Kritikan Tegas Surah At-Taubah Ayat 30: Membongkar Akar Penyimpangan Akidah

نور التوحيد UZAIR ISA Penyimpangan Akidah

Ilustrasi Tauhid dan Penolakan Ghuluw (Pengkultusan) terhadap Nabi-Nabi.

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakteristik yang unik karena tidak diawali dengan Basmalah. Surah ini diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah ﷺ, membawa serangkaian penetapan hukum, pernyataan perang terhadap kesyirikan, dan pembersihan akidah dari segala bentuk kekotoran. Di antara ayat-ayatnya yang paling tegas dan fundamental dalam menetapkan tauhid adalah Ayat 30, sebuah kritik langsung dan mendalam terhadap penyimpangan akidah yang dilakukan oleh sebagian pengikut Yahudi dan Nasrani.

Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan pondasi teologis yang menegaskan bahwa ghuluw (berlebihan dalam memuliakan) para nabi dan orang saleh adalah jalan yang pasti menuju syirik. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini memerlukan tinjauan historis, linguistik, dan komparatif dari berbagai tafsir klasik dan kontemporer. Tujuan utamanya adalah membersihkan keyakinan umat Islam dari segala bentuk kesamaan dengan kesesatan yang telah diperingatkan oleh Allah SWT.

Teks dan Terjemahan Surah At-Taubah Ayat 30

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan orang-orang Yahudi berkata, "Uzair putra Allah," dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih putra Allah." Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Semoga Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah 9:30)

I. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) dan Konteks Historis

Surah At-Taubah diturunkan sekitar tahun ke-9 Hijriyah, pada masa-masa ekspansi Islam mencapai puncak kekuatannya di Jazirah Arab. Ayat ini merupakan bagian dari serangkaian ayat (Ayat 28-35) yang membahas hubungan umat Islam dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), terutama setelah Perang Tabuk. Meskipun Perang Tabuk utamanya ditujukan terhadap Bizantium (Romawi), ayat-ayat ini berfungsi untuk menetapkan batas-batas teologis yang jelas.

A. Pengkultusan Uzair oleh Yahudi

Kritik Al-Qur'an terhadap klaim Yahudi bahwa Uzair (Ezra) adalah putra Allah seringkali membingungkan bagi pembaca Barat, karena keyakinan ini tidak universal di kalangan Yahudi kontemporer. Namun, para mufassir klasik seperti Ibn Kathir dan Al-Qurtubi menjelaskan bahwa klaim ini dipegang oleh faksi atau sekte tertentu dalam komunitas Yahudi pada masa Rasulullah ﷺ.

Menurut riwayat tafsir, Uzair adalah seorang tokoh besar setelah kehancuran Yerusalem dan hilangnya Taurat. Ia dianggap sebagai penyelamat spiritual karena konon dialah yang menulis kembali Taurat setelah musnah. Penghargaan yang sangat tinggi ini, dalam beberapa kelompok, meningkat menjadi pengkultusan yang menyamakan statusnya dengan ketuhanan atau setidaknya keturunan ilahi. Al-Qur'an menangkap dan mengkritik ekstremisme teologis ini, menunjukkan bahwa penyimpangan dalam akidah seringkali berawal dari penghormatan yang melampaui batas terhadap figur agama.

Penting untuk ditekankan bahwa Al-Qur'an tidak mengklaim semua Yahudi pada masa itu mempercayai ini, melainkan menyoroti bahwa sebagian dari mereka (menggunakan bentuk qaalati al-yahūdu) telah jatuh ke dalam kesyirikan yang fatal ini.

Konteks historis mengenai Uzair semakin diperjelas ketika kita melihat tradisi lisan dan tulisan di kalangan Yahudi pada masa sebelum dan selama era Islam. Meskipun keyakinan "Uzair putra Allah" tidak dominan dalam Yudaisme Rabinik yang kemudian menjadi arus utama, hal itu sangat mungkin eksis di kalangan sekte-sekte yang tersebar di wilayah Jazirah Arab, khususnya di Yaman dan Hijaz. Peneliti Al-Qur'an menekankan bahwa Al-Qur'an berbicara kepada audiens yang spesifik dan mengoreksi keyakinan yang ada di lingkungan tersebut.

