Simbol Arsitektur Islam
Dalam Al-Qur'an, Surat An Nisa memiliki peran sentral dalam mengatur kehidupan sosial dan rumah tangga umat Muslim. Di antara berbagai ayatnya, ayat 24 hingga 26 menawarkan panduan krusial mengenai hukum pernikahan, status wanita, dan pengaturan hubungan dalam masyarakat. Ayat-ayat ini bukan sekadar larangan atau anjuran, melainkan kerangka hukum yang komprehensif untuk mewujudkan keadilan dan keharmonisan. Mari kita selami makna mendalam dari ayat-ayat ini.
Ayat 24 dari Surat An Nisa dimulai dengan menegaskan larangan menikahi wanita-wanita yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, kemenakan perempuan dari saudara laki-laki, kemenakan perempuan dari saudara perempuan, ibu-ibu yang menyusui, saudara perempuan sesusuan, ibu mertua, anak tiri dari istri yang telah dicampuri (namun jika belum dicampuri, boleh dinikahi), serta perhiasan tubuh wanita dari anak kandungmu, dan menikahi dua orang wanita bersaudara dalam satu waktu (kecuali yang telah terjadi di masa lalu). Larangan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian nasab, menghormati hubungan kekerabatan yang sakral, dan mencegah potensi perselisihan dalam keluarga.
"Dan (diharamkan) wanita-wanita yang telah dinikahi (suami-suami kamu) kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu perbuatan yang keji dan amat dibenci." (QS. An Nisa: 24)
Ayat ini juga mengingatkan tentang "kecuali yang telah terjadi pada masa lampau", yang merujuk pada praktik-praktik yang mungkin sudah ada sebelum Islam datang dan telah diatur oleh syariat baru ini. Intinya, pernikahan haruslah didasarkan pada aturan yang jelas dan sesuai dengan ajaran Islam untuk menghindari kezaliman dan kerusakan.
Selanjutnya, ayat 25 memberikan ketentuan mengenai wanita yang telah dinikahi. Ayat ini menyatakan bahwa wanita mukmin yang sengaja melakukan zina, maka ia tidak boleh dinikahi kecuali dengan pernikahan yang sah, dan ia tidak akan mendapatkan hukuman kecuali atas izin Allah. Ini menunjukkan bahwa Islam memberikan kesempatan bertaubat, namun tetap ada batasan dan proses yang harus dijalani.
"Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai cukup harta untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, maka (kawinilah) budak-budak perempuan yang beriman dan Allah lebih mengetahui tentang keimananmu. Sebahagian kamu adalah keturunan dari sebahagian yang lain. Maka kahwinilah mereka dengan izin tuan mereka dan berikanlah kepada mereka maskahwin mereka, mengikut apa yang patut, mereka (hendaklah) perempuan-perempuan yang terpelihara (dari perzinahan) dan (bukanlah) perempuan penzina dan bukan (pula) perbudakan wanita selingkuhan..." (QS. An Nisa: 25)
Ayat ini juga menyentuh isu perbudakan yang umum terjadi pada masa itu. Dinyatakan bahwa bagi yang tidak mampu menikahi wanita merdeka, diizinkan untuk menikahi budak wanita beriman. Namun, pernikahan tersebut harus dilakukan dengan izin walinya (pemilik budak), dan dengan mahar yang sesuai. Penekanan diberikan pada "perempuan-perempuan yang terpelihara (dari perzinahan)", menunjukkan bahwa meskipun statusnya budak, mereka harus memiliki kehormatan dan tidak boleh disalahgunakan. Ini adalah bentuk pengaturan sosial yang berusaha memberikan hak dan perlindungan bahkan dalam kondisi keterbatasan.
Ayat 26 menyimpulkan dengan menjelaskan hikmah dari peraturan-peraturan tersebut, yaitu agar Allah menjelaskan kepada kamu dan menunjukkan jalan-jalan orang yang dahulu (sebelum kamu) dan menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
"Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan kepada kamu jalan-jalan (sejarah) orang-orang yang sebelum kamu (menjadi syariat) dan (hendak) menerima taubatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nisa: 26)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap hukum yang diturunkan Allah memiliki tujuan yang mulia. Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan hukum, memberikan pelajaran dari sejarah umat terdahulu, dan membuka pintu taubat bagi siapa saja yang berbuat salah. Dengan memahami aturan-aturan ini, umat Muslim diharapkan dapat membangun keluarga yang kokoh, penuh kasih sayang, dan terhindar dari perbuatan yang melanggar syariat.
Surat An Nisa ayat 24-26 memberikan panduan yang berharga bagi umat Muslim dalam mengatur kehidupan berkeluarga dan sosial. Dengan menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan, serta memahami hikmah di baliknya, diharapkan setiap individu dapat menjalani kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sesuai dengan ajaran Islam.