Surat At-Taubah merupakan salah satu surat Madaniyah yang terakhir diturunkan, dikenal dengan ketegasannya, membahas peperangan, janji, dan pengkhianatan. Namun, ketika surat ini mencapai puncaknya, pada dua ayat terakhir—ayat 128 dan 129—nadanya berubah secara dramatis. Kedua ayat ini berfungsi sebagai penutup yang agung, bukan lagi menekankan sanksi atau ketegasan, melainkan memusatkan perhatian umat Islam pada sosok sentral risalah: Nabi Muhammad ﷺ, yang karakternya digambarkan dengan sifat kasih sayang dan kepedulian yang luar biasa. Ayat-ayat ini tidak hanya merupakan deskripsi sifat, melainkan juga fondasi teologis dan etis bagi seluruh umatnya. Ini adalah perwujudan kasih sayang Ilahi yang dipersonifikasikan melalui Rasul-Nya.
Ayat 128 dan 129 At-Taubah merangkum esensi hubungan antara Rasulullah dengan umatnya, sekaligus mengajarkan prinsip tauhid dan tawakkul yang mutlak. Ayat 128 menyoroti empat sifat Rasulullah yang sangat mulia: berasal dari manusia, merasakan penderitaan umat, sangat menginginkan kebaikan umat, dan memiliki sifat *Rauf* (Mahakasih) serta *Rahim* (Mahapenyayang). Sementara Ayat 129 memberikan solusi spiritual bagi Nabi dan umatnya ketika dihadapkan pada penolakan atau kesulitan, yaitu penyerahan diri total kepada Allah, Dzat Pemilik Arsy yang Agung.
Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana) yang agung.”
Ayat 128 ini adalah deskripsi karakter kenabian yang paling indah, memaparkan bagaimana Rasulullah ﷺ menjalankan misinya dengan penuh empati, kasih sayang, dan pengorbanan. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap frasa dan kata kunci yang digunakan.
Penggunaan kata kerja 'Laqad' (Sungguh, telah) berfungsi sebagai penegasan yang kuat (ta'kid). Hal ini menekankan bahwa kedatangan Rasulullah ﷺ bukanlah janji kosong, melainkan kenyataan yang tak terbantahkan. Frasa 'min anfusikum' (dari dirimu sendiri/dari jenis kamu sendiri) membawa makna ganda yang sangat penting. Secara literal, ia menegaskan bahwa Nabi berasal dari bangsa Arab, dari suku Quraisy—suku yang paling mulia di antara mereka. Ini menghilangkan alasan penolakan berdasarkan perbedaan ras atau bahasa. Secara spiritual dan psikologis, frasa ini berarti Rasulullah ﷺ adalah seorang manusia, bukan malaikat, yang memahami secara intrinsik tantangan, kelemahan, dan potensi manusia. Ia berbagi fitrah yang sama, mengalami lapar, haus, sedih, dan berjuang, sehingga ajarannya dapat diikuti dan menjadi teladan yang realistis. Para mufassir terdahulu, seperti Imam At-Tabari, menyoroti bahwa ini menunjukkan kemudahan umat untuk berinteraksi dan belajar darinya, karena ia adalah bagian dari mereka.
Kata kunci di sini adalah *‘azizun alaihi* dan *ma anittum*. *‘Azizun* secara harfiah berarti 'sulit', 'berat', atau 'berharga'. Dalam konteks ini, ia menggambarkan betapa beratnya beban yang dirasakan Nabi ketika melihat umatnya menderita. Penderitaan di sini tidak hanya merujuk pada kesengsaraan fisik atau ekonomi (seperti kelaparan atau peperangan), tetapi yang utama adalah penderitaan spiritual: kesulitan dalam menjalankan syariat, dan yang lebih penting, kesulitan karena mereka berada dalam kesesatan atau kekufuran. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi ﷺ sangat merasa sedih jika umatnya tidak beriman, atau jika mereka terjerumus dalam dosa yang akan membawa mereka kepada azab. Empati profetik ini melampaui rasa simpati biasa; ini adalah rasa sakit spiritual yang mendalam, menunjukkan tingkat kepedulian yang tiada tara. Seolah-olah kesulitan yang dialami umatnya merupakan kesulitan yang dialami dirinya sendiri, sebuah cerminan sempurna dari kepemimpinan yang berlandaskan kasih sayang.
