Menyelami jejak karir yang transformatif dalam birokrasi dan infrastruktur nasional.
Nama Liston Simanjuntak telah lama menjadi sinonim dengan dedikasi yang tak kenal lelah dalam kancah pelayanan publik dan pengembangan infrastruktur di Indonesia. Dikenal bukan hanya karena ketegasannya, tetapi juga karena visinya yang jauh ke depan, Liston mewakili generasi administrator publik yang meyakini bahwa tata kelola yang baik adalah prasyarat mutlak bagi kemakmuran nasional. Perjalanan karirnya adalah sebuah studi kasus tentang bagaimana etos militer, jika dipadukan dengan pemahaman mendalam tentang kebutuhan sipil, dapat menghasilkan terobosan-terobosan signifikan, terutama di daerah-daerah yang secara tradisional tertinggal atau terpinggirkan. Fokus utama Liston selalu tertuju pada efisiensi anggaran, akuntabilitas, dan yang paling krusial, dampak nyata bagi masyarakat.
Dalam lanskap politik dan birokrasi yang seringkali penuh dengan tantangan struktural dan tarik-ulur kepentingan, Liston Simanjuntak tampil sebagai tokoh yang berani mengambil risiko demi menjamin integritas proyek-proyek vital negara. Dia tidak hanya mengawasi pembangunan fisik jalan, pelabuhan, atau fasilitas publik, tetapi juga turut serta dalam "pembangunan non-fisik"—yaitu, pembangunan sistem yang transparan dan budaya kerja yang profesional. Pengalaman panjangnya di berbagai level pemerintahan, mulai dari tingkat daerah hingga posisi strategis di pusat, memberikannya perspektif holistik mengenai tantangan pembangunan yang majemuk di kepulauan Indonesia.
Bagian awal dari perjalanan hidupnya membentuk fondasi karakter yang kuat dan disiplin. Lingkungan masa kecil, ditambah dengan pendidikan formal dan non-formal yang ia tempuh, menanamkan nilai-nilai kepemimpinan yang berorientasi pada solusi, bukan sekadar prosedur. Liston memahami bahwa Indonesia membutuhkan birokrasi yang lincah, adaptif, dan yang terpenting, bebas dari praktik korupsi yang menghambat laju kemajuan. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai fase penting dalam karirnya, mulai dari perannya sebagai pembaru sistem, arsitek infrastruktur, hingga warisan intelektualnya dalam diskursus tata kelola pemerintahan yang bersih. Dedikasi terhadap Integritas, Pembangunan, dan Tata Kelola inilah yang menjadi benang merah utama yang melingkari seluruh sumbangsihnya.
Liston Simanjuntak memulai perjalanannya dengan menekankan pentingnya pendidikan formal yang ketat, dikombinasikan dengan pelatihan kepemimpinan yang intensif. Ia memahami bahwa seorang pemimpin publik harus memiliki landasan akademik yang kokoh, tidak hanya dalam ilmu administrasi, tetapi juga dalam disiplin teknis seperti perencanaan wilayah dan keuangan negara. Latar belakangnya yang seringkali diasosiasikan dengan institusi pertahanan memberikan dia keunggulan dalam hal disiplin waktu, manajemen sumber daya yang terbatas, dan kemampuan untuk mengambil keputusan cepat di bawah tekanan.
Studi pascasarjana yang ia tempuh, yang berfokus pada Kebijakan Publik dan Otonomi Daerah, menjadi titik balik yang mentransformasi perspektif militernya menjadi visi administrasi sipil yang pragmatis. Di sinilah ia mulai mengembangkan kerangka teoritis tentang bagaimana desentralisasi dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat pembangunan daerah, asalkan didukung oleh mekanisme pengawasan yang kuat. Ia sering mengutip perlunya sinergi antara top-down planning (rencana pusat) dan bottom-up execution (pelaksanaan di daerah) agar proyek pembangunan tidak berakhir sia-sia atau terhenti di tengah jalan akibat miskomunikasi dan birokrasi yang kaku.
Salah satu fase paling formatif dalam karir Liston adalah penugasannya di wilayah-wilayah perbatasan dan terpencil. Berbeda dengan tugas di kantor pusat yang cenderung bersifat strategis-konseptual, penugasan di lapangan memaksanya berhadapan langsung dengan realitas kemiskinan infrastruktur dan kompleksitas sosiokultural masyarakat setempat. Di daerah ini, Liston Simanjuntak belajar secara langsung bahwa kebijakan yang tampak sempurna di atas kertas seringkali gagal diterapkan karena kendala logistik, ketiadaan sumber daya manusia yang terlatih, dan masalah aksesibilitas geografis.
Pengalaman ini menjadikannya sangat sensitif terhadap isu pemerataan. Ia menyadari bahwa pembangunan jalan tol di Jawa tidak secara otomatis meningkatkan kualitas hidup nelayan di pelosok Maluku atau petani di pedalaman Kalimantan. Oleh karena itu, Liston mulai mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai "Strategi Pembangunan Berbasis Titik Kritis." Strategi ini mengharuskan identifikasi *node* atau titik simpul yang paling mendesak yang, jika diperbaiki, akan menghasilkan efek domino positif bagi seluruh ekosistem ekonomi lokal. Titik kritis ini bisa berupa pelabuhan kecil yang diperbaiki, pasar tradisional yang dimodernisasi, atau fasilitas air bersih yang baru dibangun. Detail dari setiap proyek selalu diukur bukan hanya dari besaran anggarannya, melainkan dari peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut.
