Menggali Samudra Kasih Sayang Kenabian

Analisis Mendalam Tafsir Q.S. At-Taubah Ayat 128

Pendahuluan: Kedudukan Ayat Terakhir

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, sering kali dikenal karena ketegasannya dalam menjelaskan prinsip-prinsip perang, perjanjian, dan pemisahan yang jelas antara keimanan dan kemunafikan. Namun, di penghujung surah ini, tersembunyi sebuah permata yang menggambarkan esensi dari seluruh risalah kenabian: kasih sayang yang tak terhingga. Ayat 128 dari Surah At-Taubah merupakan salah satu ayat yang paling agung dalam mendeskripsikan kepribadian dan karakter Nabi Muhammad ﷺ, yang berfungsi sebagai penutup bagi serangkaian instruksi keras sebelumnya.

Ayat ini memiliki signifikansi historis dan spiritual yang mendalam. Sebagian ulama, seperti Ubay bin Ka'ab dan beberapa riwayat dari ulama Kufah, meyakini bahwa ayat ini, bersama dengan ayat 129, adalah yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. Jika pandangan ini benar, maka pesan penutup dari wahyu ilahi bukanlah peringatan keras atau komando militer, melainkan sebuah penegasan tentang sifat rahmat dan kasih sayang universal yang melekat pada pembawa risalah. Ini memberikan perspektif yang sangat penting: bahkan ketika Islam berbicara tentang keadilan dan ketegasan, intinya tetaplah belas kasih.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Terjemahan: Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Analisis terhadap ayat ini bukan hanya sekadar memahami terjemahan, tetapi menggali lima pilar utama yang menyusun deskripsi agung Allah tentang Rasul-Nya. Kelima pilar ini – identitas, beban empati, kerinduan akan kebaikan, serta dua dimensi kasih sayang (Ra'uf dan Rahim) – membentuk sebuah narasi utuh tentang mengapa Nabi Muhammad ﷺ adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Analisis Linguistik dan Semantik (Tafsir Lafdzi)

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai, kita harus membedah setiap frasa dalam ayat 128 ini, karena bahasa Arab Al-Qur'an memiliki kekayaan makna yang berlapis. Setiap kata adalah pilihan ilahi yang mengandung hikmah tak terbatas.

1. Lāqad Jā'akum Rasūlun Min Anfusikum (Sungguh, Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul dari Kaummu Sendiri)

Kata pembuka, لَقَدْ (Lāqad), adalah penegasan sumpah yang menunjukkan kepastian mutlak. Ini menegaskan bahwa kedatangan Rasulullah ﷺ bukanlah kebetulan historis, melainkan peristiwa definitif yang direncanakan oleh Tuhan.

Rasūlun Min Anfusikum: Frasa ini adalah fondasi legitimasi kenabian. Kata أَنفُسِكُمْ (Anfusikum), yang berarti 'dari diri kalian sendiri' atau 'dari jiwa-jiwa kalian', memiliki dua interpretasi utama yang saling melengkapi:

Aspek 'dari kaummu sendiri' ini memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat dipahami secara kultural dan sosial oleh audiens awalnya. Jembatan komunikasi telah dibangun sejak awal melalui latar belakang yang sama.

2. ‘Azīzun ‘Alayhi Mā ‘Anittum (Berat Terasa Olehnya Penderitaanmu)

Kata kunci di sini adalah عَزِيزٌ (‘Azīz), yang berarti 'berat', 'sulit', atau 'berharga'. Dalam konteks ini, ia merujuk pada betapa sulitnya bagi Nabi untuk menyaksikan umatnya menderita, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.

Kata عَنِتُّمْ (‘Anittum) berasal dari akar kata 'Anat, yang maknanya adalah kesulitan, beban, atau penderitaan yang menyebabkan seseorang hampir binasa. Ini mencakup:

Tafsir Ibn Kathir dan ulama lainnya menekankan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menanggung beban emosional atas potensi azab yang akan menimpa orang-orang yang menolak hidayah. Beliau tidak hanya sekadar peduli, tetapi merasakan beban penderitaan orang lain seolah-olah itu adalah penderitaan beliau sendiri. Ini adalah puncak dari empati kenabian.