Kata *harisun* berasal dari kata *hirsh*, yang berarti hasrat yang kuat, keinginan yang membara, atau ambisi. Dalam konteks positif ini, ia menggambarkan obsesi Nabi terhadap kebaikan umatnya. Keinginan ini tidak bersifat duniawi, melainkan berfokus pada dua hal:
Ini adalah puncak dari deskripsi sifat kenabian, yang mana Allah SWT menganugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dua nama agung-Nya (yang juga merupakan sifat Allah, meskipun penggunaannya berbeda dalam konteks makhluk).
Setelah menggambarkan sosok Rasulullah ﷺ yang penuh kasih sayang dan pengorbanan, Ayat 129 memberikan petunjuk Ilahi mengenai bagaimana seharusnya Rasul bersikap ketika, terlepas dari segala upaya dan kepeduliannya, sebagian manusia tetap menolak dan berpaling dari kebenaran. Ayat ini adalah fondasi bagi prinsip tawakkul (penyerahan diri total) dalam menghadapi hasil yang berada di luar kendali manusia.
Frasa ini mengakui realitas dakwah: tidak semua orang akan menerima kebenaran. Meskipun Nabi telah menunjukkan empati yang maksimal (*azizun alaihi ma anittum*) dan hasrat yang membara untuk kebaikan mereka (*harisun alaikum*), kebebasan memilih tetap ada pada manusia. 'Berpaling' (tawallaw) di sini berarti menolak seruan keimanan, mengabaikan ajaran, dan memilih jalan kekufuran atau kemunafikan. Perintah yang menyusul kemudian menunjukkan bahwa tugas Rasul adalah menyampaikan pesan, namun hasilnya sepenuhnya di tangan Allah. Rasul tidak boleh merasa putus asa atau membiarkan penolakan ini merusak misinya.
Ini adalah inti dari penyerahan diri. Kata *hasbiy* berarti 'cukuplah', 'pelindungku', atau 'penolongku'. Ini adalah deklarasi iman yang menegaskan bahwa Allah semata adalah Dzat yang mencukupi segala kebutuhan, baik dalam perlindungan dari musuh, pertolongan dalam kesulitan, maupun jaminan keberhasilan misi dakwah. Ketika manusia menolak atau berkonspirasi, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk mengalihkan seluruh ketergantungan dan harapannya dari makhluk kepada Sang Pencipta. Imam Al-Ghazali dalam karyanya membahas bahwa *hasbiyallah* adalah puncak ketenangan spiritual, karena ia membebaskan hati dari ketergantungan pada sebab-akibat duniawi dan meletakkannya langsung pada Dzat yang menguasai segala sebab. Ini adalah pelajaran bagi setiap Muslim: ketika usaha maksimal telah dilakukan, hasil akhir harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
Pernyataan tauhid ini memperkuat konsep *hasbiyallah*. Penegasan bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah adalah alasan mengapa Dia pantas menjadi satu-satunya tempat bersandar dan mencukupi segala kebutuhan. Ketika seorang hamba mengakui ini, ia secara otomatis meniadakan potensi pertolongan, bahaya, atau harapan yang datang dari selain Allah. Dalam konteks dakwah, ini berarti Rasulullah ﷺ dan para penerusnya harus memahami bahwa meskipun penolakan datang dari banyak pihak, semua kekuatan di alam semesta tunduk pada keesaan Allah, sehingga penolakan manusia tidak memiliki daya rusak yang berarti jika Allah telah berkehendak melindungi.