Liston Simanjuntak bukanlah politisi murni; ia adalah seorang teknokrat dengan kemampuan diplomasi yang luar biasa. Keterampilannya dalam menavigasi labirin birokrasi dan politik lokal terbukti krusial. Dalam melaksanakan proyek-proyek besar, ia selalu berusaha menciptakan konsensus antara pemerintah daerah, legislatif lokal, dan komunitas adat. Hal ini penting untuk meminimalisir risiko konflik lahan dan penolakan sosial yang sering menjadi hambatan utama dalam proyek infrastruktur.
Ia mempromosikan model "Kolaborasi Tiga Pilar": Pemerintah Pusat sebagai penyedia pendanaan dan kerangka regulasi; Pemerintah Daerah sebagai pelaksana dan pengelola operasional; dan Masyarakat Sipil sebagai pengawas independen dan penerima manfaat utama. Liston berulang kali menekankan bahwa transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta keterbukaan dalam laporan keuangan proyek, adalah harga mati. Filosofi ini bukan hanya tentang mematuhi aturan, tetapi tentang membangun kepercayaan publik, yang ia yakini sebagai aset paling berharga bagi seorang pejabat negara. Tanpa kepercayaan, setiap kebijakan, betapapun mulianya tujuannya, akan selalu dicurigai dan dihambat.
Salah satu kontribusi terbesar Liston Simanjuntak terletak pada upaya menghubungkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Ia melihat logistik maritim sebagai urat nadi ekonomi, dan biaya logistik yang tinggi sebagai penghalang terbesar bagi daya saing produk domestik. Di bawah kepemimpinannya, digalakkan program masif yang berfokus pada modernisasi pelabuhan-pelabuhan sekunder di luar Jawa. Ini bukan sekadar memperbesar dermaga, tetapi mengintegrasikan sistem informasi kepabeanan, meningkatkan efisiensi bongkar muat, dan membangun infrastruktur pendukung seperti gudang berpendingin (cold storage) untuk mendukung sektor perikanan.
Liston berpendapat bahwa menciptakan rantai pasok yang efisien memerlukan investasi cerdas. Ia memelopori penggunaan teknologi *Internet of Things* (IoT) pada manajemen peti kemas di beberapa pelabuhan percontohan. Meskipun menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh transparansi teknologi, proyek ini berhasil memangkas waktu tunggu kapal (port stay) hingga 30 persen, sebuah pencapaian yang secara langsung mengurangi biaya operasional bagi eksportir dan importir. Detail perencanaan meliputi studi kelayakan geoteknik yang mendalam, penjaminan kualitas material, hingga perjanjian multi-tahun dengan operator pelabuhan untuk memastikan keberlanjutan operasional dan pemeliharaan.
Berbeda dengan fokus pemerintah pusat yang sering kali terpusat pada mega-proyek, Liston Simanjuntak memberikan perhatian khusus pada infrastruktur skala mikro yang berdampak langsung pada kesejahteraan desa. Program "Jalan Usaha Tani" (JUT) menjadi salah satu kebanggaannya. Program ini dirancang untuk memastikan bahwa hasil panen petani dapat diangkut ke pasar atau pusat pengolahan dengan biaya dan waktu yang minimal.
Implementasi JUT tidak dilakukan secara seragam. Di kawasan pegunungan, fokusnya adalah pada jembatan gantung ringan dan jalan beton yang tahan longsor. Di kawasan rawa atau pesisir, fokusnya adalah pada jalan kayu atau konstruksi apung yang ramah lingkungan. Liston memastikan bahwa dalam pelaksanaan proyek JUT, 60% tenaga kerja harus berasal dari masyarakat desa setempat, menciptakan lapangan kerja sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap aset publik. Penggunaan bahan lokal (local content) juga diutamakan untuk mengurangi biaya transportasi dan mempercepat waktu konstruksi. Pendekatan ini adalah perwujudan nyata dari filosofinya: pembangunan harus memanusiakan manusia.
Dalam konteks pembangunan pedesaan ini, ia juga memprioritaskan penyediaan akses air bersih dan sanitasi layak. Ia berjuang keras untuk mengintegrasikan program pembangunan fisik dengan program edukasi kesehatan, menyadari bahwa membangun toilet tanpa mengubah perilaku sanitasi masyarakat akan sia-sia. Hal ini menunjukkan kedalaman pemahamannya bahwa infrastruktur hanyalah alat; transformasi sosial adalah tujuan utamanya.
Salah satu momen krusial yang menguji kepemimpinan Liston adalah ketika ia harus mengelola respon dan rekonstruksi pasca-bencana alam besar di salah satu wilayah yang berada di bawah pengawasannya. Alih-alih hanya berfokus pada mitigasi jangka pendek, ia menerapkan "Prinsip Pembangunan Kembali yang Lebih Baik" (Build Back Better). Ini berarti bahwa setiap infrastruktur yang dibangun kembali harus lebih tahan terhadap risiko bencana di masa depan, menggunakan standar teknis yang lebih tinggi, dan mempertimbangkan aspek mitigasi struktural.
