I. Dasar-Dasar Tonsilitis dan Kebutuhan Terapi
Tonsilitis, atau radang amandel, adalah kondisi umum yang ditandai dengan peradangan pada tonsil, dua massa jaringan limfatik yang terletak di kedua sisi belakang tenggorokan. Meskipun seringkali dianggap sebagai penyakit ringan, tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri—terutama Streptococcus pyogenes (Grup A beta-hemolitik Streptococcus/GABHS)—membutuhkan penanganan antibiotik yang tepat dan disiplin untuk mencegah komplikasi serius yang berpotensi fatal.
Keputusan untuk memulai terapi antibiotik tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Diperkirakan bahwa lebih dari 70% kasus tonsilitis akut disebabkan oleh virus (misalnya, adenovirus, rhinovirus, virus Epstein-Barr), di mana antibiotik sama sekali tidak efektif dan justru berkontribusi pada peningkatan resistensi antimikroba global. Oleh karena itu, prinsip utama dalam manajemen tonsilitis adalah membedakan dengan cepat dan akurat antara etiologi virus dan bakteri.
Pentingnya Identifikasi Etiologi Bakteri
Pemberian antibiotik untuk tonsilitis bakteri memiliki dua tujuan utama yang sangat penting:
- Mempercepat pemulihan: Meskipun tonsilitis bakteri seringkali sembuh sendiri, antibiotik secara signifikan mengurangi durasi gejala demam dan nyeri tenggorokan.
- Mencegah Komplikasi Serius: Tujuan paling krusial adalah mencegah komplikasi non-supuratif yang timbul akibat respons autoimun terhadap GABHS, terutama Demam Reumatik Akut (DRA) dan Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus.
II. Memahami Anatomi Amandel dan Gejala Klinis
Tonsil palatina merupakan bagian dari Cincin Waldeyer, sebuah sistem pertahanan imun di tenggorokan. Ketika terinfeksi, tonsil membengkak, memerah, dan seringkali menunjukkan eksudat (lapisan putih atau kuning, sering disebut ‘nanah’).
Tanda dan Gejala Kunci
Meskipun sulit membedakan hanya dari gejala, dokter menggunakan kombinasi tanda dan riwayat klinis untuk menilai probabilitas infeksi bakteri GABHS. Gejala yang sangat mengarah pada bakteri meliputi:
- Onset gejala yang cepat (mendadak).
- Demam tinggi (di atas 38.5°C).
- Tidak adanya batuk dan pilek (yang biasanya menunjukkan virus).
- Pembesaran dan nyeri pada kelenjar getah bening servikal anterior (leher bagian depan).
- Eksudat tonsil yang jelas.
- Riwayat paparan pada seseorang dengan infeksi Streptokokus yang terkonfirmasi.
Skoring Diagnostik dan Uji Cepat
Untuk meminimalkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu, pedoman klinis modern sangat mendorong penggunaan sistem skoring (seperti Skala Centor atau McIsaac) dan pengujian mikrobiologis sebelum pemberian obat. Skala ini memberikan poin berdasarkan kriteria klinis (demam, eksudat, tidak ada batuk, usia, pembesaran KGB) untuk memperkirakan kemungkinan GABHS.
Jika skor risiko tinggi, dokter dapat segera melakukan Uji Deteksi Antigen Cepat (Rapid Strep Test/RST) atau kultur usap tenggorokan. Pemberian antibiotik disarankan hanya jika hasil tes menunjukkan positif GABHS. Jika hasil RST negatif pada anak-anak (karena potensi false negative), kultur harus dilakukan. Pada orang dewasa, RST negatif biasanya cukup untuk menyingkirkan infeksi bakteri yang signifikan secara klinis.
III. Prinsip Kunci Terapi Antibiotik untuk GABHS
Terapi antibiotik untuk tonsilitis bakteri harus memenuhi kriteria spesifik: memiliki spektrum sempit (hanya membunuh bakteri target, GABHS), dosis yang memadai, dan durasi yang cukup lama (biasanya 10 hari) untuk memberantas seluruh koloni bakteri dan mencegah DRA.
Mengapa 10 Hari? (The 10-Day Rule)
Durasi pengobatan adalah aspek yang paling sering diabaikan pasien. Untuk sebagian besar antibiotik yang digunakan melawan GABHS, durasi pengobatan harus 10 hari penuh. Studi menunjukkan bahwa pengobatan kurang dari 10 hari, meskipun gejala klinis membaik, tidak menjamin eliminasi total Streptokokus dari orofaring. Bakteri yang tersisa dapat memicu respons autoimun yang menyebabkan DRA. Pengecualian pada durasi ini hanya berlaku untuk Azithromycin (biasanya 5 hari) dan beberapa regimen Cephalosporin tertentu.
