hingga empat kali sehari selama 10 hari penuh.
Amoksisilin sering menjadi pilihan yang disukai, terutama untuk anak-anak, karena rasanya yang lebih enak dalam bentuk sirup dan skema dosis yang lebih sederhana (biasanya dua kali sehari). Meskipun secara spektrum lebih luas daripada Penisilin V, untuk kasus Strep yang tidak rumit, Amoksisilin juga diberikan selama 10 hari.
Untuk pasien yang dicurigai tidak patuh (tidak akan menyelesaikan kursus obat oral) atau bagi mereka yang memiliki kesulitan menelan, suntikan dosis tunggal Penisilin G Benzatin intramuskular sangat efektif. Suntikan ini memberikan konsentrasi obat yang memadai selama 3–4 minggu, memastikan eradikasi Strep secara tuntas. Injeksi ini adalah pilihan penting dalam program pencegahan DR di wilayah endemik.
Sekitar 5% hingga 10% populasi memiliki riwayat alergi terhadap penisilin. Dalam kasus alergi tipe I (reaksi anafilaksis segera), penggunaan alternatif sangat krusial.
Makrolida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada subunit ribosom 50S. Eritromisin adalah pilihan tertua, namun Azitromisin dan Klaritromisin lebih sering digunakan karena dosisnya yang lebih jarang dan toleransi gastrointestinal yang lebih baik.
Sefalosporin, seperti Cefaleksin (Generasi Pertama) atau Cefadroxil, dapat digunakan. Obat ini memiliki struktur kimia yang mirip dengan penisilin, tetapi memiliki risiko reaksi silang (alergi silang) yang rendah (sekitar 1–5%), terutama dengan sefalosporin generasi pertama.
Satu prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam pengobatan Strep adalah durasi 10 hari untuk penisilin, amoksisilin, atau sefalosporin. Durasi yang lebih singkat (misalnya 5 hari amoksisilin) tidak terbukti cukup untuk eradikasi sempurna dan pencegahan DR, kecuali jika menggunakan regimen makrolida (Azitromisin 5 hari).
Kegagalan untuk menyelesaikan 10 hari pengobatan adalah salah satu pemicu utama kekambuhan infeksi dan resistensi bakteri di masa depan. Jika pasien merasa lebih baik pada hari ke-3, ia harus tetap melanjutkan obat sampai hari ke-10.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, terutama pada kasus radang tenggorokan yang disebabkan oleh virus, adalah kontributor utama krisis resistensi antimikroba global. Setiap kali antibiotik digunakan, bakteri yang rentan dibunuh, meninggalkan hanya bakteri yang secara genetik sudah resisten untuk berkembang biak. Tindakan ini memberikan tekanan selektif yang mempercepat evolusi 'superbug'.
Meskipun Streptococcus pyogenes sendiri tetap rentan terhadap penisilin (yang merupakan kabar baik), penyalahgunaan antibiotik spektrum luas justru menargetkan dan menciptakan resistensi pada flora normal tubuh lainnya (misalnya bakteri di usus, hidung, dan kulit). Ketika infeksi bakteri yang lebih serius muncul di masa depan, obat lini pertama mungkin tidak lagi efektif.
Jika resistensi terhadap makrolida (lini kedua) terus meningkat, pasien yang alergi penisilin akan menghadapi pilihan pengobatan yang semakin sulit. Dokter harus menggunakan obat yang lebih mahal, memiliki efek samping yang lebih buruk, atau membutuhkan rawat inap untuk pemberian intravena.
Peran Dokter: Mendidik pasien mengenai perbedaan virus dan bakteri, serta pentingnya pengujian Strep sebelum meresepkan antibiotik, adalah garis pertahanan pertama melawan resistensi.
Peran Pasien: Pasien harus menolak tekanan untuk mendapatkan resep antibiotik jika dokter mendiagnosis infeksi virus. Pemulihan dari infeksi virus membutuhkan waktu dan dukungan simtomatik, bukan obat yang membunuh bakteri.
