Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 65 dan 66: Ujian Keimanan dan Bahaya Mencela Agama

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pelepasan Tanggung Jawab), memegang peranan krusial dalam Al-Qur'an karena surah ini secara tegas mengungkap tabir kemunafikan (nifaq) dan menetapkan batas-batas yang jelas antara keimanan yang tulus dan pengakuan lisan yang dangkal. Di antara banyak ayatnya yang tajam, ayat 65 dan 66 berdiri sebagai peringatan yang abadi dan mendalam, menggarisbawahi bahaya terbesar bagi seorang mukmin: mencela atau memperolok syiar-syiar agama, bahkan dengan dalih bercanda atau mengisi waktu luang.

Ayat-ayat ini diturunkan dalam konteks ekspedisi Tabuk, sebuah momen di mana barisan umat Islam diuji secara ekstrem. Panas terik, jarak yang jauh, dan tantangan logistik membuat perjalanan ini menjadi pembeda sejati antara mereka yang berjuang demi Allah dan mereka yang hanya mengikuti arus untuk kepentingan duniawi. Dalam perjalanan inilah, sekelompok orang munafik tertangkap basah sedang mengolok-olok Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang ahli membaca Al-Qur'an. Tanggapan ilahi terhadap tindakan mereka adalah segera, tanpa kompromi, dan mengandung pelajaran teologis yang monumental tentang hakikat iman.

I. Teks dan Terjemah Ayat At-Taubah 65 dan 66

Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus merenungkan lafaz Al-Qur'an yang sangat lugas:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
(At-Taubah 9:65): Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang ejekan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
(At-Taubah 9:66): Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Pernyataan "قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ" (kamu telah kafir setelah beriman) adalah inti dari hukum ilahi dalam kasus ini. Ini bukan sekadar teguran, melainkan sebuah deklarasi status teologis yang mengubah mereka dari status 'mukmin' (yang mereka klaim) menjadi 'kafir' karena perbuatan lisan mereka.

Ilustrasi topeng yang retak, melambangkan kemunafikan (nifaq) dan retaknya iman karena ejekan.

II. Asbabun Nuzul (Sebab Penurunan Ayat)

Konteks historis penurunan ayat-ayat ini memberikan kejelasan tentang keseriusan masalah ini. Diriwayatkan bahwa selama perjalanan menuju Tabuk, di tengah rombongan kaum Muslimin, terdapat sekitar sepuluh orang munafik. Mereka berada di bawah pimpinan tokoh-tokoh kemunafikan seperti Abdullah bin Ubay bin Salul (meskipun Ibn Ubay telah meninggal sebelum Tabuk, semangat kemunafikan masih kuat) atau Tsa'labah bin Hathib.

Para munafik ini duduk bersama dalam perjalanan dan mulai berbicara dengan nada meremehkan tentang umat Islam, khususnya para ulama dan ahli Al-Qur'an. Mereka berkata, "Kita tidak pernah melihat orang yang lebih rakus perutnya, lebih dusta perkataannya, atau lebih pengecut saat bertemu musuh selain para pembaca Al-Qur'an kita ini," merujuk pada para qari dan sahabat seperti Bilal, Ammar, dan Ibn Mas'ud yang dikenal kesederhanaannya namun memiliki keteguhan iman.

Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka mengejek Rasulullah ﷺ sendiri, mengklaim bahwa Rasulullah (ﷺ) membuat klaim besar tentang penaklukan Syam, padahal beliau tidak mampu mengalahkan musuh di Madinah. Allah SWT kemudian memberitahu Nabi-Nya tentang percakapan rahasia ini melalui wahyu.

Ketika Rasulullah ﷺ memanggil mereka dan menanyakan tentang percakapan tersebut, mereka menggunakan dalih klasik: "Innama kunna nakhudhu wa nal'ab" (Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main). Mereka mencoba mereduksi kejahatan lisan mereka menjadi sekadar kegiatan mengisi waktu luang yang tidak bermakna. Mereka mengira bahwa karena ejekan itu dilakukan secara privat dan tidak dimaksudkan sebagai doktrin resmi, maka itu bisa dimaafkan.

Jawaban Allah dalam Ayat 65 dan 66 menunjukkan bahwa niat baik tidak dapat menutupi kerusakan fundamental yang ditimbulkan oleh penghinaan terhadap hal-hal suci. Percandaan yang melibatkan Allah, ayat-ayat-Nya, atau Rasul-Nya adalah kejahatan serius yang berkonsekuensi pada kufr (kekafiran).