Tawakkul adalah peletakan hati sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal (ikhtiar). Ini bukan berarti pasif, melainkan sebuah aksi spiritual yang membebaskan diri dari kecemasan terhadap kegagalan. Rasulullah ﷺ telah berupaya keras (*harisun alaikum*), dan kini ia diperintahkan untuk menyerahkan hasil usahanya. Kata kerja 'tawakkaltu' (aku bertawakal) adalah bentuk masa lalu, menunjukkan keputusan yang teguh dan permanen. Tafsir Ruhul Ma'ani menjelaskan bahwa tawakkul adalah kepercayaan absolut bahwa Allah adalah wakil yang paling baik, yang akan mengatur urusan hamba-Nya dengan kebijaksanaan dan keadilan mutlak, bahkan ketika hasil di dunia tidak terlihat menguntungkan.
Penutup ayat ini memberikan justifikasi teologis mengapa Allah SWT layak menerima tawakkul total. 'Arsy (Singgasana) adalah makhluk terbesar yang diciptakan Allah, melambangkan kekuasaan, keagungan, dan otoritas mutlak. Dengan menegaskan bahwa Allah adalah 'Rabbul 'Arsyil 'Azhim' (Tuhan pemilik Arsy yang Agung), ayat tersebut mengingatkan bahwa Dzat yang dijadikan tempat bersandar adalah Penguasa segala sesuatu, pengatur alam semesta, dan tidak ada kekuasaan lain yang mampu menandingi-Nya. Keseluruhan alam, termasuk semua yang menolak dakwah, berada di bawah otoritas Arsy-Nya. Penegasan ini memberikan ketenangan yang tak terbatas bagi orang yang bertawakkal.
Kedua ayat penutup Surat At-Taubah ini telah menjadi subjek pembahasan mendalam oleh para mufassir selama berabad-abad. Kontribusi mereka tidak hanya mengukuhkan makna literal, tetapi juga menggali implikasi spiritual dan hukumnya.
Ibnu Katsir sangat menekankan frasa *min anfusikum*. Ia mengutip hadis yang memastikan kemurnian nasab Nabi Muhammad ﷺ, yang berasal dari garis keturunan termulia, tidak pernah dicampuri oleh perzinaan, menunjukkan kemuliaan fisik dan silsilah beliau. Lebih lanjut, beliau menginterpretasikan *‘azizun alaihi ma anittum* sebagai bukti sempurna kepedulian Nabi. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi ﷺ berusaha keras untuk menjauhkan umatnya dari segala kesukaran. Jika Rasul melihat ada kesukaran dalam suatu urusan ibadah, beliau akan segera mencari jalan keluar atau rukhsah (keringanan) agar umat tidak terbebani, menunjukkan penerapan praktis sifat *Rauf* dan *Rahim* bahkan dalam penetapan hukum syariat. Kasih sayang beliau adalah sumber keringanan dalam agama Islam.
Imam Al-Qurtubi fokus pada makna *harisun alaikum*. Beliau menjelaskan bahwa hasrat Nabi terhadap kebaikan umatnya jauh melampaui hasrat orang tua terhadap anaknya. Hasrat Nabi adalah hasrat untuk kebaikan abadi (akhirat). Al-Qurtubi juga memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara *Rauf* dan *Rahim*. Ia menyebutkan bahwa *Rauf* adalah kasih sayang yang melindungi dari kesulitan, sementara *Rahim* adalah kasih sayang yang membawa manfaat. Ketika keduanya disandingkan, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah pribadi yang secara paripurna menjaga umatnya dari keburukan dan selalu berupaya mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Kekuatan karakter Nabi adalah jaminan keamanan spiritual bagi umatnya.
Al-Qurtubi juga menambahkan dimensi fiqih (hukum) terkait ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa sifat *Rauf* dan *Rahim* Nabi ini menjadi dasar bagi para ulama untuk menetapkan kaidah 'rukhsah' (keringanan) dalam syariat. Semua prinsip kemudahan dalam Islam, seperti diperbolehkannya tayamum ketika tidak ada air atau diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir, berakar dari sifat *Rauf* yang ada pada diri Rasulullah ﷺ, yang telah diizinkan oleh Allah untuk menetapkan keringanan bagi umatnya. Ini menunjukkan bahwa Ayat 128 bukan hanya tentang etika, tetapi juga tentang metodologi legislasi Islam.
