Sebuah penolakan terhadap purisme fungsionalisme dan perayaan atas kompleksitas, simbolisme, serta kontekstualisme dalam desain bangunan.
Arsitektur Post Modern (APM) bukanlah sekadar gaya atau tren visual, melainkan sebuah gerakan intelektual dan filosofis yang menandai titik balik paling radikal dalam sejarah desain abad ke-20. Muncul pada pertengahan 1960-an dan mencapai puncaknya pada 1980-an, APM lahir dari kekecewaan mendalam terhadap janji-janji Modernisme. Jika Modernisme, dengan slogannya “bentuk mengikuti fungsi,” menjanjikan utopia sosial melalui puritas, efisiensi, dan universalitas, maka Post Modernisme justru melihat bahwa janji-janji tersebut gagal total, menghasilkan lingkungan binaan yang monoton, steril, dan tidak manusiawi.
Gerakan ini secara fundamental menolak dogma arsitek Modernis yang kaku, yang cenderung menghilangkan ornamen, menolak sejarah, dan memaksakan gaya internasional yang seragam di mana-mana. Bagi para arsitek Post Modern, dunia nyata—terutama lingkungan urban Amerika pasca-perang—adalah sebuah kekacauan yang kaya, penuh kontradiksi, dan meriah. Mereka berpendapat bahwa arsitektur seharusnya merangkul kekacauan ini, bukan mencoba menekannya dengan kotak-kotak baja dan kaca yang dingin.
Post Modernisme, dalam esensinya, adalah sebuah arsitektur komunikasi. Bangunan harus berbicara kepada publik, menceritakan sejarah, merujuk pada budaya lokal, dan bahkan menggunakan humor atau ironi. Ini adalah kembalinya makna (simbolisme) setelah era Modernisme yang didominasi oleh fungsi (fungsionalisme). Pergeseran dari ‘Less is More’ (Mies van der Rohe) menjadi ‘Less is a Bore’ (Robert Venturi) adalah deklarasi perang yang paling ringkas dan ikonik dari gerakan ini.
Untuk memahami kekuatan ledakan Post Modernisme, kita harus terlebih dahulu memahami fondasi yang digoyang oleh Modernisme itu sendiri. Modernisme, khususnya Arsitektur Internasional, telah menjadi bahasa global arsitektur sejak 1920-an. Namun, setelah Perang Dunia II, terutama dalam proyek-proyek pembangunan kembali kota dan perumahan sosial berskala besar, kelemahan Modernisme mulai terlihat jelas.
Puncak kegagalan Modernisme sering kali disimbolkan oleh penghancuran kompleks perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, pada tahun 1972. Dirancang oleh Minoru Yamasaki (kelak arsitek World Trade Center), Pruitt-Igoe adalah contoh murni dari idealisme Modernis: blok-blok tinggi, efisien, yang diletakkan di tengah ruang terbuka. Namun, desain yang mengabaikan konteks sosial dan kebutuhan emosional penghuni ini segera menjadi sarang kejahatan dan disfungsi sosial.
Charles Jencks, kritikus terkemuka Post Modernisme, menyebut pembongkaran Pruitt-Igoe pada tanggal 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore, sebagai hari “kematian” Arsitektur Modern. Peristiwa ini bukan hanya kegagalan teknis, melainkan kegagalan ideologis. Struktur Modernis, yang dirancang untuk efisiensi maksimal, ternyata tidak mampu menyediakan identitas, rasa memiliki, atau kenyamanan psikologis yang dibutuhkan oleh komunitas.
Kritik lain berpusat pada dominasi fungsionalisme yang ekstrem. Modernisme percaya bahwa bentuk yang paling jujur adalah bentuk yang secara murni mencerminkan fungsi internal dan struktur. Hal ini menyebabkan bangunan menjadi terlalu teknokratis dan seringkali dingin. Ornamen dianggap sebagai kejahatan, sebuah pemborosan moral dan estetika, sebagaimana dipopulerkan oleh Adolf Loos.
Post Modernis melihat ini sebagai pengosongan makna. Dengan menghilangkan semua referensi historis, simbolik, dan dekoratif, arsitektur kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan penghuni di tingkat budaya dan emosional. Masyarakat tidak menginginkan mesin untuk ditinggali; mereka menginginkan rumah atau bangunan publik yang memiliki karakter, yang dapat mereka kenali dan cintai.
