Zakat, sebagai salah satu dari Rukun Islam yang fundamental, bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan sebuah instrumen ekonomi dan sosial yang dirancang untuk menciptakan keadilan, mengurangi kesenjangan, dan membersihkan harta serta jiwa. Dalam sistem syariat, penentuan siapa yang berhak menerima titipan suci ini telah ditetapkan secara definitif oleh wahyu Ilahi. Pusat dari penentuan alokasi ini termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 60.
Ayat ini berfungsi sebagai konstitusi ilahiah bagi pengelolaan dana Zakat, membatasi dan menjelaskan secara rinci delapan golongan penerima yang diakui (disebut juga asnaf). Memahami ayat ini tidak hanya memerlukan pembacaan terjemahan, tetapi juga analisis mendalam terhadap konteks pewahyuannya (asbabun nuzul), tinjauan linguistik, dan interpretasi fiqh dari berbagai mazhab. Kajian mendalam ini membuka wawasan tentang betapa cermatnya Islam merancang struktur kesejahteraan umat.
Surat At-Taubah, khususnya bagian yang membahas Zakat, diwahyukan pada periode akhir kenabian di Madinah, setelah Perang Tabuk. Ayat ini turun sebagai respons terhadap beberapa isu penting terkait pengelolaan harta publik. Salah satu riwayat yang populer terkait asbabun nuzul ayat ini adalah kritikan dari beberapa individu terhadap cara Nabi Muhammad ﷺ mendistribusikan Zakat, atau adanya pertanyaan spesifik mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan harta tersebut.
Sebelum ayat ini turun, terkadang alokasi Zakat masih bersifat umum atau diserahkan pada kebijakan pemimpin. Namun, ayat 60 turun untuk menetapkan batas-batas yang jelas, menghilangkan ruang untuk interpretasi subyektif yang berlebihan, dan menegaskan bahwa hak prerogatif pembagian Zakat sepenuhnya milik Allah. Dengan penetapan ini, Zakat tidak dapat lagi dialokasikan untuk kepentingan pribadi, klan, atau bahkan proyek-proyek yang tidak termasuk dalam delapan kategori yang disebutkan secara eksplisit.
Kata kunci dalam ayat ini adalah kata "إِنَّمَا" (Innamā), yang dalam tata bahasa Arab (Nahwu) berfungsi sebagai hasyr atau pembatasan eksklusif. Penggunaan kata ini mengindikasikan bahwa alokasi Zakat *hanya* ditujukan kepada delapan golongan tersebut, dan tidak boleh disalurkan kepada pihak lain selain mereka. Ini adalah prinsip fiqh yang disepakati mayoritas ulama.
Selanjutnya, perhatikan penggunaan preposisi:
Pembagian ini, meskipun memiliki makna fiqh yang halus, menegaskan bahwa empat golongan pertama menerima Zakat sebagai transfer kepemilikan langsung, sementara empat golongan berikutnya menerima Zakat untuk tujuan atau proyek tertentu yang relevan dengan kebutuhan mereka.
Kajian fiqh mengenai delapan asnaf ini sangat luas dan kompleks, terutama dalam menentukan definisi, batas kecukupan (haddul kifayah), dan alokasi yang diperbolehkan. Berikut adalah analisis rinci untuk setiap golongan, mencakup pandangan utama Mazhab Fiqh:
Definisi: Golongan yang paling membutuhkan. Mereka adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali, atau memiliki harta tetapi sangat sedikit (kurang dari separuh kebutuhan pokoknya) dan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja atau mencari nafkah yang mencukupi.
Perbedaan Mazhab:
Dalam praktik kontemporer, Fakir seringkali menjadi fokus utama program bantuan konsumtif, memastikan kelangsungan hidup dasar mereka terpenuhi, termasuk pangan, sandang, dan papan.
Definisi: Mereka adalah orang yang lebih baik keadaannya sedikit dari fakir, yaitu memiliki pekerjaan atau penghasilan, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi kebutuhan pokok mereka (lebih dari 50%, tetapi tidak mencapai 100% kebutuhan).
Batas Kecukupan: Penentuan status Miskin seringkali memerlukan penilaian yang kompleks, yaitu menghitung kebutuhan standar hidup (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan) versus penghasilan yang diperoleh. Jika gapnya signifikan, ia termasuk Miskin.
Perspektif Produktif: Untuk Miskin, dana Zakat sering dialokasikan untuk bantuan produktif (modal usaha kecil, pelatihan keterampilan), agar status Miskin ini dapat diangkat dan mereka menjadi mandiri (mustaghni).