Imam Ar-Razi, dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, menghubungkan Ayat 128 dan 129 sebagai siklus tindakan dan penyerahan. Ayat 128 adalah puncak dari usaha manusiawi Nabi (ikhtiar) yang didorong oleh kasih sayang dan empati. Ketika usaha tersebut dilakukan dengan sempurna, dan hasilnya tetap penolakan, maka Ayat 129 menjadi solusi spiritualnya. Ar-Razi berpendapat bahwa tawakkul yang disebutkan dalam Ayat 129 bukan hanya untuk ketenangan pribadi Nabi, tetapi juga berfungsi sebagai demonstrasi keimanan bagi umat. Ketika seorang pemimpin telah melakukan semua yang ia bisa dengan penuh kasih, ia tidak perlu cemas atau kecewa karena hasilnya adalah urusan Rabbul Arsyil Azhim. Ini adalah ajaran bahwa kesempurnaan terletak pada proses, bukan semata-mata pada hasil.
Dalam bahasa Arab, kedua kata ini berasal dari akar kata yang berbeda dan memiliki nuansa makna yang dalam. Sementara *Rahman* (nama Allah) merujuk pada kasih sayang universal yang meliputi semua makhluk (mukmin dan kafir) di dunia, *Rauf* dan *Rahim* (ketika disandingkan) seringkali merujuk pada kasih sayang yang lebih terfokus pada umat beriman. Para ahli bahasa (lughawiyyun) sering membedakan:
Kedua ayat ini menyediakan lebih dari sekadar sejarah atau deskripsi; ia menawarkan cetak biru teologis mengenai hubungan antara Allah, Rasul-Nya, dan umat. Analisis mendalam menunjukkan tiga pilar utama.
Ayat 128 secara efektif mendefinisikan kenabian sebagai peran yang sekaligus humanis dan transenden. Sisi humanisnya terlihat dari *min anfusikum* (dari dirimu sendiri) dan *azizun alaihi ma anittum* (berat baginya penderitaanmu). Nabi adalah manusia yang mengalami penderitaan dan empati. Namun, sisi transendennya adalah keunikan sifat *Rauf* dan *Rahim* yang dianugerahkan secara Ilahi, sifat yang mencerminkan Asmaul Husna. Ini menegaskan bahwa Nabi bukanlah figur mitos yang terpisah dari realitas manusia, melainkan pemimpin yang memiliki landasan emosional yang sama dengan umatnya, namun ditinggikan oleh moralitas Ilahi.
Pengakuan akan penderitaan (ma anittum) yang dirasakan Nabi atas umatnya adalah fondasi psikologi dakwah. Seorang da'i atau pemimpin tidak boleh berjarak dari realitas penderitaan yang dipimpinnya. Penderitaan Nabi adalah sumber motivasi untuk *harisun alaikum* (hasrat yang kuat), yang memimpin pada tindakan nyata melalui sifat *Rauf* (kelembutan legislatif) dan *Rahim* (pengampunan dan syafaat).
Ayat 129 mengajarkan bahwa setelah mencapai batas maksimal dari kemampuan manusia (yaitu, usaha dakwah yang didorong oleh *Rauf* dan *Rahim*), batas spiritual harus diaktifkan. Tawakkul adalah puncaknya. Tawakkul yang diajarkan di sini adalah solusi terhadap dua penyakit spiritual yang paling merusak: kekecewaan (putus asa atas penolakan) dan kebanggaan (merasa sukses karena kekuatan diri sendiri). Dengan menyatakan *Hasbiyallah*, Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa kekuatan untuk mengubah hati adalah milik Allah semata.