Latar belakang intelektual Post Modernisme sangat dipengaruhi oleh teori linguistik dan semiotika. Arsitektur dilihat sebagai bahasa. Jika Modernisme hanya memiliki satu diksi (kejelasan, puritas), maka Post Modernisme menawarkan seluruh kamus (ambiguitas, ironi, sejarah, kitsch). Tokoh-tokoh seperti Robert Venturi mulai menggunakan istilah-istilah seperti kompleksitas, kontradiksi, dan ambiguitas sebagai nilai positif yang harus dirayakan, bukan dihindari.
APM tidak memiliki manifesto tunggal yang kaku, namun didasarkan pada serangkaian prinsip yang secara kolektif menolak kanon Modernis.
Venturi, dalam bukunya seminal Complexity and Contradiction in Architecture (1966), menyerukan arsitek untuk berhenti mencari kesederhanaan. Ia berargumen bahwa kehidupan nyata itu kompleks, dan arsitektur yang baik haruslah “rumit dan kontradiktif, bukan hitam atau putih, tetapi abu-abu.” Kontradiksi visual, seperti dinding yang terlihat berat namun ringan secara struktural, atau kolom yang tidak menyangga apa pun, digunakan untuk menciptakan ketegangan dan makna berlapis.
Prinsip ini adalah yang paling terlihat. Post Modernisme secara terang-terangan membawa kembali elemen-elemen historis—kolom, pedimen, kubah, lengkungan—yang telah dibuang oleh Modernisme. Namun, elemen-elemen ini tidak digunakan dalam gaya aslinya yang murni. Sebaliknya, mereka digunakan dalam konteks baru, seringkali dengan skala yang dilebih-lebihkan atau dalam material yang tidak terduga, menghasilkan apa yang disebut pastiche (campuran gaya yang disengaja) atau collage.
Historisisme di sini bukan sekadar imitasi, melainkan penggunaan sejarah sebagai sumber daya leksikal, memungkinkan bangunan untuk menceritakan kisah tentang masa lalu dan lokasinya. Contoh ikonik adalah penggunaan kolase gaya Mesir, Yunani, dan bahkan Art Deco dalam karya Michael Graves.
Jika Modernisme bertujuan untuk gaya internasional yang cocok di mana saja (tabula rasa), Post Modernisme menekankan pluralisme—pengakuan bahwa tidak ada satu gaya yang benar. Arsitektur harus merespons konteks langsungnya, baik sejarah, budaya, maupun lingkungan. Ini mendorong penggunaan material lokal, bentuk atap tradisional, dan skema warna yang berani, yang semuanya telah dilarang dalam panduan estetika Modernis.
Kembalinya ornamen dan simbolisme adalah ciri khas. Post Modernis percaya bahwa bangunan harus berkomunikasi, dan komunikasi membutuhkan simbol yang dapat dikenali oleh masyarakat umum. Ini bisa berupa jendela Palladian yang digambar di dinding, atau penggunaan warna-warna cerah dan motif dekoratif yang bersifat populisme, merayakan selera "biasa" yang diremehkan oleh kaum elit Modernis.
Tidak seperti keseriusan Modernisme yang hampir religius, Post Modernisme seringkali melibatkan humor, ironi, dan self-parody. Bangunan mungkin memiliki detail yang sengaja dibuat canggung atau lucu, merujuk pada budaya pop atau komersial. Penggunaan elemen kitsch (seni yang dianggap norak atau sentimental, namun populer) diangkat menjadi subjek seni yang sah. Ini adalah seni yang sadar diri, yang mengakui dirinya sebagai bagian dari permainan budaya yang lebih besar.
Post Modernisme tidak muncul dari satu sekolah tertentu seperti Bauhaus, melainkan dari karya individu dan publikasi teoretis yang menantang status quo. Tiga tokoh utama—Venturi, Jencks, dan Johnson—menjadi pilar intelektual dan praktikal gerakan ini.
Robert Venturi (bersama istrinya, perencana kota Denise Scott Brown) adalah arsitek yang memberikan landasan teoretis paling kuat bagi APM. Karyanya pada 1960-an merupakan kritik yang sangat cerdas terhadap Modernisme.
Buku ini sering disebut sebagai Alkitab Post Modern. Venturi menganjurkan arsitektur yang “ambigu dan kontradiktif, ganda daripada tunggal, tak langsung daripada langsung, absurd daripada logis, dan inklusif daripada eksklusif.” Ia memuji elemen-elemen yang dianggap buruk oleh Modernis, seperti vitalitas yang canggung, dan estetika yang tidak murni. Ia mencontohkan arsitektur Mannerisme dan Barok sebagai sumber inspirasi untuk mencapai ketegangan visual yang dibutuhkan.
