Kebenaran Mutlak dan Larangan Berdusta

Kebenaran

Ilustrasi Keseimbangan dan Kebenaran

Memahami Peringatan Allah dalam Surat An-Nahl Ayat 116

Al-Qur'an adalah sumber petunjuk utama bagi umat Islam, berisi petunjuk rinci mengenai akidah, syariat, dan akhlak. Salah satu ayat yang tegas memberikan peringatan keras terhadap praktik tercela adalah firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl (Lebah) ayat ke-116. Ayat ini secara langsung menyentuh aspek kejujuran dan konsekuensi fatal dari kebohongan dalam beragama.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Artinya: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, 'Ini halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An-Nahl: 116)

Larangan Mengaitkan Halal dan Haram Tanpa Ilmu

Ayat 116 dari Surat An-Nahl ini mengandung larangan yang sangat tegas dari Allah SWT. Inti larangan tersebut adalah **jangan pernah melabeli sesuatu sebagai halal (diperbolehkan) atau haram (dilarang) berdasarkan hawa nafsu, dugaan, atau kepentingan pribadi semata, lalu mengatasnamakan klaim tersebut sebagai ketetapan ilahi.**

Para mufassir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan sebagai respons terhadap kebiasaan kaum musyrikin Quraisy yang sering menghalalkan atau mengharamkan ternak tertentu (misalnya unta yang telah dinazarkan untuk sesembahan berhala) semata-mata demi melayani tradisi syirik mereka, padahal dalam syariat Allah hal tersebut adalah haram atau tidak diperbolehkan.

Peringatan ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang hidup di masa Nabi Muhammad SAW, tetapi relevan sepanjang masa. Ini adalah fondasi penting dalam fikih dan ushul fikih. Hanya Allah (melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih) yang berhak menetapkan batasan legalitas suatu perbuatan dalam syariat-Nya. Mengambil hak prerogatif ini adalah bentuk penentangan dan pendustaan terhadap Allah.

Konsekuensi Fatal Mengada-adakan Kebohongan

Ayat tersebut ditutup dengan penegasan yang sangat menggentarkan: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung."

Kata "tiadalah beruntung" (لَا يُفْلِحُونَ - laa yuflihun) mencakup kegagalan total, baik di dunia maupun di akhirat. Keuntungan (falah) adalah tujuan tertinggi seorang mukmin, yaitu meraih ridha Allah dan surga-Nya. Jika seseorang telah melakukan dosa terbesar, yaitu mendustakan Allah dengan membuat hukum syariat palsu, maka segala amal kebaikannya terancam hangus, dan jalan menuju keberuntungan (falah) tertutup baginya.

Pentingnya Sikap Hati-hati dalam Berfatwa dan Berpendapat

Implikasi praktis dari An-Nahl ayat 116 adalah penekanan pada kehati-hatian ekstrem, terutama bagi mereka yang memiliki pengetahuan agama dan berpotensi memberikan panduan kepada masyarakat. Dalam Islam, mengeluarkan fatwa atau menghukumi status hukum suatu perkara memerlukan syarat yang ketat:

  1. Pemahaman mendalam terhadap nash (teks Al-Qur'an dan Hadits).
  2. Penguasaan kaidah ushul fikih dan bahasa Arab.
  3. Niat yang lurus semata-mata mencari keridhaan Allah.

Tanpa kualifikasi ini, mencoba ‘bermain’ dengan label halal dan haram adalah bahaya besar. Ini bisa menjerumuskan diri sendiri dan orang lain ke dalam kesesatan. Ketika seseorang menghalalkan apa yang diharamkan Allah (misalnya judi, riba, atau memakan bangkai), ia telah melanggar batas tauhid dengan menyamakan kedudukan dirinya dengan Allah dalam penetapan hukum. Sebaliknya, ketika ia mengharamkan apa yang dihalalkan Allah (misalnya melarang perbuatan baik atau makanan yang diperbolehkan), ia telah membatasi rahmat Allah dan menyulitkan umat.

Kontras dengan Sikap Jujur Para Nabi

Ayat ini mengajarkan kita untuk meneladani kejujuran para nabi. Nabi Muhammad SAW, misalnya, ketika ditanya mengenai halal dan haram, beliau tidak pernah menjawab berdasarkan spekulasi. Beliau selalu menunggu wahyu atau merujuk pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Kejujuran dalam membawa risalah Allah adalah kunci keberhasilan para rasul.

An-Nahl 116 menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas landasan wahyu yang jelas, bukan tradisi yang diada-adakan atau keinginan subjektif. Tugas kita sebagai umat adalah tunduk dan patuh, bukan merekayasa syariat. Menjaga lisan dari mengarang hukum Allah adalah bentuk ibadah tertinggi dan merupakan jaminan untuk meraih keberuntungan sejati di sisi-Nya.

🏠 Homepage