Elevasi status Uzair dari sekadar nabi atau penulis Taurat menjadi "putra Allah" menunjukkan pola penyimpangan yang sama: mengagungkan makhluk hingga level yang hanya pantas bagi Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari peringatan yang disajikan dalam Surah At-Taubah Ayat 30. Kritik ini menjadi fundamental dalam menetapkan prinsip tauhid Islam, yaitu penolakan mutlak terhadap segala bentuk penuhanan atau penyekutuan dalam entitas Allah SWT.

B. Pengkultusan Al-Masih oleh Nasrani

Kritik terhadap Nasrani lebih luas dan universal. Ayat ini merujuk pada keyakinan bahwa Al-Masih (Isa a.s.) adalah putra Allah. Klaim ini merupakan inti dari doktrin Trinitas yang berkembang di kalangan Nasrani pasca-kenabian Isa.

Bagi Islam, Isa a.s. adalah seorang nabi dan rasul yang mulia, yang dilahirkan secara ajaib, namun ia adalah hamba Allah (Abdullah). Penuhanan Isa dianggap sebagai kesyirikan yang nyata (disebutkan secara rinci dalam ayat-ayat selanjutnya, seperti At-Taubah 31). Ayat 30 menyandingkan kedua keyakinan ini—Yahudi dan Nasrani—untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka seringkali saling berlawanan, keduanya sepakat dalam satu hal: menyimpang dari tauhid murni dengan memberikan gelar ketuhanan atau kekeluargaan kepada Allah SWT.

Penyandingan kedua kelompok ini sangat retoris. Pesannya adalah: jika umat terdahulu (Ahli Kitab) yang menerima wahyu pun bisa jatuh ke dalam kesesatan ini, maka umat Islam harus ekstra waspada terhadap bahaya ekstremisme teologis (ghuluw).

II. Analisis Linguistik Mendalam Ayat 30

Pemahaman akan struktur bahasa Arab ayat ini mengungkap kekuatan dan ketegasan pesan yang disampaikan oleh Allah SWT.

A. "Ibnu Allāh" (ابْنُ اللَّهِ)

Frase ini, "putra Allah," adalah inti dari kesyirikan yang dikritik. Dalam bahasa Arab, kata 'Ibn' (putra) menyiratkan hubungan darah atau keturunan, sesuatu yang secara mutlak ditolak dalam konsep tauhid. Allah SWT dalam Surah Al-Ikhlas telah menegaskan, "Lam yalid wa lam yūlad" (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan). Penggunaan 'Ibnullah' oleh Yahudi dan Nasrani disandingkan sebagai dua bentuk kesesatan yang sama-sama merusak kemurnian ilahiah.

B. "Dzālika Qawluhum bi Afwāhihim" (ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ)

Terjemahan harfiahnya: "Itu adalah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka." Ayat ini memberikan penekanan luar biasa. Mengapa Allah perlu menyebutkan "dengan mulut mereka"?

C. "Yuḍāhi’ūna Qawlal-ladhīna Kafarū Min Qabl" (يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ)

Ini adalah kunci teologis dari ayat tersebut. Kata Yuḍāhi’ūna berasal dari akar kata yang berarti 'menyerupai' atau 'meniru'. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa keyakinan Ahli Kitab ini menyerupai perkataan orang-orang kafir yang terdahulu (generasi sebelumnya).

Siapakah "orang-orang kafir yang terdahulu" ini?

  1. Musyrikin Arab: Mereka yang percaya bahwa malaikat adalah putri-putri Allah (seperti yang dikritik dalam Surah An-Najm).
  2. Peradaban Kuno: Peradaban pagan (Yunani, Romawi, Mesir) yang memiliki dewa-dewa yang beranak-pinak atau dewa yang memiliki keturunan ilahi (semi-dewa).