Definisi: Mereka adalah pihak yang diangkat oleh Imam (Pemerintah/otoritas sah) untuk mengumpulkan, mengelola, mencatat, menjaga, dan mendistribusikan dana Zakat. Mereka bekerja secara profesional dalam manajemen Zakat.
Syarat dan Alokasi:
Definisi: Golongan yang hatinya perlu dibujuk atau dikuatkan keimanannya. Ini mencakup tiga kategori utama:
Perdebatan Kontemporer: Beberapa ulama modern berpendapat bahwa kategori kedua (tokoh non-Muslim yang diharapkan masuk Islam) mungkin tidak relevan lagi di era modern karena kekuatan Islam sudah kokoh. Namun, mayoritas ulama kontemporer tetap mengakui keberadaan Mualaf sebagai sarana dakwah dan integrasi sosial.
Definisi Klasik: Dana dialokasikan untuk membebaskan budak (baik budak Muslim maupun mukātab—budak yang dijanjikan bebas jika membayar sejumlah uang). Zakat dapat digunakan untuk membeli kebebasan mereka.
Interpretasi Modern: Karena perbudakan sudah dihapuskan secara global, para ulama kontemporer memperluas makna Fī al-Riqāb ini. Interpretasi yang kuat meliputi:
Definisi: Orang yang menanggung hutang yang sah (bukan untuk maksiat) dan tidak mampu melunasinya. Zakat dialokasikan untuk membayar hutang mereka secara langsung.
Kriteria Penting: Hutang yang dilunasi Zakat harus memenuhi syarat:
Definisi Klasik: Secara tradisional, Mazhab Fiqh utama (terutama Syafi'i dan Hanbali) menafsirkan Fī Sabīlillāh secara sempit, yaitu hanya mencakup mujahidin (pejuang) yang berjuang untuk membela Islam dan tidak memiliki penghasilan dari sumber lain.
Interpretasi Modern dan Kontemporer: Ini adalah asnaf yang paling banyak diperdebatkan dan memiliki cakupan terluas di era modern. Banyak ulama kontemporer, termasuk Yusuf Al-Qaradhawi, berpendapat bahwa makna Fī Sabīlillāh harus diperluas untuk mencakup segala proyek vital yang mendukung tegaknya syariat dan kesejahteraan umat, seperti:
Meskipun terjadi perluasan, tujuan utama Fī Sabīlillāh harus tetap mengutamakan kepentingan umat Islam secara keseluruhan dan tidak dapat digantikan oleh proyek-proyek publik biasa yang harus didanai oleh pajak negara (kharaj atau ghanimah).
Definisi: Musafir (orang yang dalam perjalanan) yang bekalnya habis atau ia terputus dari hartanya (misalnya, hartanya dicuri atau diblokir), sehingga ia membutuhkan bantuan untuk melanjutkan perjalanan atau kembali ke kampung halamannya, meskipun di tempat asalnya ia adalah orang kaya.
Syarat: Perjalanannya haruslah perjalanan yang diperbolehkan oleh syariat (bukan perjalanan maksiat). Zakat yang diberikan hanya sebatas kebutuhan pokok untuk mencapai tujuan atau kembali ke rumahnya.
Aplikasi Modern: Bantuan untuk pelajar yang merantau dan kehabisan biaya, pekerja migran yang terdampar, atau korban bencana di luar negeri yang membutuhkan biaya pulang.
Keseimbangan yang diatur oleh Allah dalam pendistribusian dana Zakat kepada delapan golongan, memastikan keadilan dan efektivitas.
Meskipun delapan asnaf disepakati, ada perbedaan pandangan signifikan di antara mazhab (sekolah hukum Islam) mengenai dua isu utama: keharusan pemerataan dan kriteria kekayaan yang menghalangi Zakat.
Apakah wajib membagi Zakat secara merata kepada seluruh delapan asnaf jika semuanya ada? Ada tiga pandangan utama:
Dalam konteks modern, lembaga Zakat cenderung mengikuti pandangan moderat dan Hanafi, yaitu memprioritaskan asnaf yang paling mendesak (biasanya Fakir dan Miskin), dan menggunakan sisanya untuk program sosial strategis (Fi Sabilillah atau Gharimin), berdasarkan analisis kebutuhan komprehensif (tahqiqul manath).
Salah satu ketentuan fiqh yang harus diperhatikan adalah larangan bagi keturunan Nabi Muhammad ﷺ (Bani Hasyim) untuk menerima Zakat. Larangan ini bertujuan menjaga kehormatan Nabi dan keluarganya dari harta yang dianggap kotor (Zakat adalah pembersih, sedangkan ghanimah atau harta publik lain diperbolehkan bagi mereka). Namun, para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini masih berlaku di era kontemporer, mengingat ketiadaan sumber dana alternatif yang dulu disediakan untuk mereka (seperti khumus).