Ditulis bersama Scott Brown dan Steven Izenour, buku ini adalah manifesto Post Modernisme yang paling radikal dan kontroversial. Mereka menganalisis jalur komersial Las Vegas (The Strip) sebagai fenomena arsitektur yang sah. Mereka berpendapat bahwa arsitek harus belajar dari estetika komersial, ikonografi pop, dan bangunan yang komunikatif, betapapun vulgar atau ‘kitsch’nya mereka terlihat.
Dari buku ini lahirlah dikotomi terkenal: The Duck versus The Decorated Shed (Bebek vs. Gudang Berdekorasi). The Duck adalah bangunan di mana bentuk keseluruhan melambangkan fungsi (misalnya, toko hot dog berbentuk hot dog raksasa). The Decorated Shed adalah bangunan fungsional sederhana (gudang) yang komunikasinya—simbol dan iklan—ditambahkan ke fasad. Venturi dan Scott Brown mendukung Gudang Berdekorasi karena kejujurannya terhadap struktur dan fleksibilitasnya dalam komunikasi. Mereka melihat sebagian besar bangunan Modernis yang pretentious sebagai Bebek yang tidak jujur.
Rumah yang dibangun untuk ibunya ini sering dianggap sebagai karya Post Modern pertama. Rumah ini secara cerdas menggunakan elemen tradisional (atap pelana, cerobong asap monumental) dan menyalahgunakannya. Fasadnya simetris, tetapi jendelanya asimetris. Pedimennya dipecah menjadi dua bagian (broken pediment), dan lengkungan yang tampak megah hanya berfungsi sebagai ambang dekoratif, menolak struktur internal yang logis.
Charles Moore adalah tokoh penting yang menerapkan prinsip-prinsip APM secara masif, terutama dalam desain publik. Ia dikenal karena pendekatannya yang kontekstual dan teatrikal, yang dirancang untuk membangkitkan ingatan kolektif.
Ini mungkin adalah salah satu contoh APM yang paling murni dan paling dramatis. Dibuat sebagai alun-alun peringatan bagi komunitas Italia-Amerika di New Orleans, Moore menciptakan sebuah kolase arsitektur yang menggunakan kolom-kolom Doric, Ionia, dan Korintus yang direplikasi, tetapi dibuat dari baja tahan karat, neon, dan warna-warna pastel mencolok. Air mancur berbentuk peta Italia menjadi pusatnya. Bangunan ini tidak takut pada kitsch; ia merangkulnya untuk menciptakan tempat yang menyenangkan, meriah, dan sangat komunikatif, jauh dari formalitas alun-alun Modernis yang kaku.
Michael Graves adalah wajah APM di mata publik Amerika pada era 1980-an, dikenal karena penggunaan warna-warna palet bumi, bentuk monumental, dan referensi eklektik terhadap arsitektur klasik, Mesir, dan Art Deco.
Bangunan ini adalah titik balik di mana APM memasuki arsitektur institusional. The Portland Building, sebuah kantor pemerintah, secara radikal menolak kotak kaca Modernis yang mendominasi gedung pencakar langit. Graves memberinya fasad tiga bagian (basis, badan, dan mahkota) yang mengingatkan pada arsitektur klasik. Ia menggunakan keramik berwarna-warni, pita dekoratif tebal, dan patung-patung raksasa (disebut 'keystones') di atas fasad yang berfungsi murni sebagai ornamen. Kritik awal sangat tajam, tetapi bangunan itu berhasil memicu diskusi publik tentang arsitektur, sesuatu yang gagal dilakukan oleh bangunan Modernis.
Philip Johnson, yang ironisnya adalah arsitek Modernis terkemuka (bersama Mies van der Rohe merancang Seagram Building), membuat kejutan besar ketika ia beralih ke Post Modernisme pada usia senja kariernya. Perubahan ini menjadi simbol bahwa gerakan APM telah menang secara institusional.
Mahakarya Post Modern Johnson ini adalah gedung pencakar langit pertama yang secara terbuka menggunakan elemen historis. Johnson memberikan gedung ini mahkota yang ikonik: sebuah pedimen patah yang sangat besar, menyerupai lemari chippendale atau pedimen klasik. Mahkota ini sama sekali tidak fungsional, murni simbolis. Johnson mengembalikan gagasan bahwa gedung pencakar langit harus memiliki ‘kepala’ yang membedakannya di cakrawala kota, bukan sekadar balok yang terus menerus.
