Keseimbangan Jihad dan Ilmu: Telaah Mendalam Surah At-Taubah Ayat 122

Surah At-Taubah, yang dikenal karena penekanannya yang kuat pada komitmen, kejujuran, dan kesiapan berperang, menyajikan salah satu panduan paling kritis mengenai struktur masyarakat Muslim ideal. Di tengah seruan untuk Nafiru (berangkat atau berjuang), muncul sebuah pengecualian yang bukan hanya sebuah kelonggaran, melainkan sebuah kewajiban strategis. Ayat ke-122 dari surah ini tidak sekadar memberikan izin untuk tidak ikut berperang bagi sebagian orang, namun menetapkan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: keharusan adanya spesialisasi ilmu dan pemeliharaan pusat-pusat pembelajaran agama. Ayat ini menjadi fondasi bagi semua sistem pendidikan Islam dan menegaskan bahwa mempertahankan pengetahuan adalah bentuk perjuangan (jihad) yang setara dan bahkan mendahului perjuangan fisik dalam konteks tertentu.

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍۢ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌۭ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka.” (QS. At-Taubah: 122)
Ilustrasi Keseimbangan antara Ilmu dan Jihad Sebuah timbangan dengan buku di satu sisi dan pedang di sisi lain, menunjukkan pentingnya keseimbangan antara mencari ilmu dan aksi. Ilmu Aksi

I. Konteks Historis dan Latar Belakang Pewahyuan

Untuk memahami kedalaman ayat 122, kita harus meletakkannya dalam konteks surah At-Taubah secara keseluruhan. Surah ini diturunkan pada fase akhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, setelah ekspedisi Tabuk. Periode ini adalah periode konsolidasi negara Islam dan penentuan sikap tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar perjanjian atau munafik. Perintah untuk berperang (jihad) pada masa itu bersifat sangat mendesak (fardhu 'ain) pada kondisi tertentu, khususnya ketika semua orang diminta untuk pergi, seperti pada Tabuk. Inilah sebabnya mengapa permulaan ayat ini menggunakan nada penolakan terhadap pemahaman bahwa semua harus bergerak: “Wamaa kaana al-mu’minuuna liyanfiru kaaffatan” (Tidak sepatutnya bagi mukminin itu semuanya pergi).

Prioritas Strategis Komunitas

Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam At-Tabari menjelaskan bahwa seruan ini datang sebagai koreksi. Jika seluruh laki-laki dewasa pergi berperang, siapakah yang akan menjaga masyarakat, melakukan dakwah di daerah yang baru ditaklukkan, dan yang lebih penting, siapa yang akan mendalami dan mewariskan syariat Allah? Ayat ini adalah penetapan strategis yang memastikan keberlangsungan umat. Islam adalah agama yang paripurna, tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan intelektual dan spiritual yang mumpuni untuk memastikan bahwa kemenangan fisik diterjemahkan menjadi masyarakat yang berlandaskan syariat dan kebijaksanaan (hikmah).

Apabila semua pergi ke medan pertempuran, maka tidak akan ada yang tersisa untuk mengajarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan hukum-hukum Allah kepada generasi penerus atau kepada mereka yang baru masuk Islam. Apabila semua pulang dari perang, mereka akan menemukan bahwa basis pengetahuan masyarakat telah kosong, yang pada gilirannya akan menyebabkan kemunduran spiritual dan keagamaan. Dengan demikian, ayat ini menekankan bahwa keberangkatan untuk mencari ilmu (tholabul ilmi) adalah sebuah jihad yang setara dengan keberangkatan menuju pertempuran, bahkan dalam kondisi perang sekalipun.

II. Tahlil Lughawi (Analisis Linguistik) Ayat 122

Ayat ini kaya akan istilah yang memiliki implikasi hukum dan sosial yang mendalam. Memahami akar kata-kata kunci sangat penting untuk menangkap maksud ilahi yang sesungguhnya.