Penyebutan Arsy pada akhir ayat 129 adalah penutup yang sempurna. Jika hanya dikatakan *Rabbul Arsy*, mungkin kesannya kurang. Namun, dengan penambahan sifat *Al-Azhim* (Yang Agung), Allah mengingatkan bahwa Dzat yang kita serahi urusan adalah Dzat yang kekuasaan-Nya tak terbatas. ‘Arsy adalah simbol kemahatinggian, keagungan, dan kedaulatan. Para ahli Aqidah menjelaskan bahwa Arsy bukan hanya sebuah ciptaan, melainkan titik tertinggi dari otoritas fisik alam semesta yang kita ketahui. Dzat yang menguasai Arsy yang Agung ini adalah Dzat yang akan mencukupi kebutuhan hamba-Nya. Pengakuan ini memperkuat motivasi tawakkul: mengapa mencari perlindungan kepada makhluk yang lemah, sementara kita dapat bersandar pada Penguasa Arsy yang Agung?
Kedua ayat ini memberikan landasan etis yang sangat relevan, bukan hanya untuk para nabi, tetapi untuk setiap Muslim, khususnya mereka yang memegang amanah kepemimpinan, pendidikan, atau dakwah.
Kepemimpinan yang ideal, sebagaimana diajarkan oleh Ayat 128, harus dibangun di atas empat pilar:
Bagi para da'i, guru, dan pendidik, Ayat 128 menekankan pentingnya metode yang lembut (*Rauf*) dan hasrat untuk kebaikan murid/mad'u (*Harisun*). Kegagalan dalam dakwah atau pendidikan seringkali terjadi bukan karena kurangnya ilmu, melainkan kurangnya empati. Jika seorang pendidik tidak merasa berat melihat kesulitan atau kemunduran muridnya, ia tidak akan memiliki hasrat yang membara untuk membimbing mereka. Kelembutan Nabi dalam menegur dan mengoreksi kesalahan adalah implementasi langsung dari sifat *Rauf* beliau.
Di era modern yang serba hasil dan target, tekanan untuk sukses seringkali menghasilkan kecemasan atau depresi ketika hasil tidak sesuai harapan. Ayat 129 memberikan mekanisme pertahanan spiritual yang sempurna. Setelah bekerja keras (seperti Nabi yang *harisun*), seorang Muslim harus melepaskan hasil dari genggamannya dan menyerahkannya kepada Allah. Hal ini mencegah depresi yang berasal dari keterikatan berlebihan pada hasil. Frasa *Hasbiyallahu* adalah pengobatan bagi hati yang lelah karena usaha keras di jalan kebenaran namun dihadapkan pada penolakan atau kegagalan sementara. Ketenangan sejati didapat dari kesadaran bahwa kita hanya bertanggung jawab atas usaha, sementara kendali tertinggi ada pada *Rabbul Arsyil Azhim*.
Penerapan tawakkul dalam kehidupan sehari-hari berarti: Ketika seorang Muslim telah merencanakan dengan matang, bekerja keras, dan berempati (memenuhi tuntutan Ayat 128), ia harus selalu kembali kepada Ayat 129. Jika bisnisnya gagal, jika misinya ditolak, atau jika ia diuji dengan kesulitan, respons spiritualnya harus selalu: *“Hasbiyallah, la ilaha illa Huwa, alaihi tawakkaltu, wa Huwa Rabbul Arsyil Azhim.”* Ini adalah formula untuk ketahanan mental dan spiritual.
Untuk memahami mengapa Ayat 129 begitu kuat, kita perlu menggali lebih dalam konsep Tawakkul yang disandingkan dengan Arsy.
Tawakkul bukanlah sekadar berserah, melainkan manifestasi praktis dari tauhid. Ini berarti mengintegrasikan keesaan Allah dalam segala aspek pengambilan keputusan dan hasil. Dalam Ayat 129, tawakkul diperintahkan sebagai respons terhadap ‘tawallaw’ (penolakan). Hal ini secara filosofis mengajarkan bahwa kekuasaan manusia untuk menolak atau menerima iman tidak boleh membuat seorang mukmin gentar, karena kekuasaan itu adalah fenomena sementara yang diizinkan oleh Allah. Tawakkul mengembalikan fokus kepada sumber kekuatan abadi, mereduksi kebergantungan pada variabel yang tidak stabil (seperti opini publik atau dukungan manusia).