Prosesnya sangat transparan, melibatkan audit darurat terhadap semua dana bantuan, dan mengundang pengawas independen untuk memonitor setiap tahap rekonstruksi. Liston Simanjuntak dengan tegas menolak praktik-praktik yang mencoba memanfaatkan situasi darurat untuk keuntungan pribadi atau pemotongan anggaran. Dedikasinya pada prinsip ini memulihkan kepercayaan masyarakat yang sebelumnya sempat runtuh akibat buruknya penanganan bencana di masa lalu. Ia berhasil membuktikan bahwa krisis dapat menjadi kesempatan untuk membangun fondasi yang lebih kuat, bukan hanya sekadar mengembalikan keadaan semula. Detail implementasi meliputi zonasi ulang wilayah rawan, relokasi permukiman yang berisiko tinggi, dan pembangunan sistem peringatan dini berbasis komunitas.
Liston Simanjuntak sangat meyakini bahwa birokrasi yang lambat dan bertele-tele adalah salah satu musuh utama kemajuan. Ia mempelopori reformasi birokrasi melalui implementasi sistem E-Government secara masif, bukan hanya sebagai pemanis tampilan, tetapi sebagai alat esensial untuk memangkas jalur perizinan yang koruptif dan tidak efisien. Visinya adalah menciptakan "Layanan Publik Tanpa Wajah," di mana interaksi antara warga dan pejabat diminimalkan, sehingga peluang suap dan pungutan liar dapat ditekan.
Proyek utamanya adalah integrasi seluruh basis data kependudukan dan perizinan dalam satu platform digital terpadu. Tantangan terbesar dalam hal ini bukanlah teknologi, melainkan perubahan budaya kerja. Banyak pegawai yang terbiasa dengan sistem lama yang memberi mereka kekuasaan diskresioner menolak perubahan ini. Liston meresponnya dengan program pelatihan ulang besar-besaran, didukung dengan insentif kinerja yang jelas bagi mereka yang mengadopsi sistem baru, dan sanksi tegas bagi mereka yang menolak atau mencoba memanipulasi sistem digital.
Ia menerapkan sistem *dashboard* kinerja yang dapat diakses publik, memungkinkan masyarakat memantau waktu pemrosesan perizinan secara real-time. Dengan demikian, pengawasan kinerja birokrasi menjadi tanggung jawab bersama antara atasan dan warga negara. Sistem ini juga dilengkapi dengan fitur whistleblowing anonim yang terenkripsi, yang memungkinkan pelaporan pelanggaran tanpa rasa takut akan intimidasi. Keberhasilan implementasi E-Government di beberapa institusi yang pernah ia pimpin menjadi model yang kemudian direplikasi secara nasional.
Integritas adalah kata kunci dalam seluruh karir Liston Simanjuntak. Ia tidak hanya berbicara tentang anti-korupsi, tetapi juga merancang mekanisme struktural untuk mencegahnya. Ia adalah pendukung kuat kebijakan Penghasilan Berbasis Kinerja (Tunjangan Kinerja/Tukin), yang ia yakini sebagai cara paling efektif untuk mengurangi godaan korupsi kecil, asalkan diimbangi dengan sistem audit internal yang kejam dan imparsial.
Liston mendorong pembentukan unit kepatuhan internal yang independen, dengan kewenangan penuh untuk mengaudit transaksi keuangan yang mencurigakan, bahkan tanpa perintah langsung dari pimpinan. Ia juga mewajibkan seluruh pejabat eselon I dan II untuk secara rutin menjalani pelatihan etika dan integritas yang bersifat simulatif dan berbasis kasus nyata. Program ini dirancang untuk menguji komitmen mereka di bawah tekanan, bukan sekadar sesi ceramah.
Dalam konteks pengadaan publik, Liston Simanjuntak adalah pionir dalam penggunaan sistem lelang elektronik yang terpusat dan terenkripsi. Ia menghilangkan pertemuan tatap muka antara panitia lelang dan kontraktor, mengurangi peluang kolusi secara drastis. Ia juga menetapkan bahwa semua dokumen tender harus dipublikasikan secara lengkap, termasuk justifikasi teknis dan harga perkiraan sendiri (HPS), sehingga publik dapat ikut menilai kewajaran biaya proyek. Upaya-upaya ini menunjukkan komitmennya bahwa perang melawan korupsi harus dimenangkan di tingkat sistem, bukan hanya di tingkat individu.
Menyadari bahwa sistem secanggih apa pun akan gagal jika dijalankan oleh SDM yang tidak kompeten, Liston Simanjuntak memfokuskan perhatian pada reformasi kepegawaian. Ia memperkenalkan sistem meritokrasi yang ketat untuk promosi dan penempatan jabatan. Promosi tidak lagi didasarkan pada senioritas atau kedekatan politik, melainkan pada rekam jejak kinerja yang terukur dan hasil uji kompetensi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen.