1. Nafiru (يَنفِرُوا۟): Berangkat/Bergerak

Kata Nafiru berasal dari akar kata *Nafara* (نَفَرَ) yang berarti berangkat, bergerak cepat, atau melompat keluar. Dalam konteks awal surah At-Taubah, istilah ini sering kali dikaitkan dengan perintah mobilisasi militer (Jihad). Namun, dalam ayat 122, penggunaannya disandingkan dengan frasa "liyatafaqqahuu fiid-diin", yang mengubah konotasi wajibnya gerakan fisik menjadi kewajiban gerakan intelektual.

Penggunaan kata yang sama untuk kedua kegiatan ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Allah, kegiatan mencari dan mendalami ilmu agama memiliki status urgensi yang serupa dengan jihad dalam arti militer.

2. Thaa'ifah (طَآئِفَةٌۭ): Golongan Kecil

Kata Thaa'ifah berarti kelompok, rombongan, atau bagian dari suatu kaum. Ini menunjukkan bahwa tidak semua individu dalam suatu kelompok (firqah) harus pergi mencari ilmu, tetapi cukup sekelompok kecil dari mereka. Ini adalah kunci dari konsep Fardhu Kifayah.

Menurut para ahli bahasa Arab dan mufassir, jumlah minimal untuk Thaa'ifah bisa sangat kecil, bahkan hanya satu atau dua orang, asalkan tujuan mendapatkan ilmu itu tercapai. Namun, secara umum, Thaa'ifah diartikan sebagai "golongan yang cukup representatif" untuk menanggung beban ilmu tersebut, yang menunjukkan kebutuhan akan spesialisasi. Tugas yang diemban oleh Thaa'ifah ini sangat besar: mereka harus meninggalkan komunitas mereka, mencari guru terbaik, mempelajari hukum-hukum Allah, dan kemudian kembali untuk mengajar dan memperingatkan kaumnya.

3. Liyatafaqqahu (لِّيَتَفَقَّهُوا۟): Untuk Mendalami Pemahaman

Ini adalah kata kerja yang paling krusial. Kata Tafaqquh (pemahaman mendalam) berasal dari akar kata *Fiqh* (فِقْه). Fiqih sering diartikan sebagai hukum Islam, tetapi akar katanya berarti pemahaman yang mendalam, teliti, dan komprehensif, khususnya mengenai tujuan-tujuan Syariat (Maqasid Syariah).

Ayat ini tidak hanya memerintahkan pencarian ilmu, tetapi secara spesifik memerintahkan Tafaqquh, yang mensyaratkan tingkat penguasaan yang melampaui sekadar hafalan atau pengetahuan permukaan. Mereka yang pergi harus menjadi ulama, fuqaha (ahli fikih), atau spesialis yang mampu mengeluarkan hukum (istinbath) dan menjelaskan dalil-dalil agama dengan otoritas. Tugas mulia ini, yang disebutkan langsung setelah perintah jihad, menegaskan bahwa kepemimpinan umat tidak hanya dipegang oleh panglima perang, tetapi juga oleh para ahli syariat.

III. Penafsiran Para Mufassir Klasik dan Kontemporer

Tafsir mengenai ayat 122 sangat konsisten di kalangan ulama, meskipun ada sedikit perbedaan pandangan mengenai apakah keberangkatan mencari ilmu ini dimaksudkan untuk menggantikan keberangkatan jihad atau dilaksanakan pada waktu yang berbeda.

1. Tafsir At-Tabari (Imam Muhammad bin Jarir At-Tabari)

At-Tabari cenderung menafsirkan ayat ini dalam konteks setelah selesainya peperangan. Beliau berpendapat bahwa setelah kemenangan militer, sisa-sisa komunitas harus tetap tinggal untuk mendalami ilmu dan mengajarkan agama kepada para mujahid yang kembali, serta kepada mereka yang baru tunduk pada Islam. Pandangan ini menempatkan Tafaqquh sebagai tugas pasca-kemenangan yang vital.

Namun, At-Tabari juga mencatat pandangan lain yang lebih kuat: bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang Badui yang tinggal jauh dari Madinah, di mana ketika kaum Badui datang ke Madinah untuk belajar Islam (yang dianggap sebagai "keberangkatan" mereka), mereka harus kembali untuk memperingatkan kaum mereka yang belum berilmu. Pandangan ini memperluas konsep Nafiru mencakup perjalanan dari pinggiran menuju pusat ilmu.

