Surah At Taubah, yang sering dijuluki sebagai Bara’ah, menempati posisi unik dalam Al-Qur'an. Ini adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan lafaz Basmalah, sebuah isyarat yang menurut banyak ulama menunjukkan nuansa keras, peringatan tegas, dan penentuan sikap terhadap kaum munafik dan mereka yang melanggar perjanjian. Surah ini diturunkan di Madinah, pada periode akhir kenabian, dan secara dominan membahas isu-isu krusial terkait jihad, hubungan dengan non-Muslim, dan yang terpenting, ujian keimanan dan pembersihan barisan umat Islam dari elemen-elemen kemunafikan.
Ayat 105 dari Surah At Taubah merupakan salah satu pilar motivasi etika kerja dan akuntabilitas dalam Islam. Ayat ini tidak hanya berbicara kepada para sahabat yang tulus, tetapi juga secara spesifik diturunkan dalam konteks penanganan masalah orang-orang munafik yang awalnya enggan berpartisipasi dalam perang Tabuk atau yang amalannya diragukan. Setelah turunnya serangkaian ayat tentang tobatnya tiga orang sahabat yang jujur (Ka’b bin Malik dan dua rekannya), Allah SWT memberikan perintah universal ini, memisahkan secara jelas antara amal yang dilakukan dengan kejujuran dan amal yang hanya bersifat pura-pura.
Pesan sentral dari ayat ini sangat lugas dan multidimensi. Ia memulai dengan perintah eksplisit, 'Wa quli-’malū' (Dan katakanlah, "Bekerjalah!"), dan kemudian menetapkan tiga tingkat saksi yang akan mengamati pekerjaan tersebut, serta satu kepastian akhir tentang pertanggungjawaban. Ini adalah ayat yang mengajarkan bahwa kehidupan di dunia adalah ladang amal, dan tidak ada satu pun tindakan, sekecil apa pun, yang luput dari pengawasan Ilahi dan sanksi etika komunal.
Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang antara keyakinan dan tindakan. Iman tanpa amal adalah hampa, sementara amal tanpa keikhlasan adalah sia-sia. At Taubah 105 adalah fondasi bagi etos kerja Muslim, menekankan bahwa kualitas pekerjaan tidak hanya dinilai di mata manusia, tetapi juga akan diperiksa dan dibuka di hadapan Sang Maha Mengetahui, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat.
Wa quli-’malū fa sa yarallāhu ‘amalakum wa rasūluhū wal mu’minūn; wa sa turaddūna ilā ‘ālimil ghaibi wash shahādati fa yunabbi’ukum bimā kuntum ta‘malūn.
"Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'" (QS. At Taubah [9]: 105)
Setiap frase dalam terjemahan ini mengandung beban makna yang mendalam, mulai dari perintah tegas untuk beraktivitas (bekerja), hingga kepastian audit abadi. Ayat ini membagi proses penilaian menjadi dua fase utama: penilaian di dunia melalui saksi hidup (Allah, Rasul, dan Mukminin) dan penilaian mutlak di Akhirat oleh Sang Maha Mengetahui yang Gaib dan yang Nyata.
Frase awal, ‘Wa qul-i’malū’ (Dan katakanlah: Bekerjalah!), bukanlah sekadar saran, melainkan perintah (fi’il amr) yang mengikat setiap Muslim. Ini menempatkan kerja, atau amal shaleh, pada kedudukan yang sama pentingnya dengan ibadah ritual. Dalam konteks Islam, ‘amal’ memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada sekadar pekerjaan mencari nafkah. Ia mencakup setiap usaha, setiap tindakan, dan setiap niat yang ditujukan untuk mencari keridaan Allah SWT.
Amal dalam konteks At Taubah 105 meliputi:
Perintah untuk beramal ini menghapuskan pemahaman pasif terhadap agama. Muslim tidak diizinkan untuk berdiam diri menunggu takdir tanpa berusaha. Ayat ini secara tegas menolak fatalisme yang salah, di mana seseorang melepaskan tanggung jawab atas hidupnya. Sebaliknya, ia mendorong optimisme dan aktivisme; dorongan untuk berbuat baik dan memberikan kontribusi positif dalam hidup adalah perintah agama yang fundamental.
