Dalam struktur Al-Qur'an, setiap surat memiliki kronologi penurunan (asbabun nuzul) yang unik dan terkadang saling berkaitan. Salah satu pertanyaan menarik yang sering muncul dalam studi keislaman adalah mengenai posisi Surat An-Nas dalam urutan pewahyuan. Mengetahui surat an nas diturunkan sesudah surat apa memberikan perspektif penting mengenai konteks kenabian dan kebutuhan umat Islam pada saat itu.
Jika kita merujuk pada Mushaf Utsmani (susunan standar Al-Qur'an yang kita baca saat ini), Surat An-Nas menempati posisi paling akhir, yaitu surat ke-114. Posisi ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman bahwa An-Nas adalah surat terakhir yang diturunkan secara umum. Namun, para ahli ilmu Al-Qur'an membedakan antara urutan penulisan dalam Mushaf dan urutan kronologis pewahyuan (nuzul).
Mengenai surat an nas diturunkan sesudah surat apa dalam urutan pewahyuan, mayoritas riwayat shahih menunjukkan bahwa An-Nas dan Al-Falaq diwahyukan secara bersamaan sebagai respons terhadap sebuah peristiwa penting. Mereka diturunkan setelah Surat Al-Falaq. Dalam konteks pewahyuan, keduanya hadir sebagai penyempurna perlindungan spiritual yang dibutuhkan oleh Nabi Muhammad SAW dari gangguan sihir dan kejahatan metafisik.
Kisah nuzul Surat An-Nas dan Al-Falaq sangat berkaitan erat dengan peristiwa sihir yang dialami oleh Rasulullah SAW, yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin Al-A'sham. Ketika sihir tersebut mulai memberikan dampak fisik pada diri Nabi, Allah SWT menurunkan kedua surat pelindung ini sebagai obat dan penawar.
Dalam konteks ini, An-Nas dan Al-Falaq bukanlah sekadar pelengkap, melainkan puncak dari ajaran tauhid dalam bentuk perlindungan langsung. Surat Al-Falaq (surat ke-113) memerintahkan untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan yang tampak (seperti kegelapan malam, tukang sihir, dan dengki), sementara Surat An-Nas (surat ke-114) menyempurnakannya dengan memerintahkan perlindungan dari sumber kejahatan yang paling mendasar: godaan jahat dari jin dan manusia (An-Nas berarti 'Manusia').
Jika kita melihat kronologi penurunan secara umum, Al-Mu'awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq) diwahyukan pada periode akhir kenabian di Madinah, atau pada periode akhir di Makkah menjelang Hijrah, meskipun pendapat yang paling kuat mengarah pada masa Madinah ketika tantangan terhadap Islam semakin kompleks, termasuk ancaman sihir.
Secara formal, surat an nas diturunkan sesudah surat Al-Falaq, karena keduanya diwahyukan sekaligus. Namun, jika kita membandingkannya dengan surat-surat lain yang lebih panjang atau surat-surat yang berhubungan dengan hukum (seperti surat-surat Madaniyah lainnya), An-Nas dan Al-Falaq diwahyukan jauh setelahnya. Mereka adalah penutup dalam rangkaian wahyu yang memberikan penekanan tertinggi pada konsep berlindung (isti'adzah) kepada Allah (Rabb, Malik, dan Ilah) dari segala keburukan yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
Penempatan Surat An-Nas sebagai penutup Al-Qur'an adalah sebuah penegasan ilahiah. Ini menggarisbawahi bahwa setelah menjalani serangkaian perintah, larangan, kisah kenabian, dan petunjuk kehidupan, kesimpulan tertinggi dari ajaran Islam adalah pengakuan akan keesaan Allah sebagai satu-satunya tempat berlindung dari segala bahaya dunia dan akhirat.
Membaca An-Nas setelah Al-Falaq memberikan sebuah siklus perlindungan yang sempurna. Kita memohon perlindungan kepada Rabbul 'Alamin dari keburukan di cakrawala (Al-Falaq), dan kemudian kita secara spesifik memohon perlindungan dari sumber kejahatan yang paling dekat dengan hati dan pikiran kita, yaitu bisikan jahat dari golongan manusia dan jin (An-Nas). Oleh karena itu, meskipun diturunkan pada fase akhir kenabian, penempatannya di urutan terakhir Mushaf adalah makna penutup yang mendalam bagi seorang Muslim dalam mengakhiri bacaan kitab sucinya dengan perlindungan total.
Memahami bahwa surat an nas diturunkan sesudah surat Al-Falaq sebagai satu paket perlindungan, membantu kita mengamalkan keduanya secara terpadu, menjadikannya amalan harian yang esensial bagi umat Islam.