Ia mendirikan "Pusat Pengembangan Kompetensi" internal yang bertugas melakukan asesmen psikologis dan teknis secara berkala. Bagi Liston, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi teknis yang memadai, integritas moral, dan yang terpenting, kapasitas untuk beradaptasi terhadap perubahan. Konsep "Pegawai sebagai Aset Strategis" menjadi moto di bawah kepemimpinannya, mendorong investasi besar-besaran dalam pelatihan keterampilan abad ke-21, termasuk analisis data, manajemen proyek kompleks, dan komunikasi krisis.
Transformasi ini berhasil mengubah pandangan publik terhadap birokrasi di sektor yang ia pimpin, dari yang semula dianggap sebagai sarang inefisiensi menjadi institusi yang dihargai karena profesionalisme dan kecepatan layanannya. Hal ini bukan proses yang instan; butuh bertahun-tahun desakan, negosiasi, dan kepemimpinan yang konsisten untuk meruntuhkan tembok-tembok mentalitas lama yang telah lama mengakar. Liston Simanjuntak menunjukkan bahwa reformasi struktural harus selalu dibarengi dengan reformasi kultural yang mendalam.
Di tengah revolusi industri 4.0, Liston Simanjuntak menyadari bahwa infrastruktur fisik (jalan, jembatan) tidaklah cukup. Infrastruktur digital adalah kunci pemerataan ekonomi di era modern. Ia memimpin upaya ambisius untuk membangun jaringan Kabel Serat Optik Nasional yang menjangkau hingga ke pulau-pulau terluar. Proyek ini dipandang skeptis oleh banyak pihak karena tingginya biaya investasi dan tantangan geografisnya yang ekstrem.
Namun, Liston berargumen bahwa investasi ini adalah investasi dalam SDM masa depan. Dengan konektivitas yang andal, UMKM di daerah terpencil dapat mengakses pasar global, siswa dapat mengikuti kelas online terbaik, dan layanan kesehatan dapat dijangkau melalui telemedicine. Ia mengelola proyek ini dengan pendekatan Public-Private Partnership (PPP) yang ketat, menjamin bahwa risiko dibagi secara adil antara pemerintah dan sektor swasta, dan memastikan bahwa tarif layanan yang ditetapkan tetap terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Liston menekankan bahwa penyediaan akses internet berkecepatan tinggi harus diperlakukan sama pentingnya dengan penyediaan listrik. Dalam implementasinya, ia secara khusus mengarahkan agar pembangunan infrastruktur digital diintegrasikan dengan proyek infrastruktur fisik lainnya—misalnya, menanam kabel serat optik di sepanjang jalur kereta api atau jalan raya yang baru dibangun—untuk meminimalkan biaya penggalian ulang dan dampaknya terhadap lingkungan. Visi ini telah meletakkan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang berkelanjutan.
Infrastruktur membutuhkan dana triliunan, dan mengandalkan APBN sepenuhnya adalah tidak realistis. Liston Simanjuntak dikenal karena kecakapannya dalam menciptakan skema pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Ia adalah salah satu inisiator utama dalam penggunaan obligasi infrastruktur daerah (municipal bonds) untuk membiayai proyek-proyek yang menghasilkan pendapatan, seperti sistem transportasi massal perkotaan atau fasilitas pengolahan sampah modern.
Ia bekerja sama erat dengan lembaga keuangan internasional untuk memastikan standar tata kelola proyek infrastruktur Indonesia memenuhi persyaratan investasi global. Ini termasuk memastikan studi lingkungan yang komprehensif, analisis risiko sosial, dan penggunaan kontrak standar internasional. Tujuannya adalah membuka keran investasi asing langsung tanpa mengorbankan kedaulatan atau integritas proyek. Melalui mekanisme ini, Liston berhasil menarik modal signifikan untuk beberapa proyek pelabuhan dan bandara regional, yang sebelumnya hanya bisa dianggarkan melalui dana pusat. Pendekatan ini adalah bukti bahwa Liston tidak hanya fokus pada teknis konstruksi, tetapi juga pada arsitektur finansial yang mendukung pembangunan jangka panjang.
Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di luar pulau Jawa, Liston Simanjuntak memainkan peran penting dalam perencanaan dan pengembangan beberapa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Baginya, KEK bukan sekadar zona bebas pajak, tetapi ekosistem terintegrasi yang harus didukung oleh infrastruktur keras (jalan, listrik) dan infrastruktur lunak (perizinan cepat, pelatihan tenaga kerja).
Ia memastikan bahwa setiap KEK yang direncanakan memiliki nilai tambah spesifik, misalnya fokus pada hilirisasi nikel, pertanian modern, atau pariwisata bahari, sesuai dengan potensi lokal. Liston Simanjuntak bersikeras bahwa pembangunan KEK harus mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Ini tercermin dari regulasi yang ia dorong, yang mewajibkan perusahaan di KEK untuk mengalokasikan persentase tertentu dari keuntungan mereka untuk program pengembangan komunitas dan pelatihan vokasi. Upaya ini memastikan bahwa manfaat pembangunan tidak hanya dinikmati oleh investor besar, tetapi juga oleh masyarakat sekitar. Ia memandang KEK sebagai lokomotif ekonomi regional yang jika berhasil, akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia secara signifikan.