Dalam tafsirnya, banyak ulama menekankan bahwa perintah ini datang setelah pembahasan mengenai tobat. Artinya, tobat harus diikuti dengan kerja nyata yang membuktikan perubahan hati. Tobat yang jujur harus diiringi dengan peningkatan kualitas amal, menjauhi kemalasan dan kemunafikan yang sebelumnya mungkin menjangkiti diri.
Ikhlas sebagai Pondasi 'Amalū': Meskipun amal akan dilihat oleh tiga saksi di dunia, kunci utamanya tetaplah ikhlas (ketulusan niat). Amal yang dilihat oleh Allah dan Rasul-Nya haruslah berpondasi pada niat yang murni untuk Allah. Tanpa niat yang tulus, amal fisik sebesar apapun akan kehilangan bobot spiritualnya saat dihadapkan pada hari pertanggungjawaban terakhir. Ayat 105 mengajarkan bahwa kerja keras harus sejalan dengan kerja hati.
Pekerjaan sehari-hari, dari seorang petani hingga insinyur, dari guru hingga pemimpin negara, semuanya termasuk dalam spektrum ‘amalū’ jika dilakukan dengan etika Islam dan niat yang benar. Ayat ini memberikan dignitas tertinggi pada kerja keras yang jujur, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari misi kekhalifahan manusia di bumi. Pekerjaan adalah jembatan menuju akhirat.
Bagian kedua dari ayat ini, "fa sa yarallāhu ‘amalakum wa rasūluhū wal mu’minūn," menetapkan sistem pengawasan tiga lapis yang komprehensif. Ini adalah peringatan keras bahwa tindakan kita tidak dilakukan di ruang hampa, tetapi di bawah pengawasan Ilahi, kenabian, dan sosial. Pemahaman akan adanya pengawasan ini seharusnya menjadi dorongan terbesar bagi seorang mukmin untuk menjaga kualitas dan kejujuran amalnya.
Pengawasan Allah adalah yang paling absolut dan menyeluruh. Allah SWT adalah As-Sami’ (Maha Mendengar) dan Al-Bashir (Maha Melihat). Penglihatan Allah tidak terbatas pada aspek fisik dan terlihat (syahadah), tetapi juga mencakup niat, bisikan hati, dan motivasi tersembunyi (ghaib). Bagi Allah, tidak ada perbedaan antara pekerjaan yang dilakukan di depan umum dan pekerjaan yang dilakukan dalam kesendirian yang paling gelap. Pengawasan Ilahi ini adalah jaminan bahwa keadilan akan ditegakkan.
Konsep ‘sa yarallāhu’ (akan melihat) menggunakan bentuk masa depan (sin/saufa) yang menekankan kepastian mutlak. Ini bukan janji yang mungkin ditepati, tetapi sebuah kepastian teologis. Setiap tetes keringat, setiap tarikan napas, setiap niat, sedang direkam dengan sempurna. Ini seharusnya menumbuhkan sifat muraqabah (merasa diawasi Tuhan) dalam diri seorang mukmin.
Perasaan bahwa Allah melihat amal kita memastikan bahwa amal itu dilakukan dengan kualitas tertinggi (ihsan). Ihsan, sebagaimana didefinisikan dalam Hadis Jibril, adalah beribadah seolah-olah Anda melihat Allah, dan jika Anda tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa Dia melihat Anda. At Taubah 105 adalah manifestasi dari prinsip ihsan dalam kehidupan sehari-hari dan profesional.
Penekanan pada Pengawasan Allah di dalam ayat ini diperlukan karena manusia cenderung lalai atau beramal hanya demi pujian. Dengan menempatkan Allah sebagai Saksi utama, ayat ini membersihkan amal dari unsur-unsur kemunafikan (riya’). Kaum munafik bekerja hanya ketika mereka terlihat oleh manusia; namun, seorang mukmin sejati bekerja keras bahkan ketika tidak ada mata manusia yang melihat, karena ia yakin Allah SWT senantiasa mengawasi. Pengawasan Allah adalah pengawasan yang paling jujur, tidak bias, dan meliputi dimensi batin yang tidak terjangkau oleh manusia lain.
Bagaimana Rasulullah SAW dapat melihat pekerjaan umatnya setelah beliau wafat? Para ulama tafsir memberikan beberapa pandangan mengenai pengawasan Rasulullah SAW:
Kehadiran Rasulullah SAW sebagai saksi memastikan bahwa amal yang dilakukan tidak hanya tulus (ikhlas kepada Allah) tetapi juga benar cara pelaksanaannya (ittiba' kepada Rasul). Ini menggabungkan aspek tauhid (ketuhanan) dan risalah (kenabian) dalam audit amal.