2. Tafsir Ibn Kathir (Imam Imaduddin Abu al-Fida' Isma'il Ibn Kathir)

Ibn Kathir lebih fokus pada hubungan timbal balik antara ilmu dan jihad. Beliau mengutip pendapat bahwa ketika Rasulullah ﷺ mengirim ekspedisi militer (Sarayyah), tidak seluruh penduduk Madinah ikut serta. Sebagian tinggal untuk belajar dari Nabi ﷺ secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan tugas ini dilakukan bahkan ketika perintah jihad bersifat umum.

Menurut Ibn Kathir, tujuan utama ayat ini adalah untuk memerintahkan setiap kabilah atau komunitas agar selalu ada sejumlah orang yang mengambil tanggung jawab untuk mendalami agama. Tanpa ilmu, kemenangan militer tidak memiliki landasan moral dan hukum. Mereka yang tinggal tidak dianggap sebagai orang yang tertinggal atau lalai, melainkan sebagai pejuang di medan ilmu. Ini mengangkat status pencari ilmu ke level tertinggi dalam hierarki pengorbanan.

3. Tafsir Al-Qurtubi (Imam Syamsuddin Al-Qurtubi)

Al-Qurtubi menekankan aspek Fardhu Kifayah yang eksplisit dalam ayat ini. Jika sekelompok orang (Thaa'ifah) telah melaksanakan tugas mencari ilmu dan tafaqquh, maka kewajiban tersebut gugur dari seluruh komunitas. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh komunitas berdosa.

Al-Qurtubi juga membahas tujuan kedua dari ayat ini, yaitu "wa liyundziruu qawmahum" (dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya). Ini berarti ilmu bukanlah tujuan akhir; ilmu harus ditransformasikan menjadi dakwah, bimbingan, dan peringatan. Ilmu tanpa penyampaian adalah tidak lengkap, dan penyampaian tanpa ilmu mendalam adalah berbahaya.

IV. Implikasi Fiqih: Fardhu Kifayah dan Fardhu Ain

Ayat At-Taubah 122 adalah dalil utama yang digunakan oleh para fuqaha untuk menetapkan pembagian hukum terkait pencarian ilmu agama menjadi Fardhu Ain (wajib bagi setiap individu) dan Fardhu Kifayah (wajib kolektif).

1. Ilmu Sebagai Fardhu Kifayah (Kewajiban Kolektif)

Tafaqquh Fid Din yang diperintahkan dalam ayat 122 (yaitu penguasaan hukum, usul fiqh, tafsir, dan hadits) jatuh ke dalam kategori Fardhu Kifayah. Ini berarti:

Konsep Fardhu Kifayah ini memungkinkan adanya struktur masyarakat yang kompleks, di mana tidak semua orang harus menjadi mujahid fisik, dan tidak semua orang harus menjadi ulama. Namun, setiap orang harus mendukung berdirinya lembaga ilmu dan dakwah.

2. Ilmu Sebagai Fardhu Ain (Kewajiban Individu)

Meskipun Tafaqquh (spesialisasi) adalah Fardhu Kifayah, para fuqaha sepakat bahwa ada tingkatan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim, yaitu Fardhu Ain. Ilmu Fardhu Ain meliputi:

Sinergi antara Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah adalah inti dari ayat 122. Fardhu Ain adalah fondasi, sedangkan Fardhu Kifayah (Tafaqquh) adalah atap dan pilar yang melindungi fondasi tersebut dari keruntuhan ideologis dan kesalahpahaman. Mereka yang pergi untuk Tafaqquh adalah pelaksana Fardhu Kifayah tertinggi.

V. Tugas Utama Thaa'ifah yang Kembali: Al-Indzar

Ayat 122 secara eksplisit menyebutkan tujuan kembalinya rombongan yang mencari ilmu: “waliyundziruu qawmahum idzaa raja’uu ilayhim la’allahum yahdzaruun.” (dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka).

