Sakit tenggorokan, atau dalam terminologi medis dikenal sebagai faringitis, adalah salah satu keluhan kesehatan paling umum yang mendorong kunjungan ke fasilitas kesehatan. Rasa nyeri, gatal, atau iritasi yang memburuk saat menelan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan sering kali memicu kekhawatiran tentang kebutuhan akan pengobatan segera. Meskipun gejalanya universal, penyebab faringitis sangat bervariasi, dan inilah inti dari dilema pengobatan yang sering terjadi di masyarakat: penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Mayoritas mutlak dari kasus sakit tenggorokan, diperkirakan mencapai 85% hingga 95% pada orang dewasa dan 70% pada anak-anak prasekolah, disebabkan oleh agen virus. Infeksi virus ini mencakup patogen seperti Rhinovirus, Coronavirus, Adenovirus, atau virus Influenza. Infeksi virus bersifat swasirna (self-limiting), yang berarti akan sembuh dengan sendirinya tanpa intervensi antibiotik, hanya membutuhkan manajemen gejala dan dukungan hidrasi yang adekuat. Pemberian antibiotik pada kasus virus tidak hanya tidak efektif tetapi juga membawa risiko serius, terutama dalam kontribusi terhadap krisis kesehatan global yaitu resistensi antimikroba (AMR).
Hanya sebagian kecil kasus sakit tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri, dengan Streptococcus pyogenes, atau lebih dikenal sebagai Streptokokus Grup A (GAS), menjadi agen bakteri yang paling relevan secara klinis. Infeksi GAS, yang dikenal sebagai faringitis streptokokus, merupakan satu-satunya penyebab faringitis umum yang secara rutin memerlukan terapi antibiotik, bukan karena gejala akutnya—yang seringkali mirip dengan kasus virus—tetapi karena risiko komplikasi pasca-streptokokus yang parah, seperti demam reumatik dan glomerulonefritis pasca-streptokokus. Oleh karena itu, kunci untuk penggunaan antibiotik yang rasional terletak pada kemampuan membedakan dengan cepat dan akurat antara etiologi virus dan bakteri.
Memahami lokasi dan mekanisme infeksi adalah fundamental untuk mengapresiasi mengapa beberapa infeksi memerlukan antibiotik dan yang lainnya tidak. Faringitis melibatkan peradangan pada faring—saluran yang menghubungkan rongga hidung dan mulut ke esofagus dan laring.
GAS memiliki serangkaian faktor virulensi yang memungkinkannya menginvasi dan menimbulkan penyakit. Protein M, faktor virulensi utama, membantu bakteri melekat pada sel epitel faring dan menghambat fagositosis. Kapsul asam hialuronatnya juga berkontribusi pada penghindaran imun. Ketika infeksi terjadi, respons inflamasi masif dilepaskan, menyebabkan nyeri hebat dan pembengkakan. Namun, bahaya nyata GAS bukan hanya kerusakan lokal, melainkan respons autoimun yang dipicu oleh protein M. Karena struktur protein M menyerupai protein miosin di jaringan jantung dan ginjal, tubuh dapat salah menyerang organ-organ tersebut—fenomena yang disebut 'mimikri molekuler'.
Alt Text: Diagram sederhana yang menunjukkan faring dan dua tonsil yang meradang dengan titik-titik putih (eksudat).
Infeksi virus adalah kategori yang sangat luas, dan gejala yang ditimbulkan seringkali tumpang tindih. Namun, beberapa petunjuk penting dapat mengarahkan diagnosis klinis menuju etiologi virus. Pasien umumnya menunjukkan spektrum gejala saluran pernapasan atas (ISPA) yang lebih luas.
Seperti telah disebutkan, GAS adalah target utama intervensi antibiotik. Infeksi ini paling sering terjadi pada anak-anak usia 5 hingga 15 tahun dan jarang terjadi pada anak di bawah usia 3 tahun. Gejala khas GAS cenderung memiliki onset yang cepat, mencakup demam, nyeri saat menelan, dan dapat disertai sakit kepala atau nyeri perut (terutama pada anak-anak). Ciri-ciri klinis yang sangat sugestif meliputi: eksudat tonsil (nanah), petekie (bintik merah kecil) pada palatum molle (langit-langit lunak), dan limfadenopati servikal anterior yang lunak.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua sakit tenggorokan disebabkan oleh mikroorganisme. Beberapa kondisi memerlukan pendekatan manajemen yang sama sekali berbeda:
Karena pengobatan faringitis streptokokus adalah antibiotik, sementara etiologi viral hanya membutuhkan perawatan suportif, dokter harus memiliki metode yang efisien dan akurat untuk memilah pasien. Pengobatan empiris (pemberian antibiotik tanpa diagnosis pasti) sangat dilarang karena berkontribusi pada resistensi antibiotik.