Saksi ketiga adalah komunitas mukmin, atau umat Islam secara keseluruhan. Ini adalah dimensi sosial dari pertanggungjawaban. Pekerjaan seorang mukmin memiliki dampak yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya. Ketika seseorang berbuat baik, manfaatnya dirasakan oleh komunitas. Sebaliknya, ketika seseorang berbuat curang, komunitas pun menanggung kerugiannya.
Pengawasan oleh orang-orang mukmin di sini merujuk pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan pengakuan sosial terhadap kebaikan. Apabila seorang mukmin terus-menerus berbuat baik, amalannya akan mendapatkan pengakuan yang tulus dari komunitas yang shaleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, pujian yang baik dari mukmin yang tulus adalah tanda penerimaan amal oleh Allah.
Lapisan ketiga ini juga menekankan bahwa kemunafikan pada akhirnya akan terungkap. Meskipun kaum munafik berusaha menyembunyikan keburukan mereka, mata komunitas yang waspada dan tulus (wal mu'minūn) pada akhirnya akan mengenali dan menilainya. Dengan demikian, At Taubah 105 memberikan perlindungan etika bagi masyarakat; ia mendorong transparansi, kejujuran, dan kualitas kerja yang tinggi karena adanya penilaian sosial yang sah.
Setelah menetapkan sistem pengawasan di dunia, ayat 105 mencapai klimaksnya dengan peringatan definitif mengenai Hari Akhir: "wa sa turaddūna ilā ‘ālimil ghaibi wash shahādati fa yunabbi’ukum bimā kuntum ta‘malūn." (kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.)
Pilihan nama Allah di sini sangat kuat dan relevan. Allah tidak hanya disebut sebagai Al-Malik (Raja) atau Al-Qadir (Maha Kuasa), tetapi secara spesifik sebagai ‘Ālimil Ghaibi wash Shahādati (Yang Maha Mengetahui yang Gaib dan yang Nyata). Ini adalah penegasan kembali bahwa di hari itu, tidak ada satu pun detail yang terlewatkan.
Ghaib (Yang Tersembunyi): Merujuk pada niat di balik amal, motivasi batin, dosa-dosa yang tersembunyi, dan amal-amal kebaikan yang dirahasiakan dari pandangan manusia. Hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak atas hal-hal ini.
Shahadah (Yang Tampak): Merujuk pada amal fisik yang terlihat, tindakan nyata, ucapan, dan interaksi yang dapat disaksikan di dunia. Inilah yang disaksikan oleh Rasul dan Mukminin.
Ketika seseorang dikembalikan kepada Allah, audit yang dilakukan adalah audit yang sempurna, menggabungkan penglihatan eksternal dan analisis internal. Jika seorang munafik berhasil menipu Rasulullah dan kaum mukmin di dunia (syahadah), mereka tidak akan pernah bisa menipu ‘Ālimil Ghaibi di akhirat.
Frase ini membawa kepastian historis dan personal. Allah tidak hanya akan menghakimi, tetapi memberitahukan (yunabbi’ukum) kepada setiap individu tentang apa yang telah mereka lakukan. Ini menyiratkan bahwa catatan amal (kitab) akan dibuka, anggota tubuh akan bersaksi, dan kebenaran akan diungkap tanpa keraguan.
Pemberitaan ini berfungsi sebagai penutup dari proses pertanggungjawaban. Pada hari itu, manusia tidak dapat berdalih atau menyangkal perbuatannya. Pengungkapan amal ini akan menjadi sumber kegembiraan terbesar bagi orang-orang yang ikhlas, dan menjadi penyesalan terdalam bagi mereka yang menyembunyikan keburukan atau beramal hanya karena riya'. At Taubah 105 adalah fondasi bagi keyakinan akan keadilan sempurna (Al-Adl) di Hari Kiamat.
Meskipun ayat ini diturunkan pada abad ketujuh, relevansinya tetap abadi, terutama dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern yang seringkali memisahkan antara etika dan profesionalisme.