3. Ḥarīṣun ‘Alaykum (Sangat Menginginkan Kebaikan Bagimu)

Kata حَرِيصٌ (Ḥarīṣ) sering kali diterjemahkan sebagai 'sangat bersemangat', 'serakah', atau 'sangat menginginkan'. Meskipun dalam konteks lain kata ini bisa bermakna negatif (serakah harta), di sini ia bermakna positif mutlak: keserakahan dalam kebaikan.

Nabi Muhammad ﷺ sangat serakah terhadap satu hal: keimanan, keselamatan, dan hidayah umatnya. Keinginan ini begitu kuat sehingga beliau rela menempuh segala risiko dan kesulitan demi memastikan umatnya mendapatkan jalan yang benar. Keinginan ini terfokus pada:

Jika sifat 'Azīzun 'Alayhi Mā 'Anittum berorientasi pada menolak keburukan, maka Ḥarīṣun 'Alaykum berorientasi pada meraih kebaikan. Kedua sifat ini menunjukkan bahwa Nabi memiliki strategi ganda: menghilangkan penderitaan dan menarik kepada kebahagiaan.

4. Bil-Mu'minīna Ra'ūfun Raḥīm (Amat Belas Kasihan lagi Penyayang Terhadap Orang-orang Mukmin)

Ayat ini ditutup dengan dua nama agung yang juga merupakan nama Allah (Asmaul Husna), yang disematkan kepada Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan tingginya kadar manifestasi sifat Ilahi melalui karakter kenabian. Sifat-sifat ini dikhususkan kepada بِالْمُؤْمِنِينَ (Bil-Mu'minīna), yaitu orang-orang yang beriman, sebagai bentuk penghormatan dan janji keselamatan bagi mereka.

A. Ar-Ra'ūf (Amat Belas Kasihan)

Kata Ra'ūf (رَءُوفٌ) berasal dari akar kata Ra'fah. Dalam bahasa Arab, Ra'fah adalah bentuk kasih sayang yang lebih intens dan segera daripada Rahmah. Ia sering diterjemahkan sebagai 'belas kasihan yang amat mendalam' atau 'simpati yang mendesak'.

Ra'fah memiliki makna perhatian preventif dan penghindaran bahaya. Beliau adalah Ra'uf karena beliau menghindarkan kaum Mukminin dari perbuatan yang akan menyebabkan mereka dihukum, memberikan keringanan (rukhsah) dalam ibadah, dan selalu mencari jalan termudah bagi mereka. Beliau mencegah keburukan datang sebelum ia menimpa.

B. Ar-Raḥīm (Penyayang)

Kata Raḥīm (رَّحِيمٌ) berasal dari akar kata Rahmah, yang maknanya luas, mencakup karunia, anugerah, pengampunan, dan keberkahan. Jika Ra'uf adalah kasih sayang yang bersifat preventif (menghilangkan kesulitan), Rahim adalah kasih sayang yang bersifat positif (memberi manfaat dan kebaikan).

Nabi Muhammad ﷺ adalah Rahim karena beliau mendoakan kebaikan bagi umatnya, memohonkan ampunan bagi mereka, dan membawa ajaran yang penuh berkah dan pahala. Kasih sayang Rahim ini terwujud dalam pemberian syafaat di Hari Kiamat, karunia terbesar bagi kaum Mukminin.

Penggabungan kedua sifat ini (Ra'uf dan Rahim) menunjukkan spektrum lengkap kasih sayang kenabian: mencegah bahaya dan menganugerahkan manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

Tafsir Tematik Mendalam: Dimensi Kasih Sayang Universal

Ayat 128 ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah pernyataan teologis tentang inti risalah Islam. Untuk mencapai kedalaman 5000 kata, kita perlu membedah implikasi teologis, etis, dan praktis dari kelima atribut tersebut, menghubungkannya dengan sumber-sumber tafsir klasik dan modern.