1. Makna Al-Indzar (Peringatan)

Kata Indzar (peringatan) tidak hanya berarti nasihat ringan, tetapi mengandung makna pemberitahuan tentang bahaya atau konsekuensi yang serius. Para ulama yang kembali harus menyampaikan kebenaran agama, termasuk ancaman siksa dan janji pahala, dengan dasar ilmu yang kuat.

Peringatan ini sangat vital. Kaum yang ditinggalkan mungkin terlalu sibuk dengan urusan dunia atau bahkan telah berpartisipasi dalam jihad fisik, sehingga mereka rentan terhadap kealpaan dalam hukum dan akidah. Para ulama yang baru kembali adalah jembatan yang menghubungkan ilmu murni dari pusat pembelajaran dengan realitas lapangan kaum mereka.

2. Ilmu Sebagai Komponen Utama Dakwah

Perintah untuk memperingatkan ini menunjukkan bahwa dakwah yang efektif harus didasarkan pada ilmu mendalam (tafaqquh). Seseorang tidak bisa memperingatkan tentang bahaya jika ia tidak memahami secara komprehensif apa yang menjadi bahaya tersebut dan bagaimana cara menghindarinya sesuai Syariat. Oleh karena itu, dakwah yang dilakukan oleh Thaa’ifah ini bersifat otoritatif dan berlandaskan dalil yang kokoh.

Tugas Al-Indzar ini juga memiliki dimensi psikologis dan sosial. Para ulama harus mampu menyampaikan hukum dan peringatan dengan hikmah (kebijaksanaan) agar kaumnya dapat "yahdzaruun" (menjaga diri, berhati-hati, dan takut akan konsekuensi). Ini adalah proses pendidikan berkelanjutan yang membuat iman dan amal shalih tetap hidup di tengah masyarakat.

Perjalanan Menuntut Ilmu dan Penerangan Siluet seorang musafir membawa obor (simbol ilmu) di sepanjang jalan menuju sebuah kota (simbol masyarakat). Tholabul Ilmi Kaum/Masyarakat

VI. Prioritas dan Keseimbangan Fiqih al-Awlawiyyat

Ayat 122 adalah dasar utama bagi Fiqih al-Awlawiyyat (Fiqih Prioritas) dalam Islam. Ayat ini mengajarkan umat Muslim bahwa tidak semua kebaikan harus dilakukan secara bersamaan oleh semua orang, dan bahwa memprioritaskan fungsi sangatlah penting untuk kelangsungan umat.

Prioritas Ilmu di Atas Aksi Kolektif

Dalam kondisi umum, perintah jihad adalah fardhu kifayah. Namun, jika musuh menyerang dan perintah jihad menjadi fardhu ‘ain (wajib bagi semua), maka para ulama berbeda pendapat mengenai status keberangkatan mencari ilmu.

Mayoritas ulama kontemporer dan klasik berpendapat bahwa selama masih ada kelompok yang mampu melaksanakan jihad fardhu ‘ain, kewajiban untuk mempertahankan Thaa’ifah (golongan ahli ilmu) tetap berlaku. Kenapa? Karena hilangnya ilmu agama yang mendalam (Tafaqquh) akan menyebabkan kehancuran spiritual yang lebih permanen daripada kekalahan militer sementara. Kekuatan militer bisa dibangun kembali, tetapi hilangnya mata rantai keilmuan dapat memutus hubungan umat dengan sumber syariat yang otentik. Oleh karena itu, menjaga pilar ilmu adalah prioritas strategis jangka panjang.

Spesialisasi sebagai Fondasi Kemajuan

Ayat ini juga memberikan legalitas Syar'i terhadap spesialisasi. Dalam masyarakat yang ideal, harus ada pembagian peran yang jelas: ahli militer, ahli politik, ahli ekonomi, dan yang terpenting, ahli agama (ulama/fuqaha). Para ulama adalah "penjaga gerbang" syariat yang memastikan bahwa semua spesialisasi lain tetap berada dalam koridor hukum Allah. Tanpa spesialisasi yang mendalam (Tafaqquh), umat akan mudah terombang-ambing oleh pemikiran-pemikiran asing atau interpretasi yang dangkal.