Pesan di sini sangat jelas: Keyakinan Ahli Kitab, yang seharusnya membawa cahaya wahyu, telah merosot ke level paganisme kuno. Mereka yang mengaku mengikuti Ibrahim, Musa, dan Isa, ternyata mengadopsi pola pikir yang sama dengan para penyembah berhala yang mereka tentang. Ini menunjukkan universalitas bahaya syirik yang dapat menjangkiti siapa pun, tanpa memandang warisan kitab suci mereka.

Penyandingan ini berfungsi sebagai teguran tajam, menempatkan Ahli Kitab yang menyimpang setara dengan orang-orang musyrik yang paling primitif dalam hal esensi akidah mereka, yaitu melanggar keesaan Allah. Mereka telah menukar kemuliaan tauhid dengan mitos-mitos ketuhanan yang beranak, sebuah penyimpangan fundamental dari pesan asli semua nabi.

D. "Qātalahumullāhu" (قَاتَلَهُمُ اللَّهُ)

Frase ini diterjemahkan sebagai "Semoga Allah melaknat mereka" atau "Semoga Allah memerangi mereka." Ini adalah salah satu bentuk kutukan dan kecaman terkeras dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan tingkat kemurkaan ilahi terhadap penyimpangan akidah yang begitu parah.

E. "Annā Yu’fakūn" (أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ)

"Bagaimana mereka sampai berpaling/tertipu?" Kata Yu’fakūn berarti 'berpaling dari kebenaran' atau 'tertipu'. Ini adalah pertanyaan retoris yang mengekspresikan keheranan atas betapa mudahnya manusia yang telah diberikan bimbingan (wahyu) bisa berpaling kepada kebatilan yang nyata, mengikuti hawa nafsu dan tradisi yang menyimpang. Keheranan ini menekankan bahwa kebenaran (tauhid) begitu jelas, namun mereka memilih jalan yang bengkok.

III. Tafsir Klasik: Pandangan Para Mufassir Terkemuka

Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi mendalam terhadap ayat ini, yang semuanya menekankan pada urgensi pemurnian tauhid.

A. Tafsir Ibnu Katsir

Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menekankan konteks historis Uzair. Ia meriwayatkan hadis yang menyebutkan perdebatan antara Rasulullah ﷺ dan beberapa tokoh Yahudi yang datang ke Madinah. Mereka mengklaim pengkultusan Uzair, dan Ibn Katsir menguatkan bahwa klaim ini benar-benar eksis, bahkan jika tidak diakui oleh semua sekte Yahudi. Fokus utamanya adalah pada penolakan keras terhadap gagasan bahwa Allah memiliki anak atau sekutu. Ia menyimpulkan bahwa pengkultusan ini timbul dari rasa hormat yang berlebihan terhadap Uzair setelah ia memainkan peran penting dalam pemulihan Taurat.

Ibn Katsir juga menyoroti persamaan antara kekafiran kuno dan kekafiran Ahli Kitab yang menyimpang. Baginya, penyebutan "Yuḍāhi’ūna Qawlal-ladhīna Kafarū Min Qabl" adalah peringatan keras bahwa meskipun Ahli Kitab mengklaim memiliki kitab suci, mereka pada dasarnya mengulangi kesalahan mitologis para pagan. Mereka telah menyerap elemen-elemen dari kepercayaan sekitar mereka, merusak doktrin tauhid yang murni. Poin ini menjadi vital untuk memahami mengapa Islam harus bersikap tegas dan memisahkan diri sepenuhnya dari penyimpangan-penyimpangan tersebut, bahkan jika penyimpangan itu datang dari penganut monoteisme.