1. Kasih Sayang Kenabian Melawan Keputusasaan (Yā's)

Salah satu fungsi terpenting dari ayat ini, terutama sebagai penutup Surah At-Taubah yang banyak membahas munafikin dan hukuman, adalah melawan keputusasaan. Meskipun umat Islam mungkin merasa gagal atau melakukan kesalahan besar, ayat 128 mengingatkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah jembatan rahmat.

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyebutan Ra'ufun Rahim setelah semua deskripsi ketegasan Surah At-Taubah berfungsi sebagai obat penenang. Ini menegaskan bahwa pintu taubat selalu terbuka lebar, dan sifat kemanusiaan Nabi, yang merasakan penderitaan umatnya, adalah bukti bahwa beban hukum tidak pernah dimaksudkan untuk menghancurkan, melainkan untuk memperbaiki. Nabi menjadi teladan utama dalam mempraktikkan pengampunan dan harapan.

Studi Kasus: Peristiwa Ta'if dan Perang Uhud

Dalam konteks ‘Azīzun ‘Alayhi Mā ‘Anittum, penderitaan Nabi dapat dilihat dalam situasi ekstrem. Ketika beliau dilempari batu di Ta'if, malaikat Jibril datang menawarkan untuk menimpakan dua gunung kepada penduduk Ta'if. Namun, Nabi menolak, seraya berkata: "Bahkan aku berharap Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah Allah semata." Penolakan ini adalah manifestasi konkret dari sifat Ḥarīṣun ‘Alaykum dan Ra'ufun Rahim. Beliau lebih memilih kesabaran dan harapan hidayah ketimbang pembalasan instan.

Demikian pula dalam Perang Uhud, ketika gigi seri beliau patah dan wajah beliau berdarah, ada sahabat yang meminta beliau mengutuk kaum musyrikin. Nabi menjawab: "Aku diutus bukan untuk melaknat, melainkan sebagai penyeru dan rahmat. Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Ini adalah puncak dari realisasi ayat 128 dalam praktik hidup sehari-hari.

2. Hakikat Rasul Min Anfusikum: Keterhubungan dan Keterpercayaan

Klaim Min Anfusikum (dari dirimu sendiri) adalah landasan untuk Uswatun Hasanah (teladan yang baik). Jika seorang pemimpin adalah entitas asing atau dewa, teladannya mustahil diikuti. Tetapi karena Nabi adalah manusia biasa (walaupun terpilih), setiap tindakannya dapat direplikasi.

Para ahli tafsir menekankan bahwa frasa ini juga menghilangkan segala alasan bagi orang-orang pada zamannya untuk meragukan kejujurannya. Mereka telah menyaksikan kejujuran beliau, julukan beliau sebagai Al-Amin (yang terpercaya), dan nasabnya yang bersih. Ini menuntut tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi dari audiens Nabi—mereka harus menerima kebenaran, sebab pembawanya adalah orang yang paling mereka kenal dan hargai.

Ayat ini juga memberikan pelajaran bagi para dai (penyeru Islam) masa kini. Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kemampuan dai untuk berhubungan dengan audiensnya, memahami kesulitan mereka, dan menawarkan solusi yang berbasis empati. Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang bersifat min anfusikum, bukan dakwah yang asing dan menghakimi.

3. Kekuatan Harāshah (Antusiasme/Kerinduan) dalam Dakwah

Sifat Ḥarīṣun ‘Alaykum (sangat menginginkan kebaikan) menunjukkan bahwa dakwah bukanlah sekadar tugas yang diselesaikan, melainkan kerinduan mendalam yang membakar jiwa Nabi. Rasa ingin yang kuat ini mendorong beliau untuk berinovasi dalam metode, bersabar menghadapi penolakan, dan mencari celah sekecil apa pun untuk menyampaikan kebenaran.

Dalam ilmu Tarbiyah (pendidikan Islam), sifat Ḥarīṣ mengajarkan bahwa pendidik harus memiliki semangat yang lebih besar terhadap keberhasilan muridnya daripada yang dimiliki oleh murid itu sendiri. Nabi tidak hanya menunggu umat datang, beliau yang proaktif mendatangi, menawarkan, dan mengulang-ulang pesan hingga mereka paham. Kekuatan ini dijelaskan oleh beberapa ulama sebagai Jahdul Mustami’ (upaya maksimal yang melelahkan), di mana Nabi mengerahkan seluruh energinya demi keselamatan umat.