Keterkaitan dengan Kematian Ulama

Prinsip dalam ayat 122 diperkuat oleh Hadits Nabi ﷺ yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari dada manusia, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mencabut (mewafatkan) para ulama. Hingga ketika tidak tersisa seorang ulama pun, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dan Muslim). Ayat 122 adalah perintah preventif untuk memastikan bahwa fenomena hilangnya ilmu melalui wafatnya ulama tidak terjadi, dengan cara memastikan regenerasi Thaa’ifah (golongan ahli ilmu) secara terus menerus.

VII. Relevansi Kontemporer At-Taubah 122 dalam Dunia Modern

Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan perjalanan fisik, maknanya tetap abadi dan relevan bagi umat Islam di era globalisasi dan informasi. Perintah Nafiru (berangkat) untuk Tafaqquh (mendalami) dapat diterjemahkan ke dalam konteks modern sebagai berikut:

1. Keharusan Lembaga Pendidikan Tinggi Agama

Ayat ini membenarkan dan mewajibkan pendirian institusi pendidikan Islam tingkat tinggi (universitas Islam, madrasah aliya, ma’had tafaqquh) yang berfungsi sebagai pusat untuk menghasilkan spesialis agama. Keberadaan institusi ini adalah wujud nyata pelaksanaan Fardhu Kifayah. Para pelajar yang memasuki institusi ini dianggap sedang melaksanakan ‘jihad’ dalam bentuk pencarian ilmu.

2. Jihad Intelektual dan Respon terhadap Tantangan Ideologis

Jihad di masa modern tidak selalu berbentuk pertempuran fisik; seringkali ia berbentuk perang ideologi, tantangan sekularisme, relativisme, dan Islamofobia. Thaa’ifah yang kembali (ulama modern) memiliki tugas Al-Indzar untuk memperingatkan umat dari bahaya ideologi yang bertentangan dengan Syariat. Hal ini menuntut para ulama tidak hanya menguasai ilmu klasik, tetapi juga ilmu kontemporer (sosial, ekonomi, politik) agar dapat menyampaikan peringatan dengan bahasa yang dipahami dan relevan.

Perluasan makna Tafaqquh di masa kini mencakup kemampuan untuk melakukan ijtihad dalam isu-isu baru, seperti bioetika Islam, keuangan syariah global, dan etika teknologi. Tanpa spesialisasi ini, umat akan kehilangan kompas dalam menghadapi perubahan dunia yang sangat cepat.

3. Mobilitas Ilmu dan Dakwah Regional

Konsep Nafiru (berangkat) tetap relevan dalam arti fisik. Pelajar dari daerah terpencil atau minoritas diwajibkan untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat ilmu (seperti Al-Azhar, Madinah, atau pesantren-pesantren besar di Indonesia) dan kemudian kembali (raja'uu ilayhim) ke komunitas asal mereka yang lebih membutuhkan bimbingan.

Kegagalan komunitas untuk mengirimkan kelompok spesialis ini seringkali menghasilkan kekosongan spiritual, di mana masyarakat akhirnya dipimpin oleh tokoh agama yang ilmunya terbatas, sehingga dakwah yang disampaikan pun menjadi dangkal atau ekstrem.

VIII. Keseimbangan Antara Ilmu dan Amal: Mengurai Dua Jenis Pengorbanan

Surah At-Taubah 122 mengajarkan bahwa pengorbanan terbagi menjadi dua jalur utama, dan keduanya saling melengkapi, bukan bersaing:

1. Pengorbanan Fisik dan Material (Jihad)

Ini adalah pengorbanan yang dilakukan oleh mereka yang pergi berperang, mempertaruhkan nyawa dan harta demi mempertahankan eksistensi fisik umat dan wilayahnya. Pengorbanan ini menghasilkan keamanan teritorial dan kebebasan beribadah.

