I. Pendahuluan: Puncak Penegasan Surah At-Taubah
Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah, memiliki posisi unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan basmalah, sebuah isyarat terhadap konteks historisnya yang penuh dengan pengumuman pemutusan hubungan (bara’ah) terhadap kaum musyrikin dan munafikin. Meskipun demikian, penutup surah yang terdiri dari dua ayat mulia—ayat 128 dan 129—sama sekali tidak menggambarkan kekerasan atau pemutusan, melainkan justru memancarkan puncak kasih sayang (rahmah) kenabian dan penegasan tauhid (keesaan Allah) yang paling fundamental.
Dua ayat terakhir ini berfungsi sebagai kesimpulan yang mendalam, tidak hanya bagi Surah At-Taubah, tetapi seolah-olah merangkum esensi risalah kenabian. Ayat pertama (128) berfokus pada sifat-sifat Rasulullah ﷺ, menekankan betapa besarnya perhatian dan kepedulian beliau terhadap umatnya. Ayat kedua (129) memberikan penawar spiritual yang abadi, yaitu penyerahan diri total kepada Allah SWT melalui kalimat 'Hasbiyallahu laa ilaha illa Huwa'. Kedua ayat ini, yang sering kali disebut sebagai 'Dua Ayat Kemuliaan', menjadi warisan spiritual yang tak ternilai harganya bagi setiap Muslim.
Dalam kajian ini, kita akan menelusuri secara ekstensif setiap diksi, struktur kalimat, konteks tafsir klasik, dan implikasi spiritual dari surat taubah ayat terakhir. Kedalaman makna yang terkandung dalam rangkaian kata ini memerlukan telaah yang detail, mencakup aspek linguistik, teologis, dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
II. Teks dan Terjemah Ayat-Ayat Penutup (128-129)
Untuk memahami kedalaman pesan, penting untuk merenungi teks Arab dan terjemahan resmi dari ayat 128 dan 129 Surah At-Taubah:
Ayat 128: Manifestasi Kasih Sayang Kenabian
Terjemah: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Ayat 129: Puncak Penyerahan Diri (Tauhid Mutlak)
Terjemah: “Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.’”
III. Telaah Linguistik Mendalam Ayat 128: Sifat-Sifat Nabi ﷺ
Ayat 128 adalah potret linguistik yang indah mengenai karakter Nabi Muhammad ﷺ. Setiap kata yang digunakan dipilih dengan ketelitian ilahi untuk menggambarkan kedudukan dan perasaan beliau terhadap umatnya. Analisis linguistik kata per kata mengungkap lapisan makna yang sangat kaya.
A. "لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ" (Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri)
Penggunaan 'لَقَدْ' (Laqad) adalah partikel penekanan sumpah (Qasam) dan penguat (Tahqiq). Ini menunjukkan bahwa kedatangan Rasulullah ﷺ adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal dan merupakan karunia yang luar biasa. Frasa 'مِّنْ أَنفُسِكُمْ' (min anfusikum) membawa dua makna penting yang diperdebatkan oleh ulama tata bahasa dan tafsir:
- Dari Jenis Kalian: Beliau adalah manusia biasa, bukan malaikat atau jin. Ini memudahkan umat untuk berhubungan dan meneladani beliau. Al-Qurtubi menekankan bahwa ini menepis argumen orang-orang yang menuntut Rasul harus dari golongan malaikat.
- Dari Golongan yang Paling Mulia: Beberapa mufassir, seperti Az-Zamakhsyari, menginterpretasikan 'anfus' (jiwa/diri) sebagai penunjuk kemuliaan keturunan (nasab) beliau. Beliau berasal dari Bani Hasyim, klan Quraisy yang paling terhormat dan murni, jauh dari segala cela.
B. "عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ" (Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami)
Kata kunci di sini adalah 'عَزِيزٌ' ('Aziz), yang secara harfiah berarti mulia, perkasa, atau kuat. Namun, dalam konteks kalimat ini, ia dimaknai sebagai 'berat' atau 'sangat membebani'. Sementara 'عَنِتُّمْ' ('Anittum) merujuk pada penderitaan, kesulitan, atau beban yang menimpa umat. Penggabungan kedua kata ini melahirkan makna bahwa kesulitan sekecil apa pun yang menimpa umat, sangatlah membebani hati Nabi ﷺ. Ini menunjukkan tingkat empati beliau yang melampaui batas kewajiban kenabian biasa.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi ﷺ merasakan kepedihan umat seolah-olah kepedihan itu menimpa dirinya sendiri. Ini adalah penjelmaan dari kasih sayang yang paling murni, yang melampaui ikatan kekerabatan dan terikat pada ikatan spiritual risalah.