At Taubah 105 mengajarkan bahwa motivasi kerja seorang Muslim harus bersifat transenden. Kita bekerja bukan hanya untuk gaji, pujian, atau promosi, tetapi karena itu adalah perintah Ilahi. Ini menghasilkan etos kerja yang tahan banting terhadap godaan korupsi, kecurangan, atau kemalasan. Seorang mukmin yang menghayati ayat ini akan bekerja dengan kualitas tertinggi (ihsan) bahkan untuk tugas yang paling sepele, karena ia tahu bahwa Allah SWT adalah pengawas utamanya.
Ayat ini mengatasi penyakit sosial modern seperti sindrom ‘asal bapak senang’ (ABS) atau kerja yang hanya dilakukan demi citra publik. Ketika kesadaran akan 'fa sa yarallāhu ‘amalakum' tertanam kuat, standar etika kerja individu akan secara otomatis meningkat, jauh melebihi standar hukum atau peraturan perusahaan yang ada. Ini adalah pembangunan karakter yang berlandaskan pada ketakutan dan harapan (khauf dan raja') kepada Sang Pencipta.
Sistem pengawasan tiga lapis dalam ayat ini (Allah, Rasul, Mukmin) dapat diterjemahkan menjadi model akuntabilitas yang ideal: Akuntabilitas Vertikal (kepada Allah) dan Akuntabilitas Horizontal (kepada sesama). Dalam manajemen modern, ini menekankan perlunya transparansi, audit internal yang jujur, dan pengawasan publik yang sehat.
Komponen 'wal mu’minūn' memberikan landasan teologis bagi kritik konstruktif, pengawasan sipil, dan penegakan keadilan sosial. Komunitas Muslim bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan di dalamnya adalah pekerjaan yang lurus, adil, dan bermanfaat. Ayat ini memanggil setiap Muslim untuk tidak bersikap pasif terhadap keburukan, baik dalam skala pribadi maupun publik.
Pemimpin, misalnya, yang menghayati At Taubah 105, akan selalu sadar bahwa keputusannya, yang mungkin tersembunyi dari publik, akan diungkap di hadapan 'Ālimil Ghaibi. Hal ini mendorong tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Ayat 105, yang berada di tengah-tengah pembahasan tentang kaum munafik di Madinah, berfungsi sebagai antidote terhadap sifat munafik. Kemunafikan adalah penyakit yang membuat amal hanya berfungsi sebagai topeng sosial. Ayat ini mengingatkan bahwa topeng itu akan robek total di Hari Akhir.
Bagi mereka yang cenderung riya’ (beramal demi pujian), ayat ini menunjukkan bahwa pujian manusia (yang disaksikan oleh wal mu'minūn) hanyalah sekunder. Yang utama adalah penglihatan Allah. Apabila seseorang berhasil memenangkan penglihatan Allah, pujian manusia menjadi tidak penting. Apabila seseorang hanya mencari pujian manusia, ia mungkin akan mendapatkan pujian itu, tetapi akan kehilangan segalanya di hadapan Sang Pengawas Sejati.
Perintah ‘i’malū’ (bekerjalah) menyiratkan perlunya kesadaran akan waktu dan kontinuitas amal. Kehidupan adalah durasi terbatas untuk beramal. Setiap detik yang terbuang adalah kesempatan amal yang hilang. Ayat ini mendorong mukmin untuk senantiasa mengisi waktu dengan pekerjaan yang bernilai, baik yang bersifat duniawi (membawa manfaat bagi sesama) maupun ukhrawi (mendekatkan diri kepada Allah). Konsep inilah yang melahirkan ungkapan para salaf: “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati besok.” Keduanya harus dilakukan dalam kerangka pengawasan At Taubah 105.
Pengawasan Ilahi dan kepastian hari pengadilan adalah mesin penggerak batin yang tiada henti. Jika kita tahu bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan, maka setiap keputusan, setiap interaksi, dan setiap proyek akan dikerjakan dengan pertimbangan yang matang dan etika yang kuat. Ayat ini adalah panggilan universal untuk melakukan koreksi diri secara berkelanjutan (muhasabah), bukan hanya di akhir hari, tetapi di setiap saat kita beraktivitas.
Penutup ayat, yang menegaskan kembalinya manusia kepada ‘Ālimil Ghaibi wash Shahādati, adalah penegasan mendasar tentang keadilan Allah (Al-Adl). Di dunia ini, sering kali keadilan tidak sepenuhnya terwujud. Orang baik mungkin menderita, dan orang jahat mungkin tampak sukses. Namun, At Taubah 105 menjamin bahwa di akhirat, semua ketidakseimbangan ini akan diselaraskan.