Untuk memprediksi probabilitas infeksi GAS, sistem penilaian klinis telah dikembangkan dan divalidasi. Kriteria Centor (kemudian dimodifikasi menjadi McIsaac criteria untuk memasukkan usia pasien) adalah alat utama yang digunakan secara global untuk memandu apakah tes diagnostik (Rapid Antigen Detection Test/RADT atau kultur) perlu dilakukan.
Setiap kriteria yang terpenuhi memberikan nilai 1 poin:
Penyesuaian Usia:
Interpretasi skor McIsaac menentukan langkah selanjutnya (Tes atau Tidak Tes/Treat):
RADT adalah tes cepat yang mendeteksi antigen dinding sel GAS dari apusan tenggorokan. Keunggulan utamanya adalah kecepatan (hasil dalam 5-10 menit), yang memungkinkan pengambilan keputusan pengobatan segera. Namun, sensitivitas RADT—kemampuannya untuk mendeteksi infeksi jika infeksi benar-benar ada—berkisar antara 80% hingga 90%. Oleh karena itu, pada anak-anak (di mana risiko demam reumatik lebih tinggi), hasil RADT negatif harus dikonfirmasi dengan kultur tenggorokan.
Kultur tenggorokan tetap menjadi ‘standar emas’ diagnostik. Sampel diinokulasi pada media agar darah domba dan diinkubasi selama 24 hingga 48 jam. Meskipun memakan waktu, kultur memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi (mendekati 95-99%). Kultur diperlukan untuk konfirmasi pada anak dengan RADT negatif, atau pada kasus kegagalan pengobatan berulang.
Tes ASO mengukur antibodi terhadap toksin streptolysin O yang diproduksi oleh GAS. Tes ini tidak digunakan untuk diagnosis akut faringitis, melainkan untuk mengonfirmasi infeksi GAS yang terjadi 2-6 minggu sebelumnya, terutama saat mengevaluasi diagnosis demam reumatik atau glomerulonefritis pasca-streptokokus.
Tujuan utama terapi antibiotik pada faringitis GAS adalah threefold: 1) Mencegah komplikasi pasca-streptokokus yang serius (demam reumatik), 2) Mempersingkat durasi gejala akut (walaupun efek ini minimal jika dibandingkan dengan pengobatan suportif), dan 3) Mencegah penyebaran infeksi ke orang lain.
Hingga saat ini, S. pyogenes belum menunjukkan resistensi klinis yang signifikan terhadap penisilin, menjadikannya agen lini pertama yang ideal karena efektivitas, keamanan, dan biaya yang rendah. Penisilin bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri.
Penisilin V adalah pilihan utama untuk pasien yang tidak alergi. Dosis dan durasi yang direkomendasikan harus dipatuhi secara ketat, yaitu 10 hari penuh, untuk memastikan eradikasi bakteri dan pencegahan demam reumatik. Penghentian pengobatan sebelum 10 hari adalah penyebab utama kegagalan eradikasi dan risiko komplikasi yang tersisa.
Amoksisilin sering disukai untuk anak-anak karena rasanya yang lebih enak dan regimen dosis yang lebih sederhana (satu atau dua kali sehari), yang meningkatkan kepatuhan pasien. Meskipun Amoksisilin lebih banyak digunakan dalam praktik, efektivitasnya untuk GAS tidak superior dari Penisilin V, dan durasi pengobatan 10 hari tetap krusial.
Pilihan ini digunakan ketika kepatuhan pasien (compliance) diragukan, atau pada pasien dengan riwayat demam reumatik untuk memastikan konsentrasi obat yang memadai tercapai dalam darah. Injeksi intramuskular dosis tunggal memberikan tingkat penisilin terapeutik selama 3 hingga 4 minggu.
Bagi pasien dengan alergi penisilin Tipe I (anafilaksis) yang terkonfirmasi, antibiotik dari kelas lain harus digunakan. Pilihan didasarkan pada tingkat keparahan alergi.