C. "حَرِيصٌ عَلَيْكُم" (Sangat menginginkan bagimu)
Kata 'حَرِيصٌ' (Haris) adalah isim fa'il (kata pelaku) dari kata dasar 'hirsh', yang berarti keinginan yang sangat kuat, hasrat yang mendalam, atau ketamakan yang positif. Dalam konteks ini, hasrat beliau bukanlah pada kekayaan atau kekuasaan, melainkan pada kebaikan abadi umatnya—yaitu keimanan (hidayah) dan keselamatan dari api neraka. Beliau berjuang keras, bahkan hingga mempertaruhkan diri beliau, demi memastikan umatnya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Mufassir kontemporer menyoroti bahwa 'Harisun alaikum' berarti Rasulullah adalah seorang ‘Penyelamat yang Bersemangat’. Keinginan beliau untuk melihat umatnya sukses adalah dorongan utama di balik seluruh dakwah, hijrah, dan jihad beliau. Jika beliau tahu seseorang akan celaka, beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk menariknya kembali ke jalan yang benar, meskipun orang itu menolaknya.
D. "بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ" (Penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin)
Ini adalah klimaks dari deskripsi karakter Nabi ﷺ. Dua nama agung Allah (Asmaul Husna), Ar-Rauf dan Ar-Rahim, disematkan pada beliau, tetapi dengan batasan ‘بِالْمُؤْمِنِينَ’ (terhadap orang-orang mukmin). Hal ini menandai keistimewaan hubungan antara Nabi dengan pengikutnya yang beriman.
- رَءُوفٌ (Ra’uf): Menyiratkan kelembutan yang sangat mendalam, kasih sayang yang melindungi dari bahaya, khususnya dalam hal menghindari hukuman atau penderitaan. Ra’uf adalah kasih sayang yang proaktif dalam mencegah keburukan.
- رَّحِيمٌ (Rahim): Menyiratkan kasih sayang yang memberikan manfaat dan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Rahim adalah kasih sayang yang memberikan anugerah dan rahmat.
Penempatan kedua sifat ilahi ini pada Nabi ﷺ menunjukkan bahwa sifat-sifat tersebut terwujud paling nyata melalui pribadi beliau di antara makhluk. Beliau adalah pintu gerbang rahmat ilahi bagi umatnya. Momen krusial ini—dimana Allah menyebut hamba-Nya dengan dua nama yang Dia miliki secara mutlak—menegaskan kedudukan agung Rasulullah sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil 'Alamin).
IV. Telaah Linguistik Mendalam Ayat 129: Inti Tauhid
Jika ayat 128 memuji Nabi ﷺ, ayat 129 mengembalikan semua pujian dan sandaran kepada sumber utamanya, Allah SWT, memastikan tidak ada syirik tersembunyi dalam kekaguman terhadap Rasulullah. Ayat ini memberikan petunjuk tegas bagi Nabi dan umatnya jika menghadapi penolakan dan kesulitan.
A. "فَإِن تَوَلَّوْا" (Maka jika mereka berpaling)
Kata 'تَوَلَّوْا' (Tawallaw) berarti berpaling, menolak, atau meninggalkan keimanan dan petunjuk. Ayat ini mengakui realitas dakwah: tidak semua orang akan menerima. Bahkan dengan kasih sayang sebesar yang dimiliki Nabi ﷺ, penolakan pasti akan terjadi. Respon yang diajarkan oleh Allah bukanlah keputusasaan, melainkan penegasan sandaran.
B. "فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ" (Maka katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia’)
Ini adalah inti dari penegasan tauhid. 'حَسْبِيَ اللَّهُ' (Hasbiyallahu) adalah deklarasi bahwa Allah mencukupi segala kebutuhan, perlindungan, dan dukungan. Ini adalah kalimat penyerahan diri total. Tidak ada entitas atau kekuatan lain yang dibutuhkan ketika Allah telah menyatakan diri-Nya Cukup.
Frasa ini diikuti dengan penegasan Tauhid Uluhiyah, 'لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ' (Laa ilaha illa Huwa), memastikan bahwa kecukupan ini hanya berasal dari satu-satunya Zat yang berhak disembah. Rangkaian kalimat ini menjadi pelindung spiritual bagi Nabi dan pengikutnya dari segala bentuk ancaman, makar, atau keputusasaan yang timbul akibat penolakan.