Menurut ulama tasawuf, tingkatan tawakkul tertinggi adalah ketika hati tidak lagi melihat sebab-sebab duniawi sebagai penentu, melainkan hanya melihat Allah sebagai satu-satunya Penggerak. Dalam konteks dakwah, ini berarti Nabi Muhammad ﷺ melepaskan dirinya dari tekanan untuk 'memaksa' hasil dan membiarkan Allah yang mengatur hati manusia. Ini adalah bentuk tertinggi dari keikhlasan: berbuat karena perintah-Nya, bukan karena mengharapkan balasan dari makhluk.
Penyebutan Arsy al-Azhim bukan hanya hiasan retorika, melainkan penegasan ontologis. Jika Allah adalah Rabbul Arsy yang Agung, ini menyiratkan:
Hubungan antara Ayat 128 dan 129 adalah hubungan dialektis yang sempurna. Ayat 128 adalah tuntutan etis untuk berinteraksi dengan dunia (*syariat* dan *muamalah*), yang menuntut usaha maksimal yang dilandasi empati. Ayat 129 adalah tuntutan spiritual untuk berinteraksi dengan Allah (*hakikat* dan *tauhid*), yang menuntut penyerahan diri total. Muslim sejati adalah ia yang mampu menyeimbangkan keduanya: berbuat dengan kasih sayang dan semangat membara seperti yang digambarkan di Ayat 128, namun pada saat yang sama, melepaskan keterikatan hasil dengan tawakkul sempurna seperti yang diajarkan di Ayat 129. Kegagalan menyeimbangkan keduanya akan menghasilkan dua ekstrem: terlalu fokus pada hasil (menyebabkan frustrasi) atau terlalu pasif (tidak berusaha karena berdalih tawakkul).
Pesan abadi dari dua ayat ini adalah bahwa kesuksesan bukan diukur dari banyaknya pengikut atau sedikitnya penolakan, melainkan dari kesempurnaan dalam menunaikan tugas yang didasari *rahmah* dan kesempurnaan dalam penyerahan diri kepada Sang Pencipta Arsy yang Agung. Ayat 128 memberikan motivasi *mengapa* kita harus berjuang; Ayat 129 memberikan jaminan *siapa* yang akan menanggung hasil perjuangan tersebut.
Dua ayat terakhir dari Surat At-Taubah ini adalah permata Al-Quran yang merangkum esensi risalah Nabi Muhammad ﷺ. Ayat 128 memastikan bahwa umat memiliki seorang Rasul yang tidak hanya membawa pesan, tetapi juga membawa hati yang merasakan penderitaan dan mendambakan kebahagiaan mereka dengan hasrat yang membara, dipayungi oleh sifat *Rauf* dan *Rahim*. Ini adalah fondasi etika dan moralitas dalam Islam.
Sementara itu, Ayat 129 memberikan penegasan teologis yang diperlukan untuk sustainabilitas misi dakwah. Ketika menghadapi penolakan, bukan putus asa atau kemarahan yang menjadi jawaban, melainkan penyerahan diri yang khusyuk kepada Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, dan yang merupakan Pemilik Arsy yang Agung. Pembacaan dan perenungan terhadap kedua ayat ini secara berulang adalah pengingat abadi bahwa jalan menuju kebenaran adalah jalan yang penuh kasih sayang, namun diakhiri dengan keyakinan tauhid yang teguh. Bagi umat Islam, At-Taubah 128-129 adalah warisan akhlak Nabi Muhammad ﷺ dan deklarasi tawakkul yang paling kuat, menjamin ketenangan hati bagi mereka yang berpegang teguh padanya.
Umat Islam diperintahkan untuk meneladani Rasulullah ﷺ dalam segala aspek. Meneladani beliau berarti mengamalkan empat sifat utama: empati terhadap kesulitan orang lain, hasrat kuat untuk kebaikan mereka, kelembutan (rauf) dalam interaksi, dan kasih sayang (rahim) dalam setiap keputusan. Dan ketika hasil dari peneladanan dan usaha maksimal itu berada di luar kuasa kita, kita kembali ke benteng terkuat: *Hasbiyallahu la ilaha illa Huwa, alaihi tawakkaltu, wa Huwa Rabbul Arsyil Azhim*.