Kerinduan ini memiliki dimensi spiritual yang unik. Itu adalah kerinduan yang didorong oleh cinta kepada Allah dan bukan oleh ambisi pribadi atau pengakuan duniawi. Kegagalan dakwah seseorang tidak membuat beliau kecewa secara personal, melainkan sedih karena melihat potensi hidayah yang terlewatkan.

4. Sinergi Ra'uf dan Rahim: Filosofi Kasih Sayang Komprehensif

Penyatuan dua kata Ra'uf dan Rahim di akhir ayat adalah puncak retorika Al-Qur'an dalam menggambarkan belas kasih kenabian.

A. Penerapan dalam Hukum (Syariah)

Sifat Ra'uf tercermin dalam keringanan (rukhsah) syariah. Contohnya, diperbolehkannya tayamum ketika tidak ada air (pencegahan kesulitan), atau diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir (pencegahan kepayahan). Semua rukhshah ini adalah implementasi praktis dari 'Azīzun ‘Alayhi Mā ‘Anittum dan Ra'ūf. Nabi memastikan bahwa Syariah tidak menjadi beban yang memberatkan umatnya, sejalan dengan prinsip يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ (Allah menghendaki kemudahan bagimu).

B. Penerapan dalam Etika Sosial

Sifat Rahim tercermin dalam dorongan untuk berbuat baik dan tolong-menolong. Nabi adalah Rahim ketika beliau mengajarkan pentingnya sedekah, senyum sebagai ibadah, dan hak-hak tetangga. Ini adalah pemberian manfaat (Rahmah) yang positif dan berkelanjutan, membangun masyarakat yang saling mencintai dan mendukung.

Menurut Imam Al-Ghazali, penggabungan Ra'uf dan Rahim menunjukkan bahwa kasih sayang Nabi sempurna: ia tidak hanya menghilangkan kesulitan yang ada, tetapi juga memastikan keberkahan yang berkelanjutan di masa depan. Beliau adalah sumber kasih sayang yang tidak pernah kering bagi kaum Mukminin.

5. Konteks Penempatan Ayat: Jembatan Rahmat di Akhir Perjalanan

Seperti yang telah disinggung, posisi ayat ini sangat strategis. Surah At-Taubah, sering disebut sebagai Al-Fāḍiḥah (Pembongkar), karena membongkar kedok munafikin. Ayat 128 dan 129 datang setelah rangkaian panjang peringatan keras dan pembersihan barisan. Apa maknanya?

Ia berfungsi sebagai penutup yang menenangkan. Seolah-olah Allah berkata: "Meskipun kalian telah melihat ketegasan dalam Syariah, ketahuilah, pembawa Syariah ini adalah manifestasi kasih sayang sejati. Janganlah kalian lari dari ajaran-Nya karena takut. Ia datang kepada kalian dengan belas kasih dan kerinduan." Ini menyeimbangkan Ketegasan Ilahi dengan Rahmat Kenabian, memastikan bahwa umat Islam tidak jatuh ke dalam ekstremisme yang keras atau keputusasaan yang nihilistik.

Implikasi dan Relevansi Kontemporer Ayat 128

Q.S. At-Taubah 128 bukan hanya tentang sejarah kenabian; ia adalah cetak biru abadi untuk kepemimpinan, pendidikan, dan interaksi sosial dalam Islam hingga hari kiamat.

1. Kepemimpinan Berbasis Empati

Sifat 'Azīzun ‘Alayhi Mā ‘Anittum mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati menuntut empati yang mendalam. Seorang pemimpin tidak boleh hanya mengeluarkan perintah, tetapi harus merasakan beban yang ditanggung oleh rakyatnya atau pengikutnya. Keputusan yang dibuat harus mempertimbangkan kesulitan yang mungkin ditimbulkan oleh keputusan tersebut.

Dalam konteks modern, hal ini berarti pemimpin umat harus menjadi yang pertama merasakan kesulitan ekonomi, penderitaan sosial, atau krisis moral yang melanda masyarakatnya. Model kepemimpinan Nabi, yang selalu mendahulukan kesejahteraan umat di atas kepentingan pribadi, adalah standar etika politik Islam.