Seluruh proyek KEK yang berada di bawah pengawasannya selalu menjalani evaluasi dampak lingkungan (AMDAL) yang ketat dan transparan. Liston memahami bahwa pembangunan infrastruktur, jika tidak diatur dengan baik, dapat merusak lingkungan secara permanen. Oleh karena itu, prinsip pembangunan hijau dan penggunaan energi terbarukan menjadi komponen wajib dalam setiap perencanaan infrastruktur baru.
Inisiatif-inisiatif ini menuntut pemahaman yang sangat mendalam tentang hukum tata negara, ekonomi makro, dan rekayasa sipil. Keberhasilan Liston dalam menyatukan ketiga domain ilmu ini dalam satu kerangka kerja kebijakan adalah ciri khas kepemimpinannya. Ia mampu menerjemahkan kebutuhan politik menjadi solusi teknokratis yang efisien, dan sebaliknya, menjelaskan kompleksitas teknis kepada para pengambil kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Perhatiannya terhadap detail logistik juga mencakup harmonisasi standar teknis antar-wilayah. Ia melihat adanya inefisiensi besar ketika setiap daerah memiliki standar yang berbeda untuk jalan, jembatan, atau fasilitas publik. Liston berjuang untuk mengadopsi standar nasional yang seragam dan diakui secara internasional, yang tidak hanya mempermudah perencanaan dan pengadaan, tetapi juga meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur secara keseluruhan. Dedikasi ini mencerminkan komitmennya pada pembangunan yang berbasis profesionalisme dan kualitas, jauh dari sekadar proyek politik jangka pendek.
Pengembangan sistem pemantauan proyek berbasis satelit juga menjadi bagian integral dari visinya. Liston adalah salah satu pejabat pertama yang mengimplementasikan pemantauan visual proyek secara berkala melalui citra satelit dan drone. Hal ini memungkinkan pengawasan kemajuan konstruksi di lokasi terpencil tanpa harus melakukan kunjungan lapangan yang mahal dan memakan waktu, serta meminimalisir peluang manipulasi data kemajuan proyek oleh kontraktor. Dengan sistem ini, ia dapat secara cepat mengidentifikasi bottleneck dan mengambil tindakan korektif sebelum keterlambatan menjadi parah. Inilah yang membedakan pendekatannya: menggabungkan pengawasan disiplin tinggi ala militer dengan teknologi mutakhir untuk memastikan akuntabilitas.
Selain itu, dalam konteks pembangunan perumahan rakyat dan fasilitas sosial, Liston Simanjuntak sangat menekankan pada aspek desain yang inklusif. Ia memastikan bahwa semua fasilitas publik yang baru dibangun harus memiliki aksesibilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas (universal design), sebuah isu yang sering terabaikan dalam proyek-proyek infrastruktur di masa lalu. Baik itu ramp untuk kursi roda, panduan taktil di trotoar, maupun fasilitas toilet yang memadai, detail-detail kecil ini mencerminkan filosofi Liston bahwa pembangunan harus melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Terkait dengan pengembangan energi, Liston juga berperan aktif dalam mendorong diversifikasi sumber energi di daerah-daerah yang terpencil. Ia menyadari keterbatasan jaringan listrik PLN di banyak pulau kecil. Oleh karena itu, ia menggalakkan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro, tenaga surya terpusat, dan bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) skala kecil yang dikelola oleh BUMDes atau koperasi lokal. Pendekatan desentralisasi energi ini tidak hanya meningkatkan rasio elektrifikasi tetapi juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sejalan dengan komitmen nasional terhadap energi bersih.
Dalam setiap perencanaan strategisnya, Liston selalu menyertakan analisis Keberlanjutan Finansial Jangka Panjang. Proyek infrastruktur, menurutnya, tidak boleh menjadi beban bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, mekanisme pengembalian investasi dan rencana pemeliharaan yang solid harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proposal proyek. Ia menolak proyek yang hanya menarik secara politik tetapi tidak layak secara ekonomi dalam jangka waktu 20 hingga 30 tahun. Pendekatan kehati-hatian finansial ini memastikan bahwa investasi publik menghasilkan nilai yang maksimal bagi negara.
Proses konsultasi publik juga ditingkatkan secara signifikan di bawah arahan Liston. Sebelum proyek besar diputuskan, serangkaian dialog publik wajib diadakan, melibatkan pakar lingkungan, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi non-pemerintah. Tujuannya adalah menyerap masukan kritis dan memitigasi potensi dampak negatif sebelum proyek dimulai, yang pada akhirnya mengurangi risiko penundaan dan konflik di kemudian hari. Liston Simanjuntak mengintegrasikan kritik menjadi bagian dari proses konstruktif, bukan sebagai penghalang.
Kompleksitas yang dihadapi dalam mengelola proyek infrastruktur di Indonesia, yang melibatkan ribuan pulau, ratusan bahasa, dan beragam regulasi daerah, membutuhkan kapasitas manajerial yang luar biasa. Liston Simanjuntak membuktikan bahwa dengan kepemimpinan yang berfokus pada hasil, didukung oleh data yang akurat, dan integritas yang tak tergoyahkan, tantangan tersebut dapat diatasi. Warisannya adalah cetak biru tentang bagaimana pembangunan infrastruktur dapat menjadi motor utama pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi.