III. Analisis Linguistik dan Teologis Ayat 65: Batasan Candaan

1. Makna 'Nakhudhu wa Nal'ab'

Kata 'nakhudhu' (نَخُوضُ) berarti menyelami pembicaraan atau terlibat dalam obrolan panjang tanpa tujuan, seringkali merujuk pada pembicaraan yang sia-sia atau tidak bertanggung jawab. Sementara 'nal'ab' (نَلْعَبُ) berarti bermain atau bersenda gurau. Penggunaan dua kata ini menunjukkan upaya para munafik untuk merasionalisasi tindakan mereka sebagai aktivitas ringan yang tidak perlu dianggap serius.

Namun, Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa klaim ini ditolak total oleh Allah SWT. Al-Qur'an mengajarkan bahwa kata-kata memiliki bobot, dan ketika kata-kata tersebut diarahkan pada pilar-pilar tauhid, maka ia berhenti menjadi "permainan" dan menjadi "kekafiran" yang nyata.

2. Pertanyaan Ilahi yang Menghujam

Bagian sentral dari ayat 65 adalah pertanyaan retoris yang mengguncang: "Qul abillahi wa ayatihi wa rasulihi kuntum tastahzi'un?" (Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?).

Pertanyaan ini menyatukan tiga objek penghinaan: Allah (Dzat Yang Maha Agung), Ayat-ayat-Nya (Syariat dan Kitab Suci), dan Rasul-Nya (utusan yang menyampaikan Syariat). Keagungan dari tiga objek ini menuntut penghormatan absolut. Mencela salah satu dari ketiganya setara dengan mencela keseluruhan pondasi agama Islam.

Imam Ar-Razi menafsirkan bahwa ejekan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa mereka tidak menghormati Allah, karena jika mereka menghormati Allah, mereka pasti akan menghormati Rasul-Nya dan wahyu-Nya. Keimanan sejati mengharuskan pengagungan terhadap semua yang diagungkan oleh syariat.

3. Istihza' dan Hukumannya

Kata kunci dalam ayat ini adalah 'tastahzi'un' (تَسْتَهْزِئُونَ), yang berarti memperolok-olok atau menghina. Dalam Fiqh (hukum Islam) dan Aqidah (teologi), istihza terhadap syiar agama merupakan salah satu bentuk kekafiran yang disebut Kufrul Qawli (kekafiran melalui ucapan).

Ini membedakan antara dosa biasa (seperti mencuri atau berzina, yang tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari Islam) dan dosa ucapan yang secara langsung menyerang fondasi keyakinan (seperti syirik atau penghinaan terhadap kenabian). Penghinaan terhadap syiar agama menunjukkan tidak adanya rasa hormat dan pengagungan terhadap apa yang diimani, sehingga membatalkan klaim keimanan seseorang.

Oleh karena itu, ayat 65 berfungsi sebagai garis demarkasi yang jelas: begitu ucapan seseorang melintasi batas penghinaan terhadap hal-hal suci, ia telah keluar dari lingkaran Islam, terlepas dari apa pun klaim niatnya di permukaan.

IV. Analisis Teologis Ayat 66: Deklarasi Kekafiran

Ayat 66 adalah penutup yang definitif dan keras terhadap dalih para munafik:

"لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ" (Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman).

1. Penolakan Mutlak terhadap Alasan

Perintah "La ta'tadziru" (Janganlah kamu meminta maaf) menunjukkan bahwa alasan "hanya bercanda" atau "tidak bermaksud serius" tidak diterima oleh Allah SWT sebagai pembenaran. Alasan itu ditolak karena tindakan lisan mereka sudah membuktikan ketiadaan iman sejati dalam hati mereka.

Imam Qurtubi menjelaskan bahwa meskipun seorang munafik mengaku beriman sebelumnya, perbuatan istihza ini adalah manifestasi dari kufr tersembunyi yang telah lama bercokol. Ejekan adalah bukti nyata yang muncul ke permukaan, yang menegaskan bahwa iman mereka hanyalah pura-pura.

2. Konsep Kafir Setelah Beriman (Kufr Ba'da Iman)

Bagian "qad kafartum ba'da imanikum" (kamu telah kafir setelah beriman) adalah prinsip teologis yang sangat penting. Ini berarti:

  1. Kekafiran tersebut adalah hasil langsung dari perbuatan lisan (ejekan).
  2. Iman mereka sebelumnya (atau setidaknya pengakuan iman mereka) menjadi batal secara hukum dan teologis.
Dalam konteks kaum munafik, iman yang mereka miliki adalah iman lahiriah (iman lisan), yang dibatalkan oleh tindakan kufur yang disengaja. Ini memperingatkan setiap Muslim bahwa iman adalah kondisi yang harus dijaga dan dilindungi dari ucapan-ucapan yang merusaknya.