2. Etika Dakwah yang Menarik

Relevansi terbesar ayat ini terletak pada metodologi dakwah. Sifat Ḥarīṣun ‘Alaykum dan Ra'ūfun Raḥīm menuntut para dai untuk menyampaikan pesan Islam bukan dengan kemarahan atau penghakiman, tetapi dengan cinta dan kerinduan untuk menyelamatkan orang lain. Dakwah yang meniru karakter Nabi adalah dakwah yang:

Jika seorang dai hanya fokus pada ketegasan (seperti yang terdapat di awal Surah At-Taubah) tanpa menyeimbangkan dengan kasih sayang (ayat 128), maka dakwahnya akan menjadi kaku dan menolak. Ayat 128 memastikan bahwa wajah Islam yang paling menonjol adalah wajah kasih sayang.

3. Membangun Pribadi Mukmin yang Seimbang

Ayat ini adalah cerminan bagi setiap individu Mukmin. Karena kita diperintahkan untuk meneladani Rasulullah, maka sifat-sifat ini harus diinternalisasi. Seorang Mukmin sejati harus:

  1. Merasakan beban kesulitan saudaranya (‘Azīz ‘Alayhi).
  2. Sangat menginginkan kebaikan bagi orang lain, bahkan bagi musuh (Ḥarīṣun).
  3. Memiliki belas kasih preventif (Ra'ūf), misalnya dengan menasihati sebelum kesalahan terjadi.
  4. Memiliki kasih sayang positif (Raḥīm), misalnya dengan membantu, mendoakan, dan memaafkan.

Inilah yang disebut dengan Akhlaq Qur'ani, di mana iman tidak hanya diucapkan, tetapi dimanifestasikan melalui interaksi yang penuh rahmat dan kepedulian. Kesempurnaan iman dicapai ketika seorang Mukmin menjadi ‘Rasul kecil’ dalam lingkungannya, membawa rahmat bagi orang-orang di sekitarnya.

4. Respon terhadap Tuduhan Negatif

Dalam diskursus global, Islam sering kali disalahpahami. Ayat 128 adalah argumen teologis paling kuat untuk menjawab tuduhan kekerasan atau ketidakpedulian. Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa inti dari pembawa risalah Islam adalah kasih sayang dan keinginan keras untuk menyelamatkan manusia dari kesulitan, baik di dunia maupun di akhirat.

Jika ada praktik Muslim yang kontradiktif dengan semangat Ra'ūfun Raḥīm, maka praktik tersebut bertentangan dengan deskripsi Allah sendiri tentang Rasul-Nya di penghujung wahyu. Oleh karena itu, kembali kepada esensi ayat 128 adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam untuk merefleksikan dan memperbaiki citra mereka.

Kesimpulannya, QS At-Taubah 128 adalah mercusuar yang menerangi perjalanan risalah. Ia bukan hanya sebuah deskripsi, tetapi sebuah janji: bahwa Nabi Muhammad ﷺ hadir sebagai sosok yang paling memahami penderitaan manusia, paling bersemangat untuk kebaikan mereka, dan paling penuh belas kasih kepada orang-orang yang beriman. Lima pilar karakter ini menjamin bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memanusiakan manusia dan menawarkan jalan keluar dari segala bentuk kesukaran menuju kedamaian abadi.

Ayat ini merupakan kemuliaan agung bagi Rasulullah ﷺ, karena Allah mensifati beliau dengan dua nama-Nya yang agung, Ra'uf dan Rahim, yang menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang paling berhak dan paling pantas untuk menanggung sifat belas kasih tersebut, dan beliau menjadi manifestasi rahmat ilahi bagi kaum Mukminin.

Menjelajahi makna Ra'ūfun Raḥīm secara lebih luas memungkinkan kita untuk menyentuh detail-detail kehidupan Nabi. Bagaimana sifat ini tecermin dalam pengaturan rumah tangga beliau? Bagaimana beliau memperlakukan tawanan perang? Bagaimana beliau bersikap terhadap anak yatim? Dalam setiap episode, kita menemukan bukti nyata bahwa sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 128 bukanlah sekadar kata-kata puitis, melainkan prinsip hidup yang dilaksanakan secara konsisten.