2. Pengorbanan Intelektual dan Waktu (Tafaqquh)

Ini adalah pengorbanan yang dilakukan oleh mereka yang meninggalkan keluarga dan harta untuk waktu yang lama, menghadapi kesulitan perjalanan, kesulitan belajar, dan risiko lupa atau kesesatan, demi memperoleh ilmu yang dalam. Pengorbanan ini menghasilkan keamanan ideologis, spiritual, dan hukum bagi seluruh umat.

Dalam pandangan Syariat, keberadaan para ulama yang mendalam ilmunya adalah prasyarat bagi sahnya jihad itu sendiri, karena jihad harus dilakukan sesuai tuntunan hukum dan etika Islam yang hanya dapat dipahami secara mendalam melalui Tafaqquh. Dengan demikian, ayat ini tidak memberikan pilihan antara ilmu atau jihad, melainkan mewajibkan koeksistensi keduanya dalam sebuah sistem yang terintegrasi.

IX. Menghindari Bahaya Ekstremitas

Prinsip keseimbangan dalam At-Taubah 122 berfungsi sebagai pengaman terhadap dua bentuk ekstremitas yang mungkin muncul dalam masyarakat Muslim:

1. Ekstremitas Aksi Tanpa Ilmu

Jika semua kaum Mukminin pergi berperang (aksi) tanpa menyisakan ahli ilmu, maka tindakan yang mereka lakukan berpotensi melanggar Syariat, menjadi brutal, atau kehilangan arah. Ketaatan tanpa pemahaman mendalam seringkali mengarah pada kekakuan, fanatisme, dan salah sasaran. Ayat ini mencegah terbentuknya masyarakat yang kuat secara fisik tetapi rapuh secara intelektual.

2. Ekstremitas Ilmu Tanpa Tanggung Jawab Sosial

Jika sekelompok orang pergi untuk mencari ilmu (tafaqquh) tetapi gagal untuk kembali dan menyampaikan peringatan (al-indzar) kepada kaumnya, maka ilmu tersebut menjadi steril dan tidak bermanfaat bagi masyarakat luas. Ulama yang mengisolasi diri dari urusan umat telah melanggar perintah ‘kembali dan memperingatkan’ yang merupakan bagian integral dari kewajiban mereka. Ilmu yang benar harus menghasilkan dampak sosial dan moral.

Oleh karena itu, ayat 122 adalah cetak biru untuk menciptakan masyarakat Muslim yang moderat (pertengahan), di mana kekuatan militer diimbangi oleh kedalaman spiritual dan intelektual, dan di mana setiap anggota, melalui spesialisasinya, berkontribusi pada kesempurnaan keseluruhan bangunan umat.

X. Penguatan Konsep Indzar Melalui Dalil Lain

Perintah untuk memberi peringatan (Indzar) yang merupakan hasil dari Tafaqquh diperkuat oleh banyak ayat Al-Qur'an lain yang menekankan pentingnya dakwah, bimbingan, dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

1. Konsep Ummah Khayr (Umat Terbaik)

Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 104:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ayat ini menekankan pentingnya adanya ‘segolongan umat’ (ummah atau thaa'ifah dalam konteks At-Taubah 122) yang mendedikasikan diri untuk fungsi dakwah dan pengawasan moral. Mereka yang menyeru kepada kebaikan harus memiliki pengetahuan mendalam (Tafaqquh) untuk dapat membedakan mana yang ma'ruf dan mana yang munkar secara syar'i, yang menjadi prasyarat bagi pelaksanaan Al-Indzar.

2. Kewajiban Menyampaikan Ilmu

Para ulama juga merujuk pada ayat-ayat yang mengutuk orang-orang yang menyembunyikan ilmu. Setelah para Thaa’ifah telah berkorban untuk mencari ilmu, menjadi kewajiban mutlak bagi mereka untuk menyampaikannya. Jika mereka menimbun ilmu tersebut dan tidak melaksanakan Al-Indzar, maka mereka jatuh ke dalam kategori yang dikritik keras oleh Al-Qur'an.