Ayat ini adalah fondasi bagi para ulama dalam menetapkan hukum murtad (keluar dari Islam) melalui ucapan. Jika seseorang secara sadar dan sengaja menghina Allah, Nabi, atau Al-Qur'an, dia dianggap murtad, karena penghinaan tersebut berakar pada ketidaksetujuan dan penolakan terhadap kebenaran Islam itu sendiri.

3. Pengecualian dan Pintu Taubat

Ayat 66 memberikan sedikit celah harapan, yang membedakan mereka yang memang munafik tulen dan mereka yang mungkin terjerumus ke dalam lingkaran tersebut namun masih memiliki sisa kejujuran. "Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa."

Riwayat menyebutkan bahwa di antara sepuluh orang yang mengejek itu, ada dua atau tiga orang yang benar-benar menyesali perbuatannya dan bertaubat secara tulus, meskipun mereka adalah munafik. Mereka diampuni. Ini menunjukkan bahwa bahkan untuk dosa sebesar kekafiran lisan, pintu taubat nasuha (taubat yang murni dan sungguh-sungguh) selalu terbuka. Pengampunan ilahi bergantung pada penyesalan yang mendalam dan penghentian total dari perilaku menghina tersebut.

Sementara itu, golongan yang diazab adalah mereka yang tetap berpegang pada kemunafikan dan ejekan mereka, menganggapnya enteng, dan tidak mau bertaubat. Mereka dicap sebagai mujrimîn (orang-orang yang selalu berbuat dosa), yang menunjukkan bahwa tindakan ejekan itu bukan hanya kesalahan sesaat, tetapi bagian dari pola perilaku kriminal yang mengakar.

V. Implikasi Hukum (Fiqh) dan Etika Lisan

Ayat At-Taubah 65-66 memiliki implikasi yang luas dalam penetapan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan Batasan Ucapan, Kebebasan Berpendapat, dan Batas Agama.

1. Batasan Humor dan Sarkasme

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam Islam, humor tidaklah absolut. Humor adalah alat yang diperbolehkan selama tidak melanggar batasan-batasan suci. Islam menghargai tawa dan kegembiraan, tetapi menempatkan larangan keras terhadap penggunaan hal-hal suci sebagai materi lelucon.

Para Fuqaha (ahli fikih) menjelaskan bahwa ejekan terhadap syariat, baik secara langsung maupun terselubung (sarkasme), adalah tindakan yang membahayakan akidah. Ini karena ejekan, pada dasarnya, merendahkan nilai objek yang diejek. Jika objek tersebut adalah wahyu atau utusan Allah, maka merendahkannya berarti merendahkan sumber kebenaran itu sendiri.

Dalam konteks modern, ini mencakup penghinaan terhadap:

Niat "hanya bercanda" tidak dapat dijadikan perisai jika dampaknya adalah menghilangkan pengagungan (ta'zhim) dari hati.

2. Kekuatan dan Tanggung Jawab Kata-Kata

Ayat 65-66 memperkuat prinsip dalam Islam bahwa lidah dan ucapan adalah anggota tubuh yang paling bertanggung jawab. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kata yang ia anggap ringan, padahal kata itu menjatuhkannya ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Tirmidzi).

Kisah munafik di Tabuk adalah contoh sempurna dari kata yang dianggap ringan ("hanya bersenda gurau") tetapi membawa konsekuensi kekafiran. Ini mengajarkan mukmin untuk selalu menyensor ucapan mereka, terutama ketika berhadapan dengan masalah-masalah keimanan.

VI. Relevansi Kontemporer di Era Digital

Dalam dunia modern, ayat-ayat ini menjadi semakin relevan di tengah maraknya media sosial dan budaya cynicism (sinisme) yang merajalela. Penyebaran ujaran kebencian, meme yang menghina, atau parodi yang merendahkan simbol agama terjadi dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya.

1. Istihza' Digital

Ejekan hari ini tidak hanya terjadi di tengah rombongan perjalanan, tetapi melalui komentar, video pendek, dan gambar yang viral. Banyak orang muda, yang tidak menyadari beratnya implikasi teologis, terjerumus dalam istihza' digital dengan alasan mencari perhatian, humor gelap, atau sekadar ikut-ikutan tren.