B. Tafsir Al-Qurtubi

Imam Al-Qurtubi membahas secara ekstensif siapa saja yang dimaksud dengan Yahudi yang membuat klaim Uzair tersebut. Ia menyebutkan riwayat dari Mujahid yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah sebagian kecil Yahudi di Yaman. Al-Qurtubi menggunakan ayat ini untuk memperkuat prinsip Tanzih (menjauhkan Allah dari segala kekurangan), menegaskan mustahilnya Allah memiliki keturunan, karena keturunan adalah sifat makhluk yang terbatas.

Al-Qurtubi juga memberikan perhatian khusus pada frase "Qātalahumullāhu" (Semoga Allah melaknat mereka). Menurutnya, ini adalah kecaman yang paling berat yang menunjukkan bahwa penyimpangan akidah adalah dosa yang tidak termaafkan tanpa tobat, karena ia merusak inti dari hubungan antara Pencipta dan makhluk. Kecaman ini tidak hanya berlaku untuk masa lalu, tetapi juga menjadi peringatan abadi bagi siapa pun yang mencoba menyekutukan Allah.

C. Tafsir Fakhruddin Ar-Razi (Mafatih al-Ghaib)

Imam Ar-Razi, dengan pendekatan rasionalis dan filosofisnya, membahas mengapa klaim putra Allah itu mustahil dari sudut pandang logika. Ar-Razi menjelaskan bahwa keputraan menyiratkan kebutuhan fisik (perkawinan, reproduksi), kebutuhan akan bantuan, dan batasan temporal—semua hal yang bertentangan dengan sifat wajib Allah (Al-Wajib Al-Wujud/Eksistensi yang Wajib).

Ia juga memperluas makna "Yuḍāhi’ūna," menjelaskan bahwa peniruan ini bukan hanya pada konten, tetapi juga pada metode: yaitu, menciptakan doktrin atas dasar hawa nafsu dan kesombongan, bukan atas dasar bukti. Pengkultusan Isa dan Uzair, menurut Ar-Razi, adalah produk dari ketidakmampuan akal untuk menerima kesederhanaan tauhid murni, sehingga mereka mencari entitas perantara atau tuhan yang lebih familiar (antropomorfisme).

Ar-Razi menyimpulkan bahwa dua klaim yang berbeda (Uzair dan Isa) disatukan dalam satu ayat karena keduanya memiliki akar kebatilan yang sama: mengklaim keturunan bagi Allah. Ini adalah penyimpangan yang paling berbahaya karena meruntuhkan konsep ketuhanan yang maha sempurna.

IV. Implikasi Teologis dan Prinsip Tauhid

Surah At-Taubah Ayat 30 adalah salah satu ayat terkuat dalam menegakkan Tauhid Uluhiyyah (keesaan Allah dalam peribadatan) dan Tauhid Rububiyyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan).

A. Penolakan Mutlak terhadap Keputraan Ilahi

Inti dari kritik ini adalah penolakan total terhadap ide bahwa Allah memiliki keturunan. Dalam teologi Islam, Allah adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa), tidak membutuhkan apa pun, dan berbeda dari makhluk-Nya. Jika Allah memiliki anak, itu berarti:

  1. Dia memerlukan pasangan (yang bertentangan dengan kemandirian-Nya).
  2. Dia terbatas oleh waktu dan ruang (karena anak hanya muncul pada titik waktu tertentu).
  3. Anak tersebut mewarisi sebagian sifat ilahi, sehingga melanggar keesaan Allah.

Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Uzair dan Isa adalah figur suci yang dihormati, memuliakan mereka hingga tingkat yang melampaui batas hamba adalah bentuk syirik akbar (kesyirikan besar).

B. Bahaya Ghuluw (Ekstremisme) dan Taklid Buta

Ayat ini memberikan pelajaran penting tentang bahaya Ghuluw—sikap berlebihan dalam agama, khususnya dalam memuja figur suci. Keyakinan Uzair adalah akibat dari ghuluw terhadap seorang ulama besar; keyakinan Isa adalah ghuluw terhadap seorang nabi mulia. Ghuluw selalu menjadi pintu gerbang menuju syirik.