Rossi, seorang arsitek Italia, memberikan dimensi filosofis Post Modernisme melalui pendekatan yang disebut Arsitektur Analogi. Berbeda dengan Graves dan Johnson yang lebih populis, Rossi menggunakan bentuk-bentuk dasar (lingkaran, bujur sangkar, segitiga) yang diulang, tetapi dengan referensi kuat pada arsitektur vernakular Eropa dan struktur arketipal. Karyanya dipenuhi nostalgia, melankolis, dan ingatan kolektif kota.
Teater apung ini adalah kubus sederhana dengan atap berbentuk oktagon yang mengingatkan pada menara air industri dan kuil kuno, menciptakan dialog yang kuat antara bentuk murni dan memori sejarah.
Secara visual, APM dapat dilihat sebagai karnaval arsitektur, sebuah perayaan atas apa yang sebelumnya dianggap buruk atau vulgar. Estetika ini dapat dianalisis melalui beberapa elemen khas.
Ornamen kembali, tetapi dengan kesadaran diri. Bukan ornamen yang secara organik tumbuh dari struktur (seperti Art Nouveau), melainkan ornamen yang ditempelkan (applied ornament), yang seringkali berfungsi sebagai tanda komunikasi. Dalam banyak kasus, ornamen ini berukuran raksasa, seperti garland yang menutupi fasad bangunan kantor.
APM seringkali bermain-main dengan skala untuk menciptakan kejutan atau ironi. Kolom atau elemen detail yang seharusnya kecil dalam bangunan klasik, bisa diperbesar menjadi monumental, atau sebaliknya, elemen struktural utama disembunyikan. Hal ini menciptakan kesan teatrikal dan tidak terduga.
Warna adalah salah satu alat yang paling kuat dalam APM. Alih-alih warna putih, abu-abu, dan beige Modernisme, APM menggunakan palet warna pastel yang cerah (pink, mint, lavender) atau warna primer yang berani untuk menyoroti bagian-bagian dekoratif. Selain itu, APM tidak malu menggunakan material non-tradisional, seperti plastik berlapis, baja berwarna, atau keramik yang meniru batu marmer.
Post Modernis ingin mengembalikan formalitas pada bangunan publik. Mereka sering mendesain pintu masuk yang sangat seremonial, besar, dan didekorasi dengan mewah, memberikan kesan bahwa memasuki bangunan tersebut adalah peristiwa penting, bukan sekadar urusan fungsional.
Meskipun akar intelektual Post Modernisme sangat Amerika, berakar pada budaya pop dan komersial Las Vegas, gerakan ini menyebar ke seluruh dunia, mengambil bentuk yang unik sesuai dengan konteks sejarah dan budaya lokal.
Di Eropa, kritik terhadap Modernisme lebih berfokus pada kerusakan yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan pasca-perang yang mengabaikan sejarah kota yang kaya. Arsitek Eropa cenderung menggunakan historisisme dengan nuansa yang lebih mendalam, kurang ironis, dan lebih terikat pada memori kolektif daripada pop-art.
James Stirling, seorang arsitek Inggris, adalah figur penting yang menjembatani Modernisme Akhir dan Post Modernisme. Karyanya seperti Neue Staatsgalerie di Stuttgart (1984) adalah contoh utama. Bangunan ini menggunakan kolom, rotunda (ruang melingkar), dan tangga monumental yang merujuk pada museum Neoklasik, tetapi ia mengombinasikannya dengan elemen Modernis yang high-tech, menggunakan material berwarna-warni (pink dan hijau terang) dan geometris yang kontras. Stirling menciptakan dialog yang tegang antara yang lama dan yang baru.
Di Jepang, Post Modernisme menjadi cara untuk menyuntikkan karakter individual ke dalam lanskap urban yang padat dan seringkali seragam. Arsitek Jepang seperti Arata Isozaki dan Shin Takamatsu menerapkan elemen APM dengan kecanggihan dan ketelitian yang tinggi, menggabungkan referensi tradisional Jepang dengan bentuk geometris yang berani dan kadang-kadang absurd.
Isozaki, misalnya, dalam Museum Seni Kontemporer di Los Angeles, menggunakan elemen klasik dengan batu pasir merah India, menciptakan sebuah bangunan yang menolak lokalitas Amerika sekaligus merangkul tradisi Mediterania, menunjukkan pluralisme global APM.
Di Australia, Post Modernisme sering diartikan sebagai kesempatan untuk melepaskan diri dari gaya kolonial Inggris yang kaku. Bangunan-bangunan mulai menggunakan warna-warna cerah yang terinspirasi dari lanskap gurun dan pantai, serta merujuk pada elemen arsitektur Art Deco yang telah ada.