Ayat 65-66 mengingatkan bahwa platform digital tidak menghilangkan pertanggungjawaban individu. Mengejek syariat di kolom komentar sama seriusnya dengan mengejeknya di hadapan Nabi ﷺ. Kekafiran tetaplah kekafiran, terlepas dari apakah dilakukan dengan serius atau hanya untuk likes.

2. Menguji Batasan Kebebasan Berekspresi

Sementara masyarakat kontemporer menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, Islam menetapkan batasan yang didasarkan pada pengagungan terhadap Sang Pencipta. Kebebasan berekspresi berakhir ketika ia mulai melanggar hak Allah dan Rasul-Nya untuk dihormati. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki keberanian moral untuk menolak dan menjauhi lingkungan yang meremehkan agamanya.

Para ulama kontemporer menekankan pentingnya al-Wala wal-Bara' (Loyalitas dan Pelepasan Diri), di mana seorang mukmin wajib menunjukkan loyalitas kepada Allah dan harus melepaskan diri (setidaknya secara hati dan ucapan) dari perbuatan yang menghina agama, bahkan jika pelakunya adalah kerabat atau teman.

VII. Pengagungan Syariat dan Perbaikan Hati

Pelajaran utama yang ditawarkan oleh ayat 65 dan 66 adalah perlunya Ta'zhim (pengagungan dan penghormatan) yang tulus terhadap semua yang berasal dari Allah. Pengagungan ini adalah tolok ukur keimanan sejati.

Seorang mukmin sejati tidak hanya melaksanakan perintah Allah, tetapi hatinya dipenuhi rasa hormat yang mendalam terhadap setiap aspek ajaran. Seseorang yang mengejek syariat menunjukkan bahwa tidak ada ta'zhim dalam hatinya. Ketiadaan pengagungan ini adalah akar dari kemunafikan.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa ejekan (istihza’) adalah salah satu dari pembatal-pembatal keislaman (Nawaqidhul Islam) yang paling berbahaya, karena ia menunjukkan penolakan batin yang mendalam terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

1. Kejahatan Lisan yang Mengerikan

Jika kita menilik kembali kisah Tabuk, para munafik tidak melanggar shalat, puasa, atau zakat (setidaknya secara lahiriah). Kejatuhan mereka justru disebabkan oleh ucapan mereka. Hal ini menyoroti bahwa pertarungan spiritual terbesar bagi seorang mukmin seringkali terletak pada kendali lidah dan hati. Lidah adalah penerjemah paling jujur dari apa yang disembunyikan dalam jiwa.

Oleh karena itu, setiap mukmin harus senantiasa melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap perkataannya. Apakah perkataan tersebut mencerminkan keridhaan terhadap ketetapan Allah, ataukah ia mengandung benih-benih protes dan penghinaan?

Ilustrasi timbangan yang rusak atau miring, menunjukkan bahwa senda gurau terhadap agama (Istihza') telah merusak keseimbangan iman.

2. Menguatkan Persaudaraan Islam

Ketika para munafik mengejek para ahli Qur'an, mereka tidak hanya mengejek individu, tetapi mengejek kelompok yang mewakili ketulusan dan ketakwaan. Ayat ini secara implisit melindungi kehormatan para ulama dan pewaris Nabi, mengingatkan bahwa menghina mereka yang berpegang teguh pada agama sering kali merupakan jalan pintas menuju penghinaan terhadap agama itu sendiri.

Oleh karena itu, bagian dari menjaga keimanan adalah menjaga lisan agar tidak meremehkan saudara seiman, apalagi mereka yang berusaha keras menjalankan syariat, bahkan jika penampilan mereka sederhana atau cara mereka berbicara kurang fasih.

VIII. Kedalaman Konsekuensi dan Peringatan Keras

Ayat 66 memuat peringatan keras tentang pembagian hukuman ilahi. "Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu... niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)..."

1. Keadilan dalam Hukuman

Allah SWT, Yang Maha Adil, membedakan antara pelaku yang bertaubat dengan tulus dan mereka yang bersikeras dengan dosa mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun perbuatan (ejekan) itu sendiri menjatuhkan mereka ke dalam kekafiran, status akhir mereka masih ditentukan oleh respons mereka terhadap teguran ilahi. Mereka yang merespons dengan taubat sejati kembali diakui imannya.

Namun, bagi mereka yang tetap keras kepala, penekanan pada frasa "bi'annahum kânû mujrimîn" (karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa) menunjukkan bahwa kemunafikan dan ejekan bukanlah dosa tunggal, melainkan sebuah ciri khas, kebiasaan, dan sifat yang menetap pada diri mereka. Sifat ‘mujrim’ ini yang mewajibkan azab bagi mereka.