Anak-anak adalah kelompok risiko tertinggi untuk Strep throat dan komplikasi demam reumatik. Oleh karena itu, ambang batas untuk pengujian dan pengobatan Strep cenderung lebih rendah pada populasi ini. Namun, bayi di bawah usia 3 tahun jarang mengalami Strep dan bahkan lebih jarang mengalami demam reumatik. Pengujian rutin biasanya tidak dilakukan pada anak di bawah 3 tahun kecuali ada saudara kandung yang menderita Strep throat.
Pilihan Dosis Anak: Amoksisilin lebih disukai daripada Penisilin V pada anak karena rasa dan kemudahan dosisnya. Dosis harus disesuaikan dengan berat badan, dan penyelesaian kursus 10 hari sangat ditekankan kepada orang tua.
Sekitar 5% hingga 20% anak usia sekolah dapat membawa S. pyogenes di tenggorokan mereka tanpa menunjukkan gejala penyakit. Kondisi ini disebut 'carrier state' atau pembawa asimptomatik.
Apakah Pembawa Perlu Diobati? Secara umum, TIDAK. Para ahli sepakat bahwa pembawa asimptomatik memiliki risiko yang sangat rendah (jika ada) untuk menularkan penyakit atau mengembangkan demam reumatik. Mengobati pembawa dengan antibiotik hanya akan meningkatkan risiko resistensi tanpa manfaat klinis. Pengecualian mungkin berlaku dalam situasi tertentu (misalnya, wabah Demam Reumatik di komunitas atau riwayat DR dalam keluarga).
Beberapa pasien mengalami radang tenggorokan yang berulang. Ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor:
Untuk kasus rekuren, dokter mungkin mempertimbangkan antibiotik lini kedua seperti klindamisin, yang efektif melawan bakteri koinfeksi (seperti beta-laktamase) yang mungkin melindungi Strep dari penisilin sebelumnya.
Mengingat mayoritas radang tenggorokan disebabkan oleh virus, fokus utama pengobatan adalah pada manajemen gejala dan memastikan kenyamanan pasien saat sistem kekebalan tubuh melakukan tugasnya.
Pengobatan simtomatik ini harus ditekankan kepada pasien, terutama ketika diagnosis viral telah dikonfirmasi. Ini membantu mengurangi tekanan pasien untuk mendapatkan antibiotik yang tidak diperlukan.
Meskipun perawatan simtomatik aman, penggunaan pereda nyeri yang berlebihan, terutama ibuprofen dosis tinggi, dapat menyebabkan masalah gastrointestinal. Penggunaan antibiotik spektrum luas yang tidak perlu seringkali juga diiringi oleh efek samping seperti diare, mual, dan infeksi jamur sekunder (kandidiasis), yang sebenarnya memperburuk kondisi pasien.
Banyak kesalahpahaman yang beredar di masyarakat mengenai antibiotik, yang secara langsung berkontribusi pada penyalahgunaan obat ini. Mengatasi mitos-mitos ini sangat penting untuk meningkatkan literasi kesehatan publik.
Fakta: Eksudat (nanah) pada amandel hanya menunjukkan bahwa ada infeksi parah (baik bakteri maupun virus). Virus seperti Adenovirus atau Mononukleosis (EBV) juga dapat menyebabkan amandel sangat merah dan bengkak dengan bercak nanah. Diagnosis harus selalu dikonfirmasi dengan tes Strep.
Fakta: Jika penyebabnya virus (80% kasus), antibiotik sama sekali tidak akan mempercepat pemulihan. Infeksi virus akan sembuh sendiri dalam 5–7 hari. Jika penyebabnya Strep, antibiotik hanya mempercepat pemulihan 12–24 jam, tetapi manfaat utamanya adalah pencegahan komplikasi serius, bukan kecepatan pemulihan gejala.
Fakta: Obat generik yang telah disetujui harus mengandung bahan aktif yang sama, dalam dosis yang sama, dan bekerja dengan cara yang sama seperti obat bermerek. Untuk Strep throat, penisilin generik adalah obat terbaik dan paling aman, dan sama efektifnya dengan versi bermerek yang lebih mahal.