Keseluruhan pesan dari Surah At-Taubah ayat 122 adalah bahwa keberhasilan umat Islam diukur bukan hanya dari jumlah kemenangan militer yang dicapai, tetapi juga dari tingkat kemapanan keilmuan dan kedalaman pemahaman agamanya. Umat yang berilmu adalah umat yang sadar, berhati-hati, dan mampu menjaga dirinya (yahdzaruun) dari kesesatan, baik di masa damai maupun di masa perang. Prinsip ini memastikan bahwa warisan kenabian—ilmu—akan selalu berlanjut dari generasi ke generasi melalui pengorbanan sekelompok orang yang berani melakukan Nafiru menuju cahaya ilmu.

Tugas Tafaqquh fid Din (mendalami agama) adalah salah satu tugas termulia dan terpenting yang diwajibkan oleh Syariat Islam. Ia adalah pondasi bagi keadilan, moralitas, dan keberlangsungan umat. Oleh karena itu, setiap komunitas Muslim harus secara sadar mengalokasikan sumber daya terbaiknya, baik manusia maupun finansial, untuk memastikan bahwa Thaa’ifah (golongan ahli ilmu) selalu ada, berilmu, dan siap untuk kembali melaksanakan tugas Al-Indzar (peringatan) demi keselamatan spiritual kaum mereka.

XI. Pembedahan Mendalam Mengenai Konsep Tholabul Ilmi dalam Perspektif Ayat 122

Pencarian ilmu (Tholabul Ilmi) yang digariskan dalam ayat ini bukanlah sekadar hobi atau kegiatan sampingan, melainkan sebuah kewajiban komunal yang struktural. Ia memerlukan komitmen penuh, perencanaan strategis, dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Fokus pada ‘Tafaqquh’ (pemahaman mendalam) menolak anggapan bahwa pengetahuan agama dapat diperoleh secara instan atau melalui metode pembelajaran yang dangkal.

1. Syarat-Syarat Tafaqquh yang Dituntut Ayat

Untuk mencapai tingkat Tafaqquh yang dikehendaki oleh ayat ini, seorang pelajar harus menguasai serangkaian disiplin ilmu yang dikenal sebagai Ulum Syar’iyyah:

Kepergian (Nafiru) yang disebutkan dalam ayat ini adalah perjalanan yang bertujuan untuk menguasai fondasi-fondasi keilmuan ini, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, menuntut kesabaran yang luar biasa, setara dengan kesabaran seorang mujahid di medan pertempuran.

2. Ilmu Sebagai Benteng Kekuatan Umat

Di masa-masa awal Islam, pusat-pusat ilmu seperti Madinah, Kufah, Basrah, dan kemudian Baghdad, Kairo, dan Cordoba, menjadi magnet bagi mereka yang melaksanakan perintah Nafiru dalam ayat 122. Mereka yang kembali dari pusat-pusat ilmu ini membawa bukan hanya pengetahuan teoretis, tetapi juga semangat pembaharuan dan kemampuan untuk memimpin masyarakat secara spiritual.

Ilmu adalah benteng pertahanan umat dari internal maupun eksternal. Secara internal, ilmu mencegah perpecahan akibat bid’ah dan taklid buta. Secara eksternal, ilmu memungkinkan umat untuk menghadapi kritik, tantangan, dan upaya dekonstruksi Syariat oleh musuh-musuh Islam. Tanpa ilmu yang mendalam, ketaatan menjadi rapuh dan mudah digoyahkan oleh keraguan (syubhat) atau hawa nafsu (syahwat).

XII. Tafaqquh: Bukan Hanya Fiqih Hukum Praktis

Meskipun kata *Fiqh* sering kali disamakan dengan hukum praktis (ibadah dan muamalah), konteks Tafaqquh fid-Din (mendalami agama) dalam ayat 122 mencakup lingkup yang jauh lebih luas.

1. Integrasi Aqidah, Syariah, dan Akhlak

Tafaqquh yang sejati harus mencakup tiga dimensi utama agama:

Para Thaa’ifah yang kembali harus menjadi teladan sempurna dari integrasi ketiga dimensi ini, karena peringatan (Al-Indzar) mereka tidak akan efektif jika disampaikan tanpa keindahan akhlak dan kekokohan akidah.