Allah akan memberitahukan (yunabbi’ukum) semua amal yang telah dikerjakan. Ini mencakup pahala bagi amal baik yang mungkin tidak terlihat oleh manusia, dan hukuman bagi kejahatan yang tersembunyi dari pandangan publik. Ayat ini memberikan harapan dan ketenangan bagi mereka yang beramal secara ikhlas, terlepas dari pengakuan dunia.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan antara amal yang tersembunyi dan amal yang terbuka. Amal yang tersembunyi, seperti ibadah malam atau sedekah rahasia, sangat bernilai karena membuktikan kemurnian niat dan menghindari riya’. Allah ‘Ālimil Ghaib’ akan menghargai ini secara penuh.
Di sisi lain, amal yang terbuka, seperti dakwah atau shalat berjamaah, juga penting karena memberikan contoh dan mendorong kebaikan di komunitas. Amal yang terbuka ini akan disaksikan oleh Rasul dan Mukminin (Syahadah). At Taubah 105 mengisyaratkan bahwa seorang mukmin harus memiliki kedua jenis amal ini, dan keduanya harus dilakukan dengan standar ihsan tertinggi, karena keduanya berada di bawah pengawasan Ilahi yang sempurna.
Sebagai contoh, dalam bidang pendidikan, seorang guru yang menerapkan prinsip At Taubah 105 akan mengajar dengan semangat yang sama, baik ketika kepala sekolah mengawasi (disaksikan mukmin) maupun ketika ia hanya berhadapan dengan murid-murid di kelas terpencil (disaksikan Allah). Dalam bidang ekonomi, seorang pedagang akan memastikan timbangan dan kejujuran transaksinya (amal) meskipun ia merasa aman dari pengawasan otoritas manapun.
At Taubah 105 memiliki peran signifikan dalam membentuk karakter kolektif umat Islam, bukan hanya karakter individu. Ketika setiap anggota komunitas beroperasi di bawah prinsip akuntabilitas ini, hasilnya adalah masyarakat yang kokoh, jujur, dan saling mendukung.
Pengawasan oleh ‘wal mu’minūn’ memicu solidaritas yang didasarkan pada kebenaran. Komunitas tidak hanya pasif, tetapi menjadi partisipan aktif dalam pemeliharaan standar moral. Hal ini menciptakan lingkungan di mana berbuat baik dihargai dan kecurangan sulit untuk tumbuh. Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain, sebagaimana sabda Nabi, dan ayat 105 memberikan landasan Qur’ani untuk peran ini.
Karena audit akhir dilakukan oleh Yang Maha Mengetahui Gaib, fokus berpindah dari kuantitas amal menuju kualitas, yang sangat dipengaruhi oleh niat. Ayat ini mendorong umat untuk melakukan pekerjaan yang substansial, bukan sekadar basa-basi. Ini adalah panggilan untuk keunggulan (itqan) dalam segala aspek kehidupan.
Jika kita menilik sejarah peradaban Islam, dorongan untuk unggul dalam ilmu pengetahuan, arsitektur, dan pemerintahan seringkali didasarkan pada kesadaran bahwa pekerjaan tersebut adalah ‘amal’ yang akan dinilai oleh Allah. Masjid yang dibangun dengan detail rumit, penelitian ilmiah yang jujur, atau bahkan sebuah perjanjian dagang yang adil—semuanya adalah manifestasi dari penerapan prinsip At Taubah 105.
Di era digital dan globalisasi, di mana identitas seringkali bersifat cair dan batasan etika menjadi kabur, prinsip At Taubah 105 menawarkan jangkar moral yang kuat.
Dalam ruang digital, di mana anonimitas seringkali disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian atau informasi palsu (hoaks), kesadaran akan ‘Ālimil Ghaibi wash Shahādati menjadi sangat vital. Setiap ketikan, setiap komentar, dan setiap konten yang diunggah adalah ‘amal’ yang akan disaksikan. Ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada ‘incognito mode’ bagi Allah SWT. Kejahatan yang dilakukan secara daring sama nilainya dengan kejahatan yang dilakukan secara nyata, dan pertanggungjawabannya mutlak.