Resistensi dan Pilihan Obat
Untungnya, Streptococcus pyogenes secara global masih menunjukkan sensitivitas yang hampir sempurna terhadap antibiotik golongan penisilin. Resistensi GABHS terhadap penisilin sangat jarang terjadi, menjadikannya pilihan lini pertama yang efektif dan hemat biaya.
IV. Pilihan Antibiotik Lini Pertama: Penisilin dan Amoksisilin
Dalam kondisi tidak ada alergi, derivat penisilin adalah fondasi pengobatan tonsilitis GABHS. Pilihan ini didasarkan pada efektivitas klinis, spektrum sempit (meminimalkan gangguan flora normal usus), dan harga yang terjangkau.
A. Penisilin V (Penicillin V Potassium)
Penisilin V sering dianggap sebagai obat pilihan utama yang ideal. Ia sangat aktif melawan Streptokokus. Meskipun absorbsi oralnya sedikit kurang stabil dibandingkan Amoksisilin, dosis yang tepat dan regimen yang disiplin memastikan konsentrasi antimikroba yang cukup di jaringan tonsil.
- Mekanisme Kerja: Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat protein pengikat penisilin (PBP), menyebabkan lisis dan kematian sel bakteri.
- Dosis Dewasa Umum: 250 mg hingga 500 mg, diminum 2-4 kali sehari selama 10 hari.
- Dosis Anak: Dihitung berdasarkan berat badan, biasanya dalam dosis terbagi.
- Keuntungan Utama: Tidak ada resistensi GABHS yang signifikan, spektrum sangat sempit.
B. Amoksisilin (Amoxicillin)
Amoksisilin adalah turunan aminopenisilin yang sering digunakan, terutama dalam praktik pediatrik, karena memiliki rasa yang lebih enak (dalam bentuk suspensi) dan absorbsi gastrointestinal yang superior dibandingkan Penisilin V. Ini memungkinkan dosis yang diberikan hanya dua kali sehari (bid), yang meningkatkan kepatuhan pasien, terutama pada anak-anak.
- Dosis Dewasa Umum: 500 mg, dua hingga tiga kali sehari selama 10 hari.
- Keuntungan Utama: Kepatuhan pasien lebih baik karena dosis yang lebih jarang, absorbsi oral yang sangat baik.
Regimen Injeksi (Benzathine Penicillin G)
Untuk pasien yang dicurigai sangat tidak patuh (misalnya, kesulitan menelan pil atau riwayat kegagalan menyelesaikan kursus oral), Benzathine Penicillin G dosis tunggal yang diberikan secara intramuskular (suntikan) adalah alternatif yang sangat efektif. Dosis tunggal ini memastikan eradikasi GABHS dan pencegahan DRA, menghilangkan masalah kepatuhan 10 hari.
- Indikasi Khusus: Risiko Demam Reumatik tinggi, ketidakmampuan menyelesaikan kursus oral.
- Kelemahan: Pemberian suntikan yang menyakitkan dan risiko reaksi alergi yang parah, meskipun jarang.
V. Antibiotik Lini Kedua dan Alternatif (Kasus Alergi atau Kegagalan Terapi)
Ketika pasien memiliki riwayat alergi terhadap Penisilin (mulai dari ruam ringan hingga anafilaksis berat), atau jika terjadi kegagalan terapi lini pertama (persisten GABHS), dokter harus beralih ke golongan antibiotik alternatif.
A. Golongan Makrolida (Macrolides)
Makrolida sering menjadi pilihan utama bagi pasien alergi penisilin. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri.
1. Azithromycin
Azithromycin sangat populer karena memiliki waktu paruh yang panjang, memungkinkan durasi terapi yang jauh lebih pendek, biasanya hanya 5 hari (bukan 10 hari). Ini secara signifikan meningkatkan kepatuhan pasien.
- Kelebihan: Durasi pendek (5 hari), dosis sekali sehari.
- Kekurangan: Resistensi GABHS terhadap Azithromycin (dan Makrolida lainnya) telah meningkat secara signifikan di beberapa wilayah. Penggunaannya harus dipantau.
- Perhatian Khusus: Berhati-hati pada pasien dengan masalah jantung (risiko pemanjangan interval QT).