Fakta: Ini adalah praktik berbahaya. Antibiotik yang tersisa tidak hanya sudah tidak steril, tetapi juga dosis yang disimpan hampir pasti tidak cukup untuk mengobati infeksi penuh di masa depan. Selain itu, diagnosis infeksi berikutnya mungkin berbeda. Penggunaan antibiotik tanpa diagnosis yang tepat adalah resep untuk menciptakan bakteri yang resisten.
Fakta: Alergi penisilin tidak berarti alergi terhadap semua antibiotik. Ada banyak kelas obat yang benar-benar berbeda (seperti makrolida atau kuinolon) yang dapat digunakan dengan aman. Penting untuk mengetahui dan mengomunikasikan jenis reaksi alergi yang dialami pasien kepada dokter.
Dalam era di mana sebagian besar patogen telah mengembangkan mekanisme pertahanan terhadap obat-obatan lama, keunggulan penisilin dalam melawan Streptococcus pyogenes adalah anomali yang harus dijaga. Keberhasilan ini terkait erat dengan struktur dan mekanisme pertahanan bakteri Strep itu sendiri.
Penisilin termasuk dalam kelompok beta-laktam. Bakteri lain (seperti Staphylococcus aureus atau Haemophilus influenzae) sering menjadi resisten terhadap penisilin karena mereka memproduksi enzim beta-laktamase. Enzim ini menghancurkan cincin beta-laktam pada penisilin, menonaktifkan obat tersebut.
Namun, S. pyogenes secara genetik tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi enzim beta-laktamase. Ini berarti mekanisme penghancuran utama yang digunakan oleh bakteri lain untuk melawan penisilin tidak tersedia bagi Strep. Akibatnya, penisilin tetap sangat efektif sebagai agen bakterisida (pembunuh bakteri) melawan Strep.
Penisilin V dan G dikenal sebagai antibiotik spektrum sempit. Mereka sangat ditargetkan pada bakteri Gram-positif tertentu, seperti Strep. Ketika pasien mengonsumsi obat spektrum sempit, flora normal tubuh (bakteri baik yang tinggal di usus dan membantu pencernaan) cenderung kurang terganggu dibandingkan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas (misalnya, Amoksisilin/Klavulanat atau Sefalosporin Generasi Ketiga).
Meminimalkan gangguan pada mikrobioma usus membantu mencegah efek samping seperti diare terkait antibiotik dan mengurangi seleksi bakteri yang resisten secara luas. Ini adalah alasan farmakologis yang kuat mengapa penisilin tetap menjadi pilihan lini pertama: ia melakukan pekerjaan yang diperlukan dengan intervensi ekologis minimal.
Walaupun fokus utama adalah pada Strep, ada patogen bakteri lain yang jarang menyebabkan radang tenggorokan dan mungkin memerlukan antibiotik, namun pendekatan diagnosisnya berbeda.
Bakteri ini kadang-kadang menyebabkan faringitis, terutama pada remaja dan dewasa muda. Infeksi ini sering menyerupai Strep throat, tetapi dapat juga disertai ruam kulit (mirip dengan demam berdarah). A. haemolyticum resisten terhadap penisilin. Jika diagnosis dicurigai (biasanya melalui kultur khusus), obat yang disarankan adalah Eritromisin atau Klindamisin.
Faringitis gonokokal adalah infeksi menular seksual yang seringkali asimptomatik atau hanya menyebabkan radang tenggorokan ringan. Diagnosis memerlukan kultur spesifik. Pengobatan sangat penting dan biasanya melibatkan sefalosporin generasi ketiga (seperti Ceftriaxone), sesuai dengan protokol pengobatan STD, karena resistensi terhadap lini pertama sering terjadi.
Meskipun jarang terjadi di negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi, Difteri adalah penyakit serius yang ditandai dengan pembentukan membran tebal berwarna abu-abu pada amandel dan tenggorokan. Ini adalah kondisi darurat medis. Pengobatan membutuhkan antitoksin difteri (untuk menetralkan racun) dan antibiotik (seperti Eritromisin atau Penisilin) untuk membasmi bakteri. Diagnosis cepat dan isolasi sangat krusial.