2. Menjaga Kontinuitas Silsilah Keilmuan

Perintah Nafiru dan Raja’uu (pergi dan kembali) dalam ayat 122 secara tidak langsung mewajibkan adanya silsilah keilmuan (sanad) yang terpercaya. Mereka yang pergi belajar harus belajar dari guru-guru yang sanadnya bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini memastikan bahwa ilmu yang disampaikan kembali kepada kaumnya adalah ilmu yang murni dan otentik, bukan hasil spekulasi atau interpretasi pribadi yang sesat. Penjagaan sanad ini adalah bagian penting dari tugas kolektif Fardhu Kifayah yang diemban oleh Thaa’ifah.

XIII. Konsekuensi Mengabaikan Perintah At-Taubah 122

Sejarah umat Islam memberikan banyak contoh tentang konsekuensi yang timbul ketika perintah ilahi dalam ayat 122 ini diabaikan, baik karena fokus berlebihan pada aksi fisik (jihad) maupun karena keasyikan terhadap ilmu duniawi.

1. Kekeringan Spiritual dan Moralnya

Ketika sebagian besar energi masyarakat difokuskan hanya pada aspek material atau militer, dan tidak ada kelompok yang mendedikasikan diri untuk Tafaqquh, hasilnya adalah kekeringan spiritual. Para pemimpin yang muncul mungkin kuat, tetapi mereka tidak memiliki basis Syariah yang memadai untuk menerapkan keadilan. Kekosongan ini sering diisi oleh pemahaman agama yang dangkal, yang mudah dihasut untuk melakukan tindakan ekstrem tanpa panduan Syar'i yang benar.

2. Munculnya Fatwa yang Menyimpang

Apabila tidak ada Thaa’ifah yang kompeten, masyarakat akan dipimpin oleh orang-orang yang tidak ahli, yang kemudian mengeluarkan fatwa berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan sesaat. Fenomena ini persis seperti yang diperingatkan oleh Nabi ﷺ (mengenai diangkatnya pemimpin bodoh). Fatwa yang menyimpang ini akan membawa umat kepada kesesatan dan perpecahan mazhab yang tidak perlu, merusak persatuan yang telah dibangun melalui jihad dan dakwah.

Oleh karena itu, kewajiban yang diturunkan dalam ayat 122 adalah sebuah mekanisme perlindungan ilahi. Perlindungan ini memastikan bahwa umat tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang berdasarkan fondasi kebenaran abadi. Kekuatan umat bukanlah terletak pada jumlah tentara atau kekayaan harta benda semata, tetapi pada kualitas para ulama yang mendalami agama dan siap untuk memperingatkan kaumnya.

XIV. Penutup: Implementasi Abadi Keseimbangan Ilmiah

Surah At-Taubah ayat 122 merupakan salah satu ayat emas dalam Al-Qur'an yang mendefinisikan arsitektur ideal komunitas Muslim. Ayat ini merumuskan prinsip spesialisasi yang bertanggung jawab. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap kondisi—damai, perang, kemakmuran, atau kesulitan—kewajiban mendasar umat adalah menjaga dan memperdalam sumber hukum ilahi (Tafaqquh) dan memastikan bahwa ilmu tersebut diteruskan kembali kepada masyarakat melalui peringatan (Al-Indzar).

Perintah Nafiru (berangkat) untuk ilmu dan Raja’uu (kembali) untuk peringatan adalah sebuah siklus abadi yang menjamin kesinambungan risalah kenabian. Tugas ini menuntut pengorbanan yang besar, tetapi pahalanya pun setara dengan jihad di medan tempur. Bagi setiap Muslim yang membaca ayat ini, terdapat panggilan untuk merenung: jika saya bukan bagian dari Thaa’ifah yang pergi mencari ilmu, apakah saya telah memenuhi kewajiban saya dalam mendukung, membiayai, dan menghormati mereka yang melaksanakannya, serta bersedia menerima peringatan mereka saat mereka kembali? Keseimbangan dalam Surah At-Taubah 122 adalah kunci bagi kebangkitan umat, baik secara spiritual, intelektual, maupun fisik.

🏠 Homepage