2. Clarithromycin dan Erythromycin
Clarithromycin umumnya lebih disukai daripada Erythromycin karena efek samping gastrointestinal (mual, muntah) yang lebih ringan. Keduanya memerlukan kursus 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptokokus.
B. Golongan Sefalosporin (Cephalosporins)
Sefalosporin adalah antibiotik beta-laktam yang terkait erat dengan penisilin. Sefalosporin generasi pertama dan kedua efektif melawan GABHS.
1. Sefalosporin Generasi Pertama (Contoh: Cefalexin)
Cefalexin adalah pilihan yang sangat baik dan sering digunakan. Ia memiliki aktivitas kuat melawan GABHS dan umumnya ditoleransi dengan baik. Diberikan selama 10 hari.
2. Sefalosporin Generasi Kedua (Contoh: Cefuroxime)
Beberapa pedoman merekomendasikan Cefuroxime untuk infeksi yang lebih berat atau berulang. Penting untuk dicatat bahwa jika alergi penisilin pasien parah (tipe anafilaksis), risiko alergi silang dengan sefalosporin, meskipun rendah (sekitar 2%), tetap menjadi pertimbangan serius.
C. Lincosamida (Contoh: Clindamycin)
Clindamycin tidak disarankan sebagai lini pertama karena spektrumnya yang lebih luas dan risiko infeksi Clostridioides difficile (C. diff) yang lebih tinggi. Namun, Clindamycin sangat penting dalam tiga situasi:
- Kasus Tonsilitis Berulang (sering kambuh).
- Kasus Gagal Terapi dengan Penisilin atau Amoksisilin.
- Pengobatan Infeksi Streptokokus Non-faringeal berat (seperti selulitis).
Clindamycin efektif karena mampu menembus biofilm dan mengatasi koinfeksi dengan bakteri penghasil beta-laktamase yang mungkin melindungi GABHS dari penisilin.
VI. Telaah Farmakologi dan Resistensi Antimikroba
Pemahaman mendalam tentang bagaimana antibiotik bekerja dan bagaimana resistensi berkembang adalah kunci untuk pengobatan yang bertanggung jawab. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat tidak hanya memperlambat penyembuhan individu tetapi juga merusak kesehatan masyarakat melalui peningkatan bakteri yang kebal obat.
A. Mekanisme Kegagalan Terapi
Kegagalan terapi lini pertama (yaitu, gejala klinis atau kultur tetap positif setelah menyelesaikan kursus 10 hari penisilin) dapat disebabkan oleh beberapa faktor, bukan hanya resistensi:
- Ketidakpatuhan Pasien: Paling sering terjadi. Pasien berhenti minum obat setelah 3-5 hari karena merasa lebih baik.
- Karier Streptokokus: Individu yang membawa GABHS tanpa gejala aktif, seringkali tidak memerlukan terapi, tetapi dapat menularkan.
- Koinfeksi Bakteri: Kehadiran bakteri penghasil beta-laktamase (seperti Haemophilus influenzae) di tenggorokan yang melindungi GABHS dari Penisilin/Amoksisilin. Dalam kasus ini, Amoksisilin dikombinasikan dengan penghambat beta-laktamase (misalnya, Amoksisilin-Klavulanat) atau Clindamycin mungkin diperlukan.
- Invasi Seluler: Teori bahwa GABHS bersembunyi di dalam sel epitel (intraseluler) sehingga sulit dijangkau oleh obat-obatan seperti Penisilin. Makrolida atau Clindamycin (yang memiliki penetrasi intraseluler yang lebih baik) menjadi pilihan.
B. Resistensi Makrolida
Meskipun GABHS sangat sensitif terhadap penisilin, resistensi terhadap Makrolida (Azithromycin, Erythromycin) menjadi perhatian di banyak negara. Mekanisme resistensi utama adalah modifikasi target obat melalui gen erm (erythromycin ribosome methylase) yang menyebabkan resistensi M-phenotype atau MLSB-phenotype. Sebelum meresepkan Makrolida, terutama jika angka resistensi lokal tinggi, konfirmasi mikrobiologis sensitivitas sangat dianjurkan.
VII. Target Utama Antibiotik: Pencegahan Komplikasi Non-Supuratif
Pencegahan komplikasi adalah alasan utama mengapa GABHS harus diobati secara agresif dan tuntas, padahal penyakit akutnya sendiri bersifat swasirna (self-limiting).