2. Kewajiban Menjauhi Majelis Istihza'

Kisah ini juga memperkuat perintah lain dalam Al-Qur'an (seperti Surah An-Nisa: 140) yang melarang seorang mukmin duduk bersama dalam majelis di mana ayat-ayat Allah diperolok-olok. Jika seorang mukmin hadir dan tidak mampu membela atau meninggalkan majelis tersebut, ia dianggap ikut serta dalam dosa tersebut.

Para munafik di Tabuk awalnya hanya berbicara di antara mereka sendiri, tetapi keberadaan mereka dalam kelompok itu, dan kegagalan mereka untuk menentang ucapan buruk itu, menjadikan mereka semua bersalah hingga Allah mengazab sebagian dari mereka dan memaafkan sebagian yang lain berdasarkan taubat mereka.

Ini adalah pelajaran etika sosial yang penting: lingkungan tempat seseorang berinteraksi haruslah lingkungan yang menjaga kehormatan agama. Kepatuhan terhadap keimanan menuntut pengorbanan sosial, termasuk meninggalkan kelompok atau pertemanan yang cenderung meremehkan syariat.

IX. Puncak Nifaq (Kemunafikan)

Kemunafikan, sebagaimana diungkap dalam At-Taubah, beroperasi di beberapa tingkatan. Ayat 65-66 mengungkapkan puncak dari Nifaq I’tiqadi (kemunafikan dalam keyakinan), yaitu kondisi di mana seseorang secara lahiriah mengaku beriman, tetapi batinnya penuh dengan penolakan dan permusuhan terhadap prinsip-prinsip agama.

Ejekan adalah bukti fisik dari permusuhan batin tersebut. Jika seseorang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, mustahil baginya untuk mengolok-olok hal-hal yang dicintai dan diagungkan-Nya. Jika ejekan itu terjadi, itu membuktikan bahwa cinta dan pengagungan (iman) itu palsu atau telah sirna.

Imam Ibn Hazm menyatakan dengan tegas bahwa siapapun yang dengan sengaja mengejek ayat Al-Qur'an atau hadits Rasulullah ﷺ setelah mengetahui bahwa itu berasal dari syariat, maka dia kafir dengan kekafiran yang mutlak, dan tidak ada alasan baginya untuk diterima kecuali taubat yang benar-benar nasuha.

Ayat-ayat ini memastikan bahwa Islam tidak mentolerir ambiguitas dalam hal penghormatan terhadap pondasi keyakinannya. Keimanan memerlukan ketulusan yang paripurna (ikhlas) dan pengagungan yang sempurna (ta’zhim). Ketika salah satu dari keduanya goyah hingga menghasilkan ejekan, maka seluruh struktur keimanan tersebut runtuh.

X. Kesimpulan dan Peringatan Abadi

Surah At-Taubah 65 dan 66 adalah dua ayat yang mengandung prinsip teologis yang mendasar: ucapan yang meremehkan atau menghina Allah, ayat-ayat-Nya, atau Rasul-Nya, sekalipun diniatkan sebagai lelucon atau permainan, adalah sebuah tindakan kekafiran (kufr) yang membatalkan iman.

Peringatan ini bersifat abadi dan melintasi zaman. Ia mengajarkan kepada umat Islam sepanjang masa untuk menjaga lisan mereka dari segala bentuk penghinaan terhadap syiar agama. Kekuatan kata-kata sangat besar; ia mampu mengangkat seorang hamba ke derajat yang tinggi, dan sebaliknya, ia mampu menjatuhkannya ke jurang kekafiran.

Bagi mereka yang mungkin pernah tergelincir dalam perbuatan serupa, pelajaran dari ayat 66 tentang taubat kelompok yang diampuni adalah mercusuar harapan. Taubat harus datang dengan penyesalan yang mendalam, penghentian total dari perbuatan menghina, dan niat yang tulus untuk mengagungkan kembali apa yang sebelumnya diremehkan. Hanya dengan demikian, seorang hamba dapat berharap untuk dikembalikan ke dalam rahmat dan kasih sayang Allah SWT.

Oleh karena itu, setiap Muslim wajib merenungkan ayat ini sebagai pengingat konstan bahwa iman bukan hanya klaim, tetapi sebuah sikap hati yang diwujudkan dalam pengagungan lisan dan perbuatan terhadap segala sesuatu yang suci dalam agama Islam.

***

🏠 Homepage