Makrolida menghambat sintesis protein bakteri. Azitromisin sangat populer karena durasi pengobatannya yang sangat singkat (biasanya 5 hari). Namun, resistensi S. pyogenes terhadap makrolida menjadi masalah yang berkembang di banyak wilayah geografis (mencapai 5% hingga 20% di beberapa lokasi). Jika resistensi makrolida diketahui tinggi di komunitas, obat ini harus dihindari.
Pada pasien dengan alergi penisilin non-anafilaksis (misalnya, ruam non-parah), sefalosporin generasi pertama adalah pilihan yang efektif. Ada risiko reaksi silang (cross-reactivity) yang sangat rendah antara penisilin dan sefalosporin (sekitar 2%). Sefalosporin dapat diberikan selama 10 hari atau, dalam beberapa kasus, 5 hari (seperti Sefpodoksim) dengan efikasi yang setara, asalkan dosisnya tepat.
Klindamisin direkomendasikan untuk kasus kegagalan pengobatan berulang (faringitis kambuhan) atau pada pasien dengan alergi berat terhadap penisilin dan makrolida. Klindamisin sangat efektif untuk mengeliminasi status 'karier' streptokokus (orang yang membawa bakteri tanpa gejala).
Pedoman medis internasional (IDSA, NICE, AAP) secara konsisten menekankan pentingnya durasi 10 hari untuk penisilin atau amoksisilin. Durasi yang lebih singkat (<10 hari) secara signifikan mengurangi tingkat eradikasi bakteri dan tidak dapat menjamin pencegahan demam reumatik. Pengecualian durasi singkat hanya berlaku untuk makrolida tertentu (Azitromisin 5 hari) atau beberapa sefalosporin spesifik, namun hal ini harus ditimbang dengan risiko resistensi.
Alasan utama mengapa faringitis streptokokus adalah satu-satunya infeksi tenggorokan yang secara rutin diobati dengan antibiotik adalah untuk mencegah komplikasi pasca-infeksi yang dapat merusak organ vital.
DRA adalah komplikasi non-supuratif (tidak bernanah) paling serius dari infeksi GAS yang tidak diobati. Ini adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat merusak jantung, sendi, otak, dan kulit. Kerusakan katup jantung permanen (Penyakit Jantung Reumatik/PJR) adalah konsekuensi paling menghancurkan dari DRA. Pemberian antibiotik dalam 9 hari pertama sejak timbulnya gejala faringitis streptokokus hampir 100% efektif dalam mencegah DRA.
GNPSA adalah penyakit ginjal yang disebabkan oleh pengendapan kompleks imun di glomeruli ginjal. Tidak seperti DRA, pencegahan GNPSA melalui terapi antibiotik masih diperdebatkan dan tidak sejelas pencegahan DRA. GNPSA biasanya membaik sendiri, tetapi dapat menyebabkan gagal ginjal dalam kasus yang parah.
Penggunaan antibiotik untuk infeksi virus—seperti faringitis viral—adalah pendorong utama krisis resistensi antimikroba (AMR). Setiap kali antibiotik digunakan, bakteri yang rentan dibunuh, tetapi bakteri yang secara genetik sedikit lebih kebal bertahan hidup dan berkembang biak. Tindakan ini memberikan tekanan selektif yang memperkuat strain bakteri resisten.
Alt Text: Ilustrasi skematis tentang resistensi antibiotik, menunjukkan bakteri resisten bertahan hidup setelah paparan obat.
Untuk melawan AMR, praktisi kesehatan harus mematuhi prinsip pengelolaan antimikroba (antibiotic stewardship), yang intinya adalah memastikan pasien mendapatkan obat yang tepat, pada dosis yang tepat, selama durasi yang tepat, dan hanya ketika dibutuhkan. Dalam konteks faringitis, ini berarti:
Mengingat dominasi kasus viral, fokus utama pengobatan bagi mayoritas pasien sakit tenggorokan adalah manajemen gejala yang efektif.
Obat-obatan non-resep memainkan peran sentral dalam mengurangi nyeri dan demam, yang merupakan inti dari ketidaknyamanan faringitis. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS) seperti Ibuprofen dan pereda nyeri seperti Parasetamol (Acetaminophen) adalah lini pertama.