A. Demam Reumatik Akut (DRA)
DRA adalah sindrom inflamasi multisistem yang terjadi beberapa minggu setelah infeksi GABHS yang tidak diobati. DRA dapat menyebabkan kerusakan permanen pada katup jantung (Penyakit Jantung Reumatik) dan artritis yang parah. Pemberian antibiotik, bahkan jika dimulai hingga 9 hari setelah onset gejala, hampir sepenuhnya mencegah DRA.
Antibiotik bertindak untuk menghilangkan antigen Streptokokus sebelum tubuh meluncurkan respons autoimun yang merusak. Inilah mengapa kepatuhan 10 hari sangat penting—untuk memastikan semua antigen telah hilang.
B. Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus (GNAPS)
GNAPS adalah komplikasi ginjal yang ditandai dengan peradangan pada glomerulus. Sayangnya, tidak seperti DRA, pengobatan antibiotik dini pada faringitis GABHS belum terbukti secara konsisten mencegah GNAPS, meskipun sangat penting untuk mengobati infeksinya sendiri.
C. Komplikasi Supuratif Lokal
Ini adalah infeksi yang menyebar ke jaringan terdekat, termasuk:
- Abses Peritonsil (Quinsy): Kumpulan nanah di sekitar tonsil. Ini adalah komplikasi lokal yang paling umum dan memerlukan drainase bedah darurat selain antibiotik yang diberikan secara intravena (IV), biasanya Amoksisilin-Klavulanat atau Clindamycin.
- Selulitis Peritonsil: Peradangan jaringan tanpa pembentukan abses yang nyata.
- Limfadenitis Servikal: Pembesaran dan peradangan kelenjar getah bening leher yang parah.
VIII. Pendekatan Terapi untuk Tonsilitis Berulang
Tonsilitis berulang didefinisikan secara klinis sebagai terjadinya beberapa episode tonsilitis per tahun (misalnya, 7 episode dalam setahun terakhir, atau 5 episode per tahun dalam dua tahun terakhir, atau 3 episode per tahun dalam tiga tahun terakhir). Jika episode berulang ini terkonfirmasi bakteri, dokter harus mengevaluasi ulang regimen pengobatan.
Faktor Kegagalan dalam Tonsilitis Berulang
Pada tonsilitis berulang, kegagalan biasanya bukan karena resistensi GABHS terhadap penisilin, melainkan karena:
- Invasi Kripta Tonsil: Bakteri bersembunyi jauh di dalam kripta tonsil, tempat antibiotik sulit mencapai konsentrasi terapeutik yang memadai.
- Kegagalan Mikrobiologis: Kolonisasi ulang yang cepat dari sumber lain (sekolah, keluarga).
- Kehadiran Bakteri Pelindung (Beta-Laktamase): Bakteri di sekitar GABHS yang menghasilkan enzim yang mendegradasi penisilin.
Strategi Pengobatan yang Diubah
Ketika tonsilitis berulang terkonfirmasi bakteri, dokter mungkin memilih antibiotik yang dapat mengatasi bakteri penghasil beta-laktamase atau memiliki penetrasi jaringan yang lebih baik:
- Amoksisilin/Klavulanat (Augmentin): Kombinasi ini mengatasi bakteri pelindung (beta-laktamase) dan sangat efektif.
- Clindamycin: Pilihan yang kuat karena spektrumnya yang mencakup bakteri anaerob dan kemampuannya melawan bakteri pelindung. Kursus 10 hari sangat penting.
- Cephalosporin Generasi Kedua atau Ketiga: Dapat dipertimbangkan jika opsi lain tidak berhasil.
Indikasi Tonsilektomi
Jika tonsilitis berulang memengaruhi kualitas hidup, menyebabkan masalah tidur (apnea tidur obstruktif), atau mengakibatkan abses peritonsil berulang, tonsilektomi (operasi pengangkatan amandel) menjadi opsi kuratif. Pembedahan ini menghilangkan sumber infeksi kronis.
IX. Pertimbangan Khusus: Populasi Pediatrik dan Dewasa
Meskipun GABHS dapat menyerang semua usia, DRA paling sering terjadi pada anak-anak. Oleh karena itu, ambang batas untuk pengujian dan pengobatan antibiotik lebih rendah dan lebih ketat pada populasi pediatrik.
Populasi Pediatrik (Anak-anak)
Pedoman klinis sangat menekankan pengujian (RST/Kultur) pada anak usia 5 hingga 15 tahun sebelum meresepkan antibiotik. Tonsilitis pada anak di bawah 3 tahun sangat jarang disebabkan oleh GABHS, sehingga pengujian rutin tidak dianjurkan kecuali ada riwayat paparan keluarga yang terkonfirmasi.