Ayat 60 tidak hanya mengatur distribusi, tetapi juga membuka jalan bagi tujuan transformasional Zakat. Dalam praktik modern, dana Zakat dibagi menjadi dua jenis implementasi strategis:
Ini adalah transfer Zakat untuk memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek dan mendesak, seperti makanan, obat-obatan, dan pembayaran sewa. Fokusnya adalah kepada Fakir dan Miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah atau mereka yang sakit parah. Zakat konsumtif memastikan martabat dasar manusia terjaga.
Zakat produktif adalah penggunaan dana untuk modal usaha, peralatan kerja, atau pelatihan keterampilan, dengan tujuan mengubah status penerima dari Miskin menjadi Muzakki (pemberi Zakat) di masa depan. Konsep ini sangat relevan untuk Asnaf Miskin, Gharimin (membayar hutang modal), dan Fi Sabilillah (pendidikan/dakwah).
Contoh Program Zakat Produktif:
Para ahli fiqh kontemporer sangat menganjurkan Zakat produktif, karena sejalan dengan tujuan syariat (maqashid syariah) yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta, serta memastikan keberlanjutan ekonomi umat. Zakat bukan hanya amal kasihan, tetapi investasi sosial.
Keberhasilan pelaksanaan Surat At-Taubah ayat 60 sangat bergantung pada profesionalisme Amil (asnaf ketiga). Ayat ini menekankan pentingnya institusi Zakat yang terorganisir.
Surat At-Taubah ayat 60 adalah cetak biru untuk sistem kesejahteraan Islam, yang memiliki dampak mendalam melampaui sekadar donasi:
Ayat ini mengubah Zakat dari amal sukarela menjadi hak. Fakir dan Miskin tidak menerima Zakat sebagai sedekah, melainkan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah atas harta orang kaya. Ini menciptakan relasi sosial yang didasarkan pada keadilan, bukan belas kasihan.
Meskipun Zakat adalah ibadah, pendistribusiannya diatur oleh negara (melalui Amil). Ini menunjukkan bahwa Zakat memiliki dimensi sosial-politik yang kuat, yang harus diorganisir oleh otoritas publik untuk memastikan efisiensi, jangkauan, dan kepatuhan syariat.
Dengan mengalokasikan dana Zakat secara terstruktur kepada delapan asnaf, ayat 60 memastikan perputaran uang yang efektif dari sektor kaya (muzakki) kembali ke sektor riil (mustahik). Ini membantu menstabilkan permintaan agregat, mengurangi risiko resesi akibat ketimpangan kekayaan yang ekstrem, dan mendorong pertumbuhan inklusif.
Untuk melengkapi kedalaman kajian, perlu dibahas beberapa kasus kontemporer yang relevan dengan delapan asnaf, terutama terkait dengan perkembangan teknologi dan geopolitik:
Isu terluas terletak pada asnaf Fi Sabilillah. Jika dahulu diartikan sebagai pembiayaan perang, kini definisinya melebar signifikan:
Dalam era mobilitas global, Ibnu Sabil mencakup orang-orang yang menghadapi krisis identitas atau dokumentasi di luar negeri (pengungsi, pencari suaka yang belum mapan), yang secara teknis terputus dari harta dan negara asalnya. Bantuan Zakat dapat digunakan untuk membantu proses legal dan pemulangan yang bermartabat.
Sistem Zakat modern harus membedakan perlakuan terhadap Fakir dan Miskin terkait kesehatan. Fakir mungkin membutuhkan dukungan kesehatan penuh secara konsumtif. Sementara itu, Miskin yang sedang bekerja, mungkin hanya membutuhkan subsidi premi asuransi kesehatan agar mereka tidak jatuh ke tingkat Fakir jika terjadi musibah sakit mendadak.
Ayat 60 Surah At-Taubah ditutup dengan firman, "Fariidhotan Minallah. Wallahu 'Alimun Hakim (Ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana)." Penutup ini menegaskan bahwa struktur delapan asnaf bukan kebetulan atau hasil musyawarah manusia, melainkan rancangan Ilahi yang sempurna.
Hikmahnya adalah:
Dengan menetapkan pembatasan yang eksplisit, Allah SWT telah memberikan panduan yang jelas dan abadi bagi umat Islam, menjadikan Zakat sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan distributif yang tidak lekang oleh zaman. Kewajiban untuk mematuhi pembatasan ini adalah ujian keimanan dan kepatuhan terhadap hukum Allah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.