Salah satu program ambisius lainnya yang ia gagas adalah Integrasi Transportasi Multimoda. Ia menyadari bahwa di banyak kota besar, pembangunan hanya terfokus pada moda tunggal (misalnya, jalan raya), yang memperburuk kemacetan. Liston mendorong integrasi antara bus cepat (BRT), kereta komuter, dan jalur sepeda/pedestrian. Ia bahkan secara eksplisit mengadvokasi anggaran yang signifikan untuk pembangunan trotoar dan jalur sepeda yang layak, dengan alasan bahwa berjalan kaki dan bersepeda adalah moda transportasi yang paling berkelanjutan dan inklusif. Pendekatan ini adalah pergeseran paradigma dari pembangunan yang berpusat pada mobil menuju pembangunan yang berpusat pada manusia.
Penekanannya pada detail operasional juga terlihat dalam manajemen aset. Liston Simanjuntak menerapkan sistem inventarisasi aset infrastruktur berbasis GIS (Geographic Information System) yang terperinci, memungkinkan pemerintah untuk mengetahui dengan tepat kondisi setiap jembatan, jalan, atau fasilitas, serta memprediksi kebutuhan pemeliharaan di masa depan. Manajemen aset proaktif ini menggantikan model reaktif yang seringkali baru bertindak setelah kerusakan terjadi, sebuah praktik yang secara finansial jauh lebih mahal dan berisiko tinggi.
Inisiatif terbarunya meliputi pengembangan Smart City Prototypes di kota-kota menengah, bukan hanya di ibu kota. Fokusnya adalah menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas layanan publik esensial seperti manajemen sampah, pemantauan kualitas udara, dan sistem peringatan banjir. Liston percaya bahwa solusi pintar harus diuji di lingkungan yang lebih terkontrol sebelum diterapkan secara nasional, memastikan skalabilitas dan efektivitas biaya. Proyek-proyek ini menjadi bukti bahwa visinya tidak pernah stagnan, selalu mencari cara baru untuk memanfaatkan teknologi demi kebaikan publik.
Liston Simanjuntak juga merupakan advokat kuat bagi peningkatan kapasitas industri konstruksi domestik. Ia secara konsisten mendorong kebijakan yang mewajibkan transfer teknologi dan pengetahuan dari kontraktor asing kepada perusahaan lokal, serta program sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang komprehensif. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa Indonesia tidak hanya mampu membangun infrastruktur, tetapi juga mampu merancangnya, membiayainya, dan mengelolanya dengan sumber daya manusia sendiri di masa depan. Pembangunan infrastruktur, baginya, adalah bagian dari pembangunan kedaulatan bangsa.
Dedikasinya terhadap pengawasan teknis proyek-proyek besar sangatlah legendaris. Ia sering melakukan kunjungan mendadak ke lokasi proyek, tidak hanya untuk melihat kemajuan umum, tetapi untuk memeriksa kualitas material di laboratorium lapangan, mewawancarai langsung pekerja, dan meninjau buku harian proyek. Pendekatan kepemimpinan "gemba" (turun langsung ke lokasi kerja) ini mengirimkan pesan kuat kepada semua pihak—kontraktor, konsultan, dan tim internal—bahwa tidak ada ruang untuk kelalaian atau kompromi kualitas.
Sebagai seorang administrator, ia juga piawai dalam mengelola ekspektasi publik. Dalam proyek-proyek yang pasti menimbulkan gangguan sementara (misalnya pembangunan MRT di tengah kota), Liston selalu memastikan ada komunikasi yang jelas dan proaktif kepada masyarakat mengenai jadwal pekerjaan, jalur alternatif, dan manfaat jangka panjang. Transparansi dan komunikasi yang efektif ini berhasil meredam banyak potensi konflik dan kritisisme yang biasanya menyertai proyek-proyek infrastruktur perkotaan yang ambisius. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinannya adalah perpaduan antara teknokrasi yang kaku dan empati sosial yang mendalam.
Warisan terbesar Liston Simanjuntak mungkin bukanlah gedung-gedung tinggi atau jalan tol yang megah, melainkan Sistem dan Nilai yang ia tanamkan dalam birokrasi. Ia mendefinisikan kepemimpinan bukan sebagai posisi otoritas, tetapi sebagai tanggung jawab moral untuk melayani dan memperbaiki sistem yang ada. Liston berhasil membuktikan bahwa seorang pejabat publik dapat menjadi seorang teknokrat yang efektif sekaligus menjunjung tinggi integritas personal.
Gaya kepemimpinannya ditandai dengan kombinasi yang unik: disiplin yang keras terhadap standar kerja, tetapi juga loyalitas yang tinggi terhadap tim yang menunjukkan komitmen dan kinerja. Ia dikenal sebagai pemimpin yang memberikan delegasi yang signifikan kepada bawahannya, tetapi dengan pengawasan berbasis data yang ketat. Ini mendorong inisiatif di tingkat operasional, sementara risiko penyimpangan diminimalkan melalui transparansi digital.