Tindakan yang menargetkan langsung tenggorokan dapat memberikan bantuan yang cepat:
Faringitis streptokokus adalah penyakit yang paling sering menyerang kelompok usia sekolah. Manajemen memiliki prioritas tinggi karena risiko DRA yang tinggi. Selain itu, pada anak-anak, GAS dapat bermanifestasi dengan gejala gastrointestinal (muntah, nyeri perut) daripada gejala pernapasan klasik. Penting untuk selalu menguji anak usia 3 hingga 14 tahun yang menunjukkan gejala sugestif GAS.
Infeksi GAS pada ibu hamil umumnya tidak menimbulkan risiko serius pada janin, namun pengobatan harus dilakukan untuk mencegah infeksi dan penularan ke anggota keluarga. Penisilin dan Amoksisilin dianggap sangat aman selama kehamilan dan merupakan pilihan lini pertama.
Sejumlah individu (hingga 20% anak usia sekolah) mungkin membawa S. pyogenes di tenggorokan mereka tanpa menunjukkan gejala atau respons antibodi (karier asimtomatik). Pedoman umumnya merekomendasikan: status karier tidak perlu diobati dengan antibiotik. Pengobatan hanya diindikasikan jika ada faktor risiko tinggi (misalnya, riwayat keluarga DRA atau jika terjadi wabah di lingkungan tertutup).
Hampir semua pedoman klinis menyepakati bahwa faringitis streptokokus pada anak di bawah usia 3 tahun tidak perlu diuji atau diobati, karena risiko DRA pada usia ini sangat rendah, dan insidensi status karier sangat tinggi. Pengecualian adalah jika anak tersebut memiliki kakak atau anggota keluarga dengan riwayat DRA atau risiko tinggi lainnya.
Penisilin dan Amoksisilin termasuk dalam kelas Beta-Laktam, yang merupakan salah satu kelas antibiotik tertua dan paling efektif, terutama melawan bakteri Gram positif seperti GAS. Pemahaman tentang mekanisme kerjanya penting untuk menjelaskan mengapa resistensi terhadap Penisilin pada GAS belum berkembang.
Antibiotik Beta-Laktam bekerja dengan mengikat dan menghambat Penicillin-Binding Proteins (PBPs). PBP adalah sekelompok enzim (transpeptidase dan karboksiepeptidase) yang bertanggung jawab untuk sintesis ikatan silang di lapisan peptidoglikan, komponen struktural penting dari dinding sel bakteri. Dengan menghambat PBPs, Beta-Laktam mencegah pembentukan dinding sel yang kuat, menyebabkan lisis (pecah) bakteri.
Sebagian besar bakteri telah mengembangkan resistensi terhadap Beta-Laktam melalui produksi enzim Beta-Laktamase (penisilinase) yang menghidrolisis cincin Beta-Laktam. Contoh terkenal adalah Staphylococcus aureus. Namun, GAS secara genetik stabil dan belum memperoleh gen Beta-Laktamase. Resistensi yang kadang terlihat terhadap Penisilin dalam kultur klinis seringkali bukan resistensi sebenarnya, melainkan kegagalan klinis yang disebabkan oleh:
Ketika pasien mengalami episode berulang faringitis streptokokus yang terbukti positif, dokter mungkin beralih ke agen yang mengatasi masalah ko-patogen Beta-Laktamase, seperti:
Penting untuk membedakan antara faringitis berulang (reinfeksi) dan status karier yang bergejala. Hanya dokter yang dapat menentukan pendekatan yang tepat, seringkali memerlukan kultur lanjutan dan uji sensitivitas.
Mencegah penyebaran GAS—dan membatasi infeksi viral—adalah strategi terbaik untuk mengurangi kebutuhan antibiotik secara keseluruhan.
GAS menyebar melalui droplet pernapasan. Pencegahan standar meliputi:
Meskipun dampak GAS sangat besar (terutama karena DRA), pengembangan vaksin telah terhambat. Tantangan utama adalah keragaman strain protein M yang sangat besar (lebih dari 200 serotipe) dan kekhawatiran bahwa komponen vaksin dapat memicu respons autoimun (mimikri molekuler) yang menyebabkan DRA alih-alih mencegahnya. Penelitian sedang berlangsung, berfokus pada vaksin multivalen yang mencakup serotipe M paling umum dan paling reumatogenik.
Penggunaan rasional antibiotik, yang didasarkan pada diagnostik yang akurat dan kepatuhan terhadap durasi pengobatan 10 hari, adalah pilar manajemen faringitis streptokokus. Pemberian antibiotik harus selalu menjadi keputusan yang dipandu oleh bukti klinis, bukan hanya desakan pasien atau ketakutan akan komplikasi yang sebenarnya jarang terjadi.