Di Amerika Latin, APM memungkinkan arsitek untuk kembali ke arsitektur vernakular dan gaya pre-kolonial yang telah lama ditekan oleh dominasi Modernisme. Ini menjadi cara untuk menegaskan identitas budaya melalui penggunaan ornamen dan pola-pola lokal.
Meskipun Post Modernisme berhasil membebaskan arsitektur dari dogmatisme Modernis, ia juga menarik kritik tajam dan seringkali valid, yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran menuju gaya baru di akhir 1990-an.
Kritik utama adalah bahwa APM, dalam fokusnya pada fasad dan dekorasi, mengabaikan isu-isu fungsional dan struktural yang serius. Banyak kritikus berpendapat bahwa APM hanyalah sebuah “make-up” kosmetik, atau dekorasi tanpa substansi. Jika Modernisme terlalu jujur (strukturnya terlihat), APM dituduh terlalu palsu (dekorasinya menipu). Bentuk-bentuk historis yang digunakan seringkali tidak memiliki kedalaman filosofis, melainkan sekadar pastiche yang dangkal.
Kritikus Modernis menuduh APM telah meninggalkan komitmen sosial yang menjadi inti Modernisme awal (seperti penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau). Dengan fokus pada simbolisme dan individualitas, APM sering dianggap sebagai arsitektur untuk kaum elit, institusi korporat, atau hiburan, yang tidak mampu mengatasi masalah urbanisasi yang mendesak.
Venturi memuji estetika komersial, tetapi banyak yang melihat hal ini sebagai capitulasi terhadap kapitalisme. Arsitektur Post Modern, dengan penggunaan ikon pop dan kitsch, dituduh merendahkan seni arsitektur menjadi alat pemasaran. Bangunan tidak lagi menjadi karya seni permanen, melainkan iklan yang harus menarik perhatian secara cepat dan ironis.
Pluralisme yang dirayakan oleh APM juga dikritik karena kurangnya kohesi. Karena setiap bangunan dapat merujuk pada sejarah apa pun, atau menggunakan warna apa pun, hasilnya adalah lanskap kota yang terlihat campur aduk, tidak teratur, dan hiperaktif secara visual. Kota-kota kehilangan rasa kesatuan estetika.
Meskipun APM mulai meredup pada akhir abad ke-20, warisannya sangat mendalam dan membentuk semua gerakan arsitektur selanjutnya. APM berhasil melegitimasi gagasan bahwa arsitektur adalah sebuah bahasa budaya, bukan sekadar solusi teknik.
Post Modernisme adalah gerakan yang menghancurkan pagar pembatas dogmatis. Setelah Venturi mengatakan "Anda boleh menggunakan dekorasi," pintu terbuka bagi semua eksplorasi. Ini secara langsung memicu munculnya:
Pengaruh terbesar APM mungkin terlihat dalam desain urban. Penekanan pada skala manusia, penciptaan ruang publik yang menyenangkan (bukan hanya ruang kosong di antara blok), dan penggunaan memori sejarah telah mengubah cara kota modern direncanakan. Perencana kota saat ini hampir selalu mempertimbangkan konteks sejarah dan budaya, sebuah praktik yang hampir tidak terpikirkan selama puncak Modernisme murni.
Post Modernisme berhasil mengembalikan arsitektur dari laboratorium para insinyur ke ranah wacana publik. Ia mengajarkan kita bahwa bangunan, selain menjadi tempat berlindung, harusnya bersifat komunikatif, kompleks, dan, yang paling penting, mampu membuat kita tersenyum atau berpikir secara mendalam tentang dunia di sekitar kita.
Arsitektur Post Modern adalah respons yang diperlukan terhadap kekakuan dan idealisme yang gagal dari Modernisme. Ia merayakan keindahan yang ditemukan dalam sejarah, kontradiksi, dan bahkan vulgaritas budaya pop. Dengan menggunakan historisisme, pluralisme, dan simbolisme, APM menantang anggapan bahwa bentuk harus selalu murni atau sederhana.
Meskipun sering dicerca karena dekorasinya yang berlebihan dan kurangnya substansi sosial, APM telah berhasil membebaskan arsitek untuk melihat ke masa lalu tanpa rasa bersalah dan untuk berinteraksi dengan publik secara langsung melalui bahasa visual yang kaya dan berlapis. APM memastikan bahwa arsitektur tidak akan pernah lagi hanya tentang beton dan baja yang dingin, melainkan tentang cerita, ingatan, dan perayaan kehidupan urban yang kompleks dan kontradiktif.