Perlu dicatat bahwa infeksi-infeksi di atas sangat jarang dibandingkan dengan Strep atau faringitis viral. Prosedur standar (Centor/McIsaac dan tes Strep) mencakup sebagian besar kasus yang membutuhkan antibiotik secara klinis.
Tuntutan pasien untuk mendapatkan antibiotik seringkali tinggi, didorong oleh keinginan untuk pemulihan cepat atau ketakutan terhadap penyakit yang parah. Namun, etika kedokteran modern menempatkan tanggung jawab yang lebih besar pada profesional kesehatan untuk menjadi 'steward' (penjaga) antibiotik.
Program stewardship antibiotik adalah upaya terstruktur untuk mempromosikan penggunaan agen antimikroba yang bijaksana. Dalam konteks radang tenggorokan, stewardship berarti:
Keputusan menahan antibiotik pada kasus viral, meskipun kadang-kadang menghasilkan ketidakpuasan pasien, adalah tindakan etis yang melindungi kesehatan individu pasien dari efek samping obat dan melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman resistensi superbug.
Sebagian besar pasien yang melaporkan alergi penisilin tidak benar-benar alergi saat diuji. Banyak yang melaporkan gejala non-alergi (misalnya, sakit perut) sebagai alergi, atau alergi masa kecil yang telah hilang. Jika riwayat alergi tidak jelas atau ringan, pengujian alergi (skin testing) dapat dilakukan. Jika pasien ternyata tidak alergi, mereka dapat kembali menggunakan penisilin, obat lini pertama yang optimal, yang mengurangi kebutuhan akan makrolida atau sefalosporin yang berpotensi memicu resistensi lebih luas.
Radang tenggorokan tetap menjadi salah satu keluhan yang paling sering disalahgunakan antibiotiknya di dunia. Penggunaan yang tepat memerlukan pemahaman mendalam bahwa nyeri tenggorokan adalah gejala, bukan diagnosis. Dalam spektrum luas faringitis, hanya sebagian kecil yang memerlukan terapi antimikroba.
Secara keseluruhan, protokol yang benar dan bertanggung jawab untuk manajemen radang tenggorokan melibatkan tiga langkah penting yang harus dipegang teguh oleh setiap pasien dan praktisi kesehatan:
Jangan pernah memulai antibiotik berdasarkan gejala klinis saja. Gunakan sistem skoring (Centor/McIsaac) untuk menentukan probabilitas Strep, dan lakukan tes diagnostik (RADT atau kultur) untuk konfirmasi. Jika tes negatif, jangan berikan antibiotik.
Jika Strep dikonfirmasi, Penisilin V atau Amoksisilin adalah lini pertama yang tak tertandingi karena efikasi total melawan S. pyogenes dan profil keamanannya yang tinggi. Pilihan lini kedua (Makrolida atau Sefalosporin) disediakan secara ketat untuk kasus alergi yang terdokumentasi.
Pentingnya menyelesaikan rangkaian pengobatan 10 hari tidak bisa dilebih-lebihkan. Tindakan ini adalah kunci untuk membasmi sepenuhnya Strep, meredakan gejala, dan yang terpenting, mencegah sekuellae jangka panjang yang merusak seperti Demam Reumatik. Kegagalan untuk mematuhi durasi ini meningkatkan risiko kekambuhan dan resistensi. Konseling mendalam tentang kepatuhan pengobatan adalah bagian integral dari proses resep.
Dengan mempraktikkan pengawasan antibiotik yang ketat dan mendidik diri sendiri tentang perbedaan antara infeksi virus dan bakteri, kita dapat memastikan bahwa antibiotik, senjata berharga dalam melawan penyakit, tetap efektif untuk generasi mendatang, dan digunakan hanya ketika benar-benar dibutuhkan untuk radang tenggorokan.