C. "عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ" (Hanya kepada-Nya aku bertawakal)
Tawakal adalah penyerahan urusan kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Dalam konteks ayat ini, tawakal adalah respons alami dari hati yang telah menyatakan 'Hasbiyallah'. Setelah segala upaya dakwah, jihad, dan kesabaran dilakukan oleh Nabi, penolakan kaum musyrikin atau munafikin tidak boleh meruntuhkan semangat. Sebaliknya, hal itu harus menguatkan keyakinan bahwa hasil akhir berada di tangan Allah.
Al-Ghazali mendefinisikan tawakal sebagai 'ketenangan hati terhadap janji Allah'. Kalimat ini menanamkan ketenangan yang sempurna, sebab Rabb yang Maha Agung telah menjadi penjamin dan pelindung.
D. "وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ" (Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung)
Ayat ditutup dengan sifat Allah sebagai 'Rabbul 'Arsyil 'Azhim' (Tuhan pemilik 'Arsy yang agung). 'Arsy adalah makhluk terbesar dan tertinggi, simbol kemahakuasaan dan kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu.
Penyebutan 'Arsy pada akhir surah ini memiliki kekuatan retoris dan teologis yang besar. Ia mengingatkan bahwa Zat yang menjadi sandaran (tempat bertawakal) bukanlah sekadar Tuhan Yang Mahakuasa, tetapi Penguasa Mutlak alam semesta. Jika Allah adalah Pemilik takhta yang Agung, maka kekuasaan-Nya tak terbatas, dan janji perlindungan-Nya adalah jaminan tertinggi yang dapat diperoleh seorang hamba.
Kombinasi "Hasbiyallah," "Laa ilaha illa Huwa," "Tawakkaltu," dan "Rabbul 'Arsyil 'Azhim" menciptakan formula tauhid yang lengkap: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat, seluruhnya disatukan dalam deklarasi penyerahan diri.
V. Tafsir Para Ulama Klasik dan Kontemporer
Dua ayat terakhir Surah At-Taubah ini menjadi fokus utama dalam kitab-kitab tafsir, khususnya mengenai penafsiran terhadap sifat-sifat Nabi ﷺ dan keutamaan dzikir pada ayat 129.
A. Pandangan Ibnu Katsir Mengenai Ayat 128
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan secara rinci keutamaan Rasulullah ﷺ berdasarkan ayat 128. Beliau menekankan bahwa fakta Nabi datang 'dari kaum sendiri' adalah kemudahan, sebab mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlak beliau. Ibnu Katsir menafsirkan 'عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ' sebagai: "Sangat berat baginya hal-hal yang menyusahkan kalian." Beliau menghubungkan sifat ini dengan sabda Nabi ﷺ, "Sesungguhnya aku diutus dengan Hanifiyah yang penuh kemudahan dan toleransi." Kesulitan umat dianggap sebagai kesulitan pribadi beliau, sehingga beliau selalu memilih jalan yang paling ringan bagi mereka.
Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa sifat 'Raufun Rahim' ini adalah bukti nyata kepedulian beliau, yang menyebabkan beliau melakukan puasa wishal (berpuasa tanpa berbuka malam) agar umatnya tidak keberatan, atau menunda shalat Isya hingga tidak membebani mereka. Semua tindakan beliau didasarkan pada kasih sayang dan keinginan untuk memudahkan urusan umat.
B. Fokus Al-Qurtubi: Rahmat dan Universalitas
Imam Al-Qurtubi fokus pada dua poin utama. Pertama, pentingnya nama-nama Allah disematkan pada Nabi ﷺ (Rauf dan Rahim). Beliau menyatakan bahwa ini adalah penghormatan tertinggi, namun tetap menegaskan bahwa Rahman dan Malik adalah nama yang hanya milik Allah, sementara Rauf dan Rahim disematkan secara khusus bagi Nabi dalam kaitannya dengan interaksi beliau dengan orang mukmin. Kedua, Al-Qurtubi membahas Asbabun Nuzul yang menyebutkan bahwa ayat ini memiliki keutamaan khusus bagi mereka yang membacanya, dan bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini adalah bagian terakhir yang diturunkan dari Al-Qur'an (walaupun riwayat ini diperdebatkan).
Al-Qurtubi memperluas pembahasan mengenai 'Harisun alaikum', mengatakan bahwa kerinduan Nabi ﷺ tidak hanya terbatas pada keselamatan di akhirat, tetapi juga pada kesejahteraan dan keadilan di dunia. Keharisan beliau mencakup seluruh aspek kehidupan umat, baik spiritual maupun material.
C. Analisis Ar-Razi: Kemuliaan dan Hubungan Sifat
Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam 'Mafatihul Ghaib', memberikan analisis yang sangat filosofis. Beliau menjelaskan bahwa kesempurnaan seorang rasul terletak pada dua