- Amoksisilin: Seringkali menjadi pilihan pertama karena rasa yang lebih baik dan dosis dua kali sehari yang memudahkan orang tua.
- Dosis: Dihitung berdasarkan berat badan, biasanya 50 mg/kg/hari dibagi dua dosis.
- Pentingnya Pencegahan DRA: Kepatuhan orang tua terhadap kursus 10 hari sangat vital karena risiko DRA pada anak-anak jauh lebih tinggi daripada pada orang dewasa.
Populasi Dewasa
Pada orang dewasa, risiko DRA jauh lebih rendah. Oleh karena itu, pada orang dewasa dengan skor Centor rendah, observasi dan pengobatan suportif mungkin lebih diutamakan. Namun, jika GABHS terkonfirmasi (terutama pada dewasa muda), regimen 10 hari yang sama (Penisilin V atau Amoksisilin) harus diikuti untuk membersihkan infeksi dan mencegah penyebaran.
Perhatian khusus pada orang dewasa seringkali diarahkan pada diagnosis banding, seperti infeksi mononukleosis (disebabkan oleh EBV), yang sering meniru tonsilitis akut berat. Pemberian Amoksisilin pada pasien dengan mononukleosis dapat menyebabkan ruam non-alergi yang luas, meskipun ini bukan kontraindikasi mutlak terhadap antibiotik secara umum.
X. Peran Pengobatan Suportif di Samping Antibiotik
Antibiotik hanya mengatasi infeksi bakteri itu sendiri. Untuk meredakan gejala akut (nyeri, demam, kesulitan menelan) yang paling mengganggu pasien, pengobatan suportif diperlukan secara bersamaan.
A. Manajemen Nyeri dan Demam
Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), seperti Ibuprofen, atau Acetaminophen (Paracetamol) adalah pilar utama manajemen gejala. Obat-obatan ini tidak hanya menurunkan demam tetapi juga mengurangi peradangan tonsil, sehingga memudahkan pasien untuk menelan dan menjaga hidrasi.
B. Hidrasi dan Nutrisi
Karena nyeri hebat dapat menyebabkan pasien enggan makan atau minum (dehidrasi), penting untuk mendorong asupan cairan yang adekuat. Cairan dingin, es krim, atau makanan lunak dapat membantu meredakan rasa sakit dan menjaga status nutrisi.
C. Kumur dan Lozenges
Obat kumur antiseptik atau lozenges (permen pelega tenggorokan) yang mengandung anestesi lokal (seperti benzocaine atau lidocaine) dapat memberikan bantuan sementara untuk nyeri tenggorokan lokal. Ini bukan pengganti antibiotik, melainkan terapi tambahan.
D. Edukasi Pencegahan Penularan
Pasien yang diobati dengan antibiotik untuk GABHS tidak lagi dianggap menular 24 jam setelah dosis antibiotik pertama. Edukasi ini penting, terutama untuk anak sekolah, sehingga mereka dapat kembali ke aktivitas normal secepat mungkin tanpa menyebarkan infeksi lebih lanjut.
XI. Kesimpulan dan Etika Peresepan
Keputusan untuk menggunakan antibiotik dalam pengobatan tonsilitis harus selalu berdasarkan bukti kuat adanya infeksi Streptococcus pyogenes, baik melalui penilaian klinis yang ketat (skoring Centor/McIsaac) maupun konfirmasi laboratorium (RST atau kultur). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada tonsilitis virus merupakan ancaman serius terhadap efektivitas obat di masa depan.
Penisilin dan Amoksisilin tetap menjadi pilihan lini pertama yang unggul karena efektivitasnya yang tak tertandingi melawan GABHS dan profil resistensinya yang rendah. Terlepas dari pilihan obat, kunci keberhasilan pengobatan tonsilitis bakteri adalah kepatuhan pasien yang tidak terputus terhadap kursus pengobatan 10 hari penuh. Kegagalan untuk mematuhi durasi ini membuka peluang bagi komplikasi kronis seperti Demam Reumatik Akut, yang konsekuensinya jauh melampaui ketidaknyamanan radang tenggorokan biasa.
Setiap profesional kesehatan memiliki tanggung jawab etis untuk menjaga cadangan antibiotik yang efektif, dan ini dimulai dengan memastikan bahwa setiap pasien tonsilitis menerima diagnosis yang benar dan, jika antibiotik diperlukan, regimen pengobatan yang tepat dan tuntas.