Banyak pekerja modern beroperasi tanpa pengawasan fisik yang ketat. Inilah saatnya prinsip At Taubah 105 diuji. Ketika tidak ada manajer yang melihat, apakah seseorang tetap bekerja dengan dedikasi penuh? Jawaban seorang mukmin haruslah ya, karena ia tahu bahwa Allah, Sang Pengawas Abadi, senantiasa melihat pekerjaannya. Ayat ini menumbuhkan disiplin diri intrinsik yang jauh lebih efektif daripada pengawasan eksternal apa pun.
At Taubah 105 bukan hanya sekadar dogma; ini adalah manual operasional untuk kehidupan yang beretika dan bermakna. Ayat ini mengangkat martabat kerja dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan fisik menjadi jembatan spiritual menuju keridaan Ilahi. Ia menuntut kejujuran dalam berinteraksi, ketulusan dalam beramal, dan kesadaran konstan akan hari kembali.
Ketika mukmin menyadari bahwa pekerjaan mereka disaksikan oleh tiga pihak agung—Sang Pencipta, Nabi Suci, dan Komunitas Saleh—maka tidak ada ruang bagi kemalasan, kelalaian, atau kemunafikan. Seluruh hidup menjadi sebuah ibadah yang terbuka dan siap untuk diaudit di hadapan Yang Maha Mengetahui yang Gaib dan yang Nyata.
Pekerjaan (amal) yang diperintahkan dalam ayat 105 tidak selalu berakhir saat kita berhenti melakukannya. Ayat ini mendorong mukmin untuk menciptakan amal yang memiliki efek jangka panjang, atau yang dikenal sebagai amal jariyah. Ketika seseorang membangun infrastruktur pendidikan, menciptakan penemuan yang bermanfaat, atau mewariskan ilmu yang bermanfaat, pekerjaan itu terus menghasilkan pahala, dan terus disaksikan oleh Allah, Rasul, dan mukminin yang mengambil manfaat darinya. Ini adalah investasi abadi yang berakar pada perintah ‘Wa quli-’malū’.
Kesadaran akan ‘Ālimil Ghaibi wash Shahādati seharusnya memotivasi kita untuk memilih amal yang memiliki nilai abadi, bukan hanya nilai sesaat. Setiap proyek, setiap usaha, harus dipertimbangkan dari sudut pandang: “Akankah amal ini menjadi aset yang akan menyenangkan Allah saat Dia memberitakan kepadaku apa yang telah aku kerjakan?”
Oleh karena itu, At Taubah 105 tidak hanya mengatur bagaimana kita bekerja, tetapi juga apa yang harus kita kerjakan. Ini adalah dorongan untuk inovasi, keunggulan, dan kontribusi yang berkelanjutan kepada peradaban manusia. Semboyan "Bekerjalah!" ini adalah pemantik yang tidak pernah padam bagi setiap Muslim di setiap zaman.
Surah At Taubah ayat 105 merupakan salah satu ayat terpenting yang membentuk etos kerja dan moralitas Islam. Ayat ini menyajikan sebuah kerangka pertanggungjawaban yang holistik, di mana amal manusia dinilai dari tiga sudut pandang—Ilahi, Kenabian, dan Komunal—sebelum akhirnya diselesaikan di hadapan Sang Pencipta pada Hari Kiamat.
Frase kunci 'Wa quli-’malū' adalah perintah untuk aktif, produktif, dan bermanfaat. Kemudian, 'fa sa yarallāhu ‘amalakum wa rasūluhū wal mu’minūn' memastikan bahwa tidak ada amal yang sia-sia dan tidak ada kecurangan yang tersembunyi. Akhirnya, 'wa sa turaddūna ilā ‘ālimil ghaibi wash shahādati fa yunabbi’ukum bimā kuntum ta‘malūn' memberikan kepastian absolut mengenai keadilan dan pengungkapan kebenaran. Ayat ini adalah fondasi bagi kehidupan yang utuh, seimbang, dan bertanggung jawab, mendorong mukmin untuk menjadikan setiap pekerjaannya, sekecil apapun, sebagai bukti keimanan dan persiapan untuk hari kembali kepada Allah SWT.
Sejauh mana prinsip At Taubah 105 diinternalisasikan oleh seorang individu, sejauh itu pula kualitas hidup, profesionalisme, dan integritas spiritualnya akan tercermin. Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa waktu adalah modal, amal adalah investasi, dan Allah adalah hakim yang Maha Adil dan Maha Mengetahui.