Dengan memprioritaskan diagnosis yang terkonfirmasi, kita tidak hanya menjamin kesembuhan pasien secara individu dari infeksi bakteri yang berisiko, tetapi juga secara kolektif berjuang melawan ancaman eksistensial resistensi antibiotik, yang mengancam kemampuan kita untuk mengobati infeksi sederhana di masa depan. Seluruh strategi medis, dari penilaian klinis (Centor) hingga pemilihan obat (Penisilin V), dirancang untuk mencapai keseimbangan antara pengobatan yang efektif dan konservasi obat-obatan yang berharga ini.
Penyebaran informasi yang akurat mengenai perbedaan antara faringitis viral dan streptokokus adalah tanggung jawab kolektif. Setiap pasien harus memahami bahwa "obat pilek" yang paling manjur adalah waktu, hidrasi, dan pereda nyeri yang memadai, bukan antibiotik yang rentan terhadap penyalahgunaan.
Dalam konteks farmakologis yang begitu rinci, penting untuk menggarisbawahi kembali perbedaan mendasar antara efek bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) yang dominan pada Beta-Laktam dan efek bakteriostatik (menghambat pertumbuhan) pada beberapa agen lain seperti Makrolida. Efek bakterisidal yang kuat dari Penisilin terhadap GAS adalah mengapa ia tetap menjadi pilihan yang tak tertandingi untuk menjamin eradikasi dan mencegah demam reumatik.
Diskusi mengenai komplikasi harus selalu diiringi dengan data statistik yang relevan, menunjukkan betapa rendahnya insidensi demam reumatik di negara maju—sebuah pencapaian yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan Penisilin yang tepat waktu di masa lalu. Namun, di negara-negara dengan akses kesehatan terbatas, DRA tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, memperkuat pentingnya terapi 10 hari yang tuntas.
Untuk kasus-kasus langka yang disebabkan oleh Fusobacterium necrophorum (Sindrom Lemierre), diagnosis yang cepat sangat penting. Faringitis ini seringkali unilateral dan pasien tampak lebih sakit daripada yang diindikasikan oleh gejala tenggorokan saja, dengan demam yang tidak membaik. Meskipun agen ini sensitif terhadap penisilin, kombinasi dengan metronidazol atau klindamisin sering digunakan karena sifatnya yang anaerobik dan risiko komplikasi vaskular yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa meskipun faringitis sering dianggap remeh, spektrum patogen dan komplikasinya dapat sangat luas, menuntut kewaspadaan diagnostik yang tinggi dari klinisi.
Analisis farmakokinetik juga mendukung penggunaan Amoksisilin pada anak-anak. Karena Amoksisilin memiliki bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dan penyerapan yang lebih andal dibandingkan dengan Penisilin V, dokter merasa lebih yakin bahwa dosis yang tepat telah mencapai sistem sirkulasi, meskipun perbedaan klinis dalam efektivitas akhir melawan GAS minimal asalkan kepatuhan terjaga. Pertimbangan rasa yang lebih baik pada suspensi Amoksisilin merupakan faktor penting dalam keberhasilan pengobatan pediatrik, mengalahkan kebutuhan untuk dosis yang lebih sering.
Sebagai penutup dari pembahasan mendalam ini, pesan utama yang harus terinternalisasi adalah bahwa faringitis adalah diagnosis klinis yang kompleks. Keputusan untuk meresepkan antibiotik adalah keputusan yang memiliki dampak signifikan tidak hanya pada pasien, tetapi juga pada ekologi mikroba global. Prinsip kehati-hatian—menguji sebelum mengobati—harus dipegang teguh untuk melestarikan efektivitas antibiotik bagi generasi mendatang, memastikan bahwa obat-obatan ini tetap tersedia dan berfungsi saat infeksi bakteri yang benar-benar berbahaya menyerang.
Penerapan pedoman klinis berbasis bukti harus menjadi praktik standar. Perbedaan demam tinggi tanpa batuk dan hidung meler, yang mengarah pada skor McIsaac yang tinggi, harus mendorong pengujian. Sebaliknya, gejala pilek klasik yang disertai batuk, meskipun ada nyeri tenggorokan, harus mendorong penggunaan perawatan suportif saja. Dengan demikian, kita dapat menjembatani kesenjangan antara permintaan publik akan obat dan penggunaan medis yang bertanggung jawab.