Misalnya, dalam urusan rumah tangga, beliau adalah yang paling lembut, tidak pernah memukul atau mencela. Ini adalah Ra'ūf dalam interaksi domestik, menghilangkan kesulitan emosional bagi keluarganya. Dalam urusan ekonomi, beliau adalah Raḥīm, seringkali memberikan semua yang beliau miliki kepada yang membutuhkan, memastikan manfaat menyebar luas. Bahkan dalam penentuan hukuman, beliau selalu mencari alasan yang meringankan (rukhsah), mencerminkan sifat ‘Azīz ‘Alayhi Mā ‘Anittum, beliau berat hati untuk menghukum, kecuali jika itu adalah perintah wajib dari Allah.

5. Pendalaman Konsep Rahmat dalam Konteks Syariat

Rahmat yang diemban oleh Rasulullah ﷺ adalah rahmat yang terstruktur oleh hukum (Syariat). Ini membedakannya dari kasih sayang yang murni emosional. Rahmat Nabi selalu bertujuan untuk membawa manusia kepada kebenaran mutlak. Oleh karena itu, ketika Nabi harus bersikap tegas, ketegasan itu sendiri adalah bagian dari rahmat, karena bertujuan membersihkan masyarakat dari kemunafikan atau kezaliman yang lebih besar.

Para mufassir modern menekankan bahwa QS 9:128 mengajarkan sebuah paradoks ilahi: kasih sayang yang paling otentik adalah kasih sayang yang tidak berkompromi dengan kebenaran. Nabi ingin umatnya selamat (Ḥarīṣun ‘Alaykum), dan keselamatan hanya dapat dicapai melalui ketaatan kepada Syariat. Jadi, ketika beliau mengajarkan batasan (hudud) atau menegakkan keadilan, beliau melakukannya karena belas kasihan, ingin mencegah kerusakan yang lebih besar menimpa individu atau masyarakat.

Analisis yang mendalam terhadap setiap frasa dalam ayat ini—dari min anfusikum yang mewujudkan kemanusiaan hingga ra'ufun rahim yang mewujudkan keilahian—membawa kita pada kesimpulan bahwa Rasulullah ﷺ adalah model kesempurnaan etika yang diwujudkan, yang diciptakan oleh Allah secara khusus untuk menjadi jembatan antara kehendak Ilahi dan kapasitas manusia.

Pemahaman integral ini mengharuskan kita tidak hanya membaca ayat 128 sebagai pujian, tetapi menjadikannya sebagai standar perilaku dalam setiap aspek kehidupan, sehingga umat Islam masa kini benar-benar dapat menjadi pewaris dari rahmat kenabian, yang menjadi rahmat bagi lingkungan mereka.

Setiap huruf dalam ayat ini adalah pengingat bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas fondasi cinta dan empati. Penderitaan umat adalah penderitaan beliau, keinginan terbesar beliau adalah keselamatan umat, dan sifatnya yang paling menonjol adalah belas kasih. Tidak ada narasi yang lebih kuat tentang hati seorang Nabi daripada apa yang termaktub dalam ayat penutup Surah At-Taubah ini.

Kajian mendalam tentang Q.S. At-Taubah 128 tidak hanya memperkaya ilmu tafsir, tetapi juga memperdalam kecintaan seorang Mukmin kepada Rasulullah ﷺ. Dengan memahami betapa beratnya beliau menanggung beban umat, dan betapa besarnya kerinduan beliau akan kebaikan kita, kita termotivasi untuk membalas kasih sayang tersebut dengan mengikuti sunnah beliau secara sungguh-sungguh.

Inilah puncak ajaran Islam, sebuah penutup yang lembut setelah badai teguran: meskipun jalan menuju surga membutuhkan perjuangan, ia dipimpin oleh seorang Rasul yang hatinya dipenuhi kasih sayang, Ra'uf dan Rahim.

🏠 Homepage