Frase "Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka" juga mengkritik taklid buta. Ketika suatu keyakinan hanya didasarkan pada perkataan tradisi atau pemimpin, tanpa dasar wahyu atau akal, ia menjadi rapuh dan rentan terhadap penyimpangan. Ahli Kitab dalam ayat ini dituduh hanya meneruskan perkataan nenek moyang mereka tanpa menguji kebenarannya berdasarkan kitab suci yang mereka miliki.

Ghuluw, dalam konteks yang lebih luas, mengajarkan umat Islam untuk berhati-hati dalam memuliakan para syekh, wali, atau imam. Batasan pemuliaan harus selalu pada level penghambaan kepada Allah semata. Nabi Muhammad ﷺ sendiri memperingatkan, "Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya." Ayat 30 At-Taubah adalah fondasi Qur'ani dari peringatan Nabawi ini.

C. Kesamaan Pola Kesesatan

Penyebutan "mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu" adalah pelajaran sejarah teologis. Ini menunjukkan bahwa kesesatan memiliki pola yang berulang. Kepercayaan pagan yang primitif selalu berusaha membagi ketuhanan menjadi entitas yang lebih kecil atau menciptakan perantara yang ilahi. Ketika Ahli Kitab mengadopsi konsep anak Tuhan, mereka tidak menciptakan sesuatu yang baru; mereka hanya mewarnai pola pagan kuno dengan nama-nama baru (Uzair, Al-Masih).

Ini menjadi cermin bagi umat Islam: jika kita mengadopsi praktik atau keyakinan yang mirip dengan ritual syirik, meskipun dengan niat memuliakan Allah, kita berisiko jatuh ke dalam pola kesesatan yang sama persis dengan yang dialami oleh umat terdahulu.

Pola kesesatan ini adalah manifestasi dari kecenderungan manusia untuk mengantropomorfisasi Tuhan, yaitu memberikan sifat-sifat fisik atau relasional manusia kepada Tuhan. Konsep "putra Allah" memberikan entitas ilahi yang dapat dihubungkan secara emosional atau dimengerti dalam kerangka keluarga, yang bertentangan dengan transendensi (kesempurnaan dan kemahatinggian) Allah. Islam melalui Ayat 30 secara radikal memotong semua kemungkinan antropomorfisme, menegaskan bahwa Allah adalah entitas yang tidak menyerupai apapun dalam penciptaan-Nya.

V. Elaborasi Lanjut Tafsir Kontemporer dan Penerapan Ayat

Mufassir kontemporer memperluas makna Ayat 30 melampaui konteks historis, menjadikannya relevan untuk isu-isu akidah modern.

A. Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur'an)

Sayyid Qutb menafsirkan ayat ini sebagai manifesto kebebasan teologis. Ia melihat klaim putra Allah sebagai bentuk penindasan spiritual, karena menciptakan hirarki ilahi yang menghalangi akses langsung antara hamba dan Pencipta. Qutb sangat menekankan pada frase "ucapan yang keluar dari mulut mereka," menafsirkannya sebagai bentuk kebohongan yang disengaja atau setidaknya penyimpangan yang dipertahankan demi kepentingan politik atau sosial (misalnya, untuk menjaga popularitas figur agama).

Qutb juga menghubungkan ayat ini dengan perjuangan Islam untuk menegakkan kedaulatan Tuhan (Hakimiyyah). Ketika manusia memberikan sifat-sifat ilahi kepada makhluk (baik itu nabi, pemimpin, atau ideologi), mereka pada dasarnya merampas hak kedaulatan Allah. Oleh karena itu, Ayat 30 adalah seruan untuk membebaskan akal dan jiwa dari belenggu takhayul dan pengkultusan.