Bagi Liston, kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan bahan bakar untuk perbaikan. Ia mendorong budaya "post-mortem analysis" pada proyek yang mengalami hambatan, bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk mengidentifikasi pelajaran yang dapat diterapkan pada proyek-proyek berikutnya. Pendekatan non-hukuman terhadap kesalahan yang bersifat jujur ini menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi inovasi dan pengambilan risiko yang terukur.
Secara ekonomi, dampak dari masa kerja Liston Simanjuntak dapat diukur dari berbagai indikator makro. Peningkatan konektivitas maritim dan digital yang ia pelopori telah secara signifikan mengurangi disparitas harga antar wilayah, khususnya antara Jawa dan wilayah Timur. Penurunan biaya logistik ini langsung berkorelasi dengan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Lebih dari itu, reformasi perizinan yang ia galakkan telah mendongkrak kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) di beberapa sektor vital. Dengan mengurangi waktu dan biaya birokrasi, investasi, baik domestik maupun asing, menjadi lebih tertarik untuk masuk, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Liston Simanjuntak berhasil mengalihkan fokus dari "pembangunan fisik semata" menuju "pembangunan yang memicu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan".
Kontribusi substansial lainnya adalah pada peningkatan kapasitas fiskal daerah. Melalui pelatihan intensif, Liston membantu pemerintah daerah mengembangkan kemampuan mereka untuk merencanakan dan mengelola keuangan mereka sendiri, mengurangi ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat. Ini adalah langkah krusial menuju otonomi daerah yang matang dan bertanggung jawab.
Perjalanan seorang Liston Simanjuntak adalah cerminan dari tantangan dan peluang dalam membangun Indonesia. Ia telah meninggalkan jejak yang jelas bagi generasi administrator publik berikutnya: bahwa integritas tidak hanya etis, tetapi juga ekonomis. Birokrasi yang bersih adalah birokrasi yang cepat, efisien, dan mampu menarik investasi.
Liston menunjukkan bahwa transformator sejati dalam birokrasi bukanlah mereka yang berteriak paling keras, melainkan mereka yang mampu merancang sistem yang tahan terhadap kelemahan manusia. Ia tidak hanya merombak struktur, tetapi juga memodernisasi cara berpikir. Ia adalah sosok yang dengan cermat mengukur setiap langkah, memastikan bahwa setiap rupiah anggaran publik memberikan hasil maksimal bagi rakyat Indonesia. Keseluruhan kontribusinya berfungsi sebagai pedoman yang tak ternilai harganya bagi setiap individu yang bercita-cita untuk melayani negara dengan profesionalisme, visi, dan integritas.
Warisan Liston Simanjuntak adalah warisan yang bersifat sistemik dan berkelanjutan. Berbagai mekanisme pengawasan, digitalisasi pelayanan, dan kerangka pembiayaan infrastruktur yang ia bangun terus berfungsi dan beradaptasi seiring berjalannya waktu, membuktikan ketahanan dari visi strategisnya. Ia telah mencontohkan bahwa pembangunan sejati adalah proses multi-generasi, di mana fondasi yang kokoh diletakkan hari ini akan menopang kemakmuran bangsa di masa depan. Integritas dan kepemimpinan visioner yang ia tunjukkan tetap menjadi standar emas dalam pelayanan publik di Indonesia.
Salah satu inovasi paling signifikan yang dipimpin oleh Liston Simanjuntak dalam ranah tata kelola adalah implementasi Sistem Audit Terpadu (SAT). SAT dirancang sebagai respons terhadap fragmentasi proses audit yang seringkali memungkinkan celah bagi penyalahgunaan dana publik. Sebelum SAT, setiap unit kerja memiliki prosedur audit internal yang berbeda-beda, membuat pelacakan dana lintas-sektor menjadi mustahil. Liston mengubah ini dengan menyeragamkan semua parameter audit, menerapkan perangkat lunak forensik keuangan yang canggih, dan yang terpenting, mendirikan sebuah komite pengarah yang terdiri dari auditor independen dan pakar teknologi informasi.
SAT bekerja dengan menganalisis data transaksi secara real-time. Sistem ini mampu mengidentifikasi anomali, seperti lonjakan pengeluaran mendadak pada akhir tahun anggaran, transaksi dengan vendor yang sama berulang kali tanpa tender yang jelas, atau pengeluaran yang melebihi batas yang ditetapkan secara otomatis. Setiap anomali akan memicu notifikasi yang memerlukan verifikasi manual dalam waktu 48 jam. Jika verifikasi tidak dilakukan atau hasilnya tidak memuaskan, dana yang bersangkutan dapat dibekukan sementara. Mekanisme ini menciptakan tekanan akuntabilitas yang konstan, memaksa setiap administrator untuk mematuhi aturan sejak awal.
Pengenalan SAT juga memerlukan perubahan dalam regulasi internal. Liston harus meyakinkan Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga terkait lainnya bahwa peningkatan pengawasan ini adalah untuk kebaikan publik, bukan alat untuk memburu kesalahan. Ia berhasil meyakinkan bahwa pencegahan jauh lebih murah dan lebih efektif daripada penindakan. Dalam tiga tahun pertama implementasinya, SAT berhasil menghemat miliaran rupiah dari potensi kebocoran anggaran, yang kemudian dialihkan kembali untuk membiayai program kesehatan dan pendidikan yang tertunda. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata kekuatan pengawasan berbasis teknologi.
Di sektor pembiayaan, Liston Simanjuntak memperkenalkan PBBK, sebuah model yang sangat berbeda dari pembiayaan tradisional. Alih-alih hanya memberikan dana berdasarkan proposal proyek, PBBK mensyaratkan pencairan dana berikutnya tergantung pada pencapaian indikator kinerja spesifik. Misalnya, untuk proyek pembangunan jaringan irigasi, dana tahap kedua tidak akan cair kecuali jika jaringan irigasi tahap pertama telah berhasil mengairi target luasan lahan pertanian dan menghasilkan peningkatan produksi X persen.
PBBK menuntut kontraktor dan pemerintah daerah untuk berpikir strategis dan bertanggung jawab atas hasil akhir, bukan hanya pada proses konstruksi. Model ini memerlukan sistem pengukuran kinerja yang sangat detail, transparan, dan dapat diverifikasi oleh pihak ketiga. Untuk mencapai ini, Liston berinvestasi dalam pelatihan manajer proyek yang memiliki sertifikasi internasional di bidang pengukuran kinerja dan manajemen risiko. Ini adalah upaya untuk meningkatkan profesionalisme manajemen proyek di Indonesia ke tingkat global.
Penerapan PBBK menghadapi kritik keras dari kontraktor yang terbiasa dengan pembayaran di muka yang besar dan mekanisme yang longgar. Namun, ketegasan Liston dalam menerapkan klausul kontrak berbasis kinerja ini memaksa industri untuk beradaptasi, dan seiring waktu, kualitas proyek infrastruktur yang didanai melalui PBBK menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan proyek yang didanai secara konvensional. Model ini kini diakui sebagai salah satu praktik terbaik dalam manajemen pembangunan publik di Asia Tenggara.
Liston Simanjuntak sering menekankan bahwa otonomi daerah tanpa kapasitas adalah bencana. Ia memandang desentralisasi bukan hanya sebagai penyerahan kewenangan, tetapi sebagai transfer tanggung jawab yang harus diiringi oleh peningkatan kapasitas kelembagaan daerah. Untuk itu, ia meluncurkan program "Mentor Birokrasi Regional".
Program ini melibatkan penempatan para ahli teknokrat dan manajer proyek berpengalaman dari pusat untuk bertugas sementara di berbagai kabupaten/kota. Tugas utama mereka adalah menjadi mentor bagi pejabat daerah dalam hal: (1) Perencanaan Anggaran Berbasis Kebutuhan Riil; (2) Pengadaan Barang dan Jasa yang Transparan; dan (3) Manajemen Utang Daerah yang Pruden. Program ini bersifat kolaboratif, bukan instruktif, bertujuan membangun "sense of ownership" di kalangan pemimpin daerah.
Liston secara konsisten menentang pembangunan infrastruktur yang bersifat "mercusuar" (monumental tanpa fungsi ekonomi), yang seringkali didorong oleh motif politik lokal. Ia hanya mendukung proyek daerah yang memiliki analisis cost-benefit yang kuat, terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional, dan yang terpenting, mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil setempat. Filosofi ini memastikan bahwa dana pembangunan daerah digunakan secara optimal, fokus pada kebutuhan dasar masyarakat, dan bukan pada proyek-proyek yang hanya memuaskan ego politisi. Liston percaya bahwa keseimbangan antara kontrol pusat atas standar dan otonomi daerah atas implementasi adalah kunci keberhasilan pembangunan yang merata di nusantara.
Untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah, Liston juga mendorong inisiatif peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berbasis pada digitalisasi dan modernisasi pajak dan retribusi daerah. Ia membantu daerah mengimplementasikan sistem pembayaran pajak online, mengurangi interaksi tatap muka, dan menghilangkan potensi pungutan liar, sehingga meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan penerimaan daerah secara signifikan. Ini adalah contoh konkret bagaimana tata kelola yang baik secara langsung berkontribusi pada kemandirian finansial daerah.
Dalam sektor transportasi laut, Liston Simanjuntak juga memimpin upaya untuk merasionalisasi rute tol laut. Awalnya, rute-rute ini seringkali tidak efisien karena perencanaan yang kurang matang. Dengan menggunakan analisis data pergerakan barang dan pola permintaan pasar, ia berhasil mengoptimalkan rute, memastikan bahwa kapal-kapal yang disubsidi pemerintah dapat mencapai tingkat okupansi yang lebih tinggi dan benar-benar melayani kebutuhan logistik daerah terpencil, bukan hanya sebagai sarana pamer. Optimalisasi rute ini menurunkan biaya pengiriman komoditas pokok di wilayah timur Indonesia.
Liston Simanjuntak adalah tokoh yang melampaui sekat-sekat tradisional birokrasi. Ia tidak hanya melihat dirinya sebagai seorang pengelola, tetapi sebagai seorang visioner yang bertugas merancang ulang bagaimana negara berfungsi. Keberaniannya dalam menghadapi resistensi politik terhadap transparansi dan komitmennya pada keunggulan teknis akan terus menjadi inspirasi bagi reformator di masa depan. Integritas dan efisiensi yang ia junjung tinggi adalah aset paling berharga yang ia sumbangkan kepada bangsa.