B. Al-Maraghi

Syaikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi fokus pada kelemahan argumentasi Ahli Kitab. Ia menyoroti bahwa klaim mereka mengenai keputraan Uzair dan Isa adalah klaim yang saling bertentangan secara internal di antara Ahli Kitab sendiri, dan mereka hanya mempertahankan klaim tersebut berdasarkan tradisi, bukan pada bukti. Al-Maraghi menekankan bahwa orang yang berakal seharusnya bertanya: Jika Allah memiliki anak, mengapa hanya Uzair dan Isa yang terpilih? Dan mengapa klaim ini tidak didukung oleh nabi-nabi sebelumnya secara eksplisit? Ketidaksesuaian ini membuktikan bahwa itu hanyalah "perkataan lisan."

C. Penolakan Rasionalis Kontemporer

Dalam konteks modern, Ayat 30 menjadi landasan bagi penolakan terhadap sinkretisme (pencampuran agama) yang berusaha menyamakan status ketuhanan Isa dalam Islam dan Nasrani. Ayat ini secara tegas memisahkan jalur akidah, menegaskan bahwa kemuliaan Isa a.s. sebagai nabi tidak boleh dikacaukan dengan penuhanan yang dikritik oleh Al-Qur'an.

Ayat ini juga relevan dalam menghadapi kecenderungan modern untuk mengkultuskan tokoh politik, pemimpin spiritual, atau bahkan ilmuwan, dengan memberikan mereka atribut-atribut yang mendekati kesempurnaan atau infalibilitas ilahi. Meskipun bukan secara harfiah "putra Allah," segala bentuk idolatry (penyembahan berhala modern) yang muncul dari ghuluw spiritual atau emosional dapat ditelusuri akar kebatilannya kembali ke peringatan dalam At-Taubah 30: bahwa meletakkan makhluk pada tempat Sang Khaliq akan selalu berujung pada kesesatan.

VI. Analisis Mendalam tentang Konsep "Yu’fakūn" (Berpaling)

Penutup ayat, "Annā Yu’fakūn" (Bagaimana mereka sampai berpaling/tertipu?), membawa makna psikologis dan teologis yang mendalam mengenai mekanisme kesesatan.

A. Akar Penyebab Kebatilan

Kesesatan mereka tidak terjadi dalam ruang hampa. Mereka berpaling (Yu’fakūn) meskipun mereka telah memiliki Taurat dan Injil yang asli. Hal ini terjadi karena beberapa faktor:

  1. Kepentingan Ulama (Ahbar dan Ruhban): Seperti yang disiratkan dalam ayat-ayat berikutnya (At-Taubah 31), ulama dan rahib diangkat sebagai tuhan selain Allah. Mereka mengubah dan memanipulasi ajaran untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, dan para pengikut mereka menerima perkataan itu secara buta.
  2. Kesenangan dalam Mitos: Sederhananya tauhid seringkali dianggap "kering" oleh sebagian jiwa manusia. Mereka mencari cerita dan mitos (seperti kisah dewa berketurunan) yang lebih memuaskan imajinasi mereka, meskipun itu bertentangan dengan kebenaran yang rasional dan spiritual.
  3. Warisan Kebodohan: Kebatilan diwariskan dari generasi ke generasi. Keyakinan 'Uzair putra Allah' dan 'Isa putra Allah' telah mengakar kuat dalam tradisi, sehingga sulit bagi mereka untuk kembali kepada kebenaran murni tanpa perjuangan besar.

B. Peringatan bagi Umat Islam

Pertanyaan retoris "Annā Yu’fakūn" adalah pertanyaan yang ditujukan kepada umat Islam: Jika umat yang menerima wahyu bisa begitu mudah berpaling, bagaimana dengan kita? Ini mengajarkan umat Islam untuk selalu memelihara dua hal:

  1. Pemurnian Sumber: Selalu merujuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik, bukan pada taklid buta atau tradisi yang diragukan.
  2. Penggunaan Akal: Islam memerintahkan penggunaan akal untuk merenungkan ciptaan dan sifat-sifat Allah. Keyakinan tauhid adalah keyakinan yang paling logis; penuhanan makhluk adalah kebatilan yang paling tidak logis.

Maka, berpaling (Yu’fakūn) adalah hasil dari kombinasi kegagalan spiritual dan intelektual: kegagalan spiritual untuk tunduk sepenuhnya kepada keesaan Allah, dan kegagalan intelektual untuk membedakan antara kebenaran wahyu dan distorsi manusia. Ayat 30 ini adalah penolakan terhadap keduanya.

VII. Tafsir Ayat 30 dalam Kaitannya dengan Ayat 31

Untuk memahami kedalaman kritik dalam Ayat 30, kita harus melihatnya bersamaan dengan ayat berikutnya, Surah At-Taubah Ayat 31, yang menjelaskan bentuk syirik yang lebih halus di kalangan Ahli Kitab:

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka, sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At-Taubah 9:31)

Ayat 30 mengkritik syirik yang jelas (Putra Allah). Ayat 31 mengkritik syirik yang terselubung.

A. Korelasi Dua Bentuk Syirik

Ayat 30 berfokus pada syirik dalam keyakinan ( اعتقاد)—klaim metafisik yang salah. Ayat 31 berfokus pada syirik dalam perbuatan dan ketaatan (طاعة).

Ketika para Sahabat mendengar Ayat 31, mereka bingung, karena mereka tahu bahwa Ahli Kitab tidak sujud kepada rahib mereka. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa "mempertuhankan" di sini berarti: ketika rahib menghalalkan apa yang Allah haramkan, mereka mengikutinya; dan ketika rahib mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka mematuhinya. Ini adalah ketaatan mutlak yang hanya pantas bagi Allah SWT.

Hubungan antara 30 dan 31 adalah: Syirik dimulai dengan ghuluw terhadap individu (Uzair dan Isa), yang kemudian berkembang menjadi memberikan otoritas mutlak kepada para ulama dan pemimpin agama (rahib dan ahbar) untuk menentukan hukum, sehingga mencabut hak legislasi dari Allah semata. Kedua ayat ini bersama-sama melukiskan peta lengkap penyimpangan akidah Ahli Kitab: dari penuhanan figur hingga penuhanan hukum buatan manusia.

VIII. Memperluas Konteks Uzair dan Warisan Kebijaksanaan

Untuk memahami mengapa Uzair menjadi figur yang begitu diagungkan, kita perlu melihat latar belakang kehancuran Baitul Maqdis. Setelah penghancuran pertama dan kedua Yerusalem, dan pembuangan bangsa Yahudi ke Babilonia, Taurat hampir sepenuhnya hilang dari memori publik.

Ezra (Uzair dalam bahasa Arab) muncul sebagai tokoh sentral yang, menurut tradisi, memulihkan Taurat baik secara hafalan maupun tulisan. Perannya dalam merekonstruksi identitas dan ajaran agama yang hampir punah memberinya gelar yang sangat tinggi di mata umatnya. Ia tidak hanya dianggap sebagai nabi tetapi juga sebagai penyelamat hukum ilahi.

Justru karena kebesaran dan perannya yang krusial inilah, beberapa faksi Yahudi jatuh ke dalam ghuluw. Mereka berargumen, "Hukum Allah hilang, dan Uzairlah yang mengembalikannya. Tidak mungkin seorang manusia biasa bisa melakukan hal sebesar ini, ia pasti memiliki derajat ilahi atau merupakan anak dari Tuhan." Inilah logika terbalik yang dikritik oleh Al-Qur'an. Penghargaan yang seharusnya menjadi syukur atas karunia Allah melalui Uzair, berubah menjadi syirik terhadap Allah itu sendiri.

Kisah Uzair dalam Ayat 30 adalah pengingat abadi bahwa tidak peduli seberapa besar jasa seorang figur agama, statusnya harus tetap sebagai hamba Allah. Setiap kali seorang umat terlalu memuliakan sosok penyelamat atau pembaru (Mujaddid), potensi syirik yang sama akan muncul. Islam mencegah hal ini dengan menetapkan batasan yang jelas: penuhanan dan ketuhanan hanya milik Allah.

Sisi lain dari peniruan "perkataan orang-orang kafir yang terdahulu" (Yuḍāhi’ūna) adalah peniruan dalam cara berpikir. Orang-orang musyrik kuno menciptakan dewa berdasarkan apa yang mereka anggap paling kuat dan paling mulia (matahari, pahlawan). Ketika Yahudi menyimpang dengan mengklaim Uzair "putra Allah," mereka mengadopsi struktur berpikir pagan yang sama, menuhankan sumber kekuatan, bukan Sumber Kekuatan itu sendiri. Ini bukan hanya masalah nama, tetapi masalah metodologi teologis yang salah.

IX. Peringatan Universal dan Ibrah (Pelajaran) Utama

Ayat 30 Surah At-Taubah adalah fondasi teologis yang melampaui polemik historis antara Muslim, Yahudi, dan Nasrani. Ia menawarkan pelajaran universal bagi setiap Muslim.

A. Mempertahankan Kemurnian Tauhid

Pelajaran utama adalah kewajiban untuk menjaga tauhid dalam bentuknya yang paling murni, sebagaimana diturunkan kepada para nabi. Ini berarti menolak segala bentuk entitas perantara yang dikultuskan, menolak klaim bahwa Allah memiliki pasangan, anak, atau sekutu dalam pengaturan alam semesta (Rububiyyah) maupun dalam peribadatan (Uluhiyyah). Keyakinan harus didasarkan pada wahyu, bukan pada asumsi atau tradisi buta.

B. Waspada terhadap Kekuatan Lisan (Qawluhum bi Afwāhihim)

Kekuatan lisan dapat menciptakan realitas palsu jika tidak diimbangi oleh kebenaran. Ayat ini mengingatkan kita betapa berbahaya ujaran yang tidak berdasar. Di era informasi modern, ini dapat diartikan sebagai bahaya menerima informasi atau doktrin agama yang disebarkan hanya melalui lisan atau media tanpa verifikasi sumber (Al-Qur'an dan Sunnah). Kebatilan dimulai dari kata-kata yang dilemparkan tanpa bukti, meniru kebatilan generasi sebelumnya.

C. Bahaya Sinkretisme dan Asimilasi Budaya

Peringatan bahwa Ahli Kitab "meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu" adalah peringatan keras terhadap asimilasi teologis. Umat Islam harus waspada agar tidak mengadopsi praktik atau keyakinan dari budaya non-Islam yang bertentangan dengan prinsip tauhid (misalnya, kepercayaan pada jimat, ramalan, atau praktik kesyirikan yang dibungkus dengan istilah Islami). Asimilasi semacam itu adalah pengulangan pola kesesatan yang sama yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani.

D. Tafakur atas "Annā Yu’fakūn"

Kita harus senantiasa merenungkan: Mengapa kita bisa berpaling? Kesesatan bukanlah takdir melainkan pilihan. Berpaling dari tauhid terjadi ketika hati menjadi keras dan pikiran menolak bukti. Ayat ini menuntut setiap individu untuk secara aktif mempertahankan akalnya agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan yang konyol, yang bahkan ditertawakan oleh Allah: bagaimana mungkin orang yang berakal bisa tertipu oleh mitos-mitos yang telah usang?

Memahami inti dari Surah At-Taubah Ayat 30 adalah memahami esensi ajaran Islam yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan, baik perbudakan kepada berhala, perbudakan kepada pemimpin agama yang sesat, maupun perbudakan kepada konsep ilahi yang cacat dan tidak rasional. Dengan menolak tuhan-tuhan yang "beranak" dan "diperanakkan," Islam menegaskan bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang Maha Sempurna, Al-Ahad, yang tidak memerlukan apa pun dan kepada-Nyalah semua kembali. Inilah janji kemuliaan dan kebebasan yang ditawarkan oleh tauhid murni.

Ayat 30 Surah At-Taubah adalah mercusuar keesaan, memandu umat manusia menjauhi bayang-bayang kesesatan historis menuju terang kebenaran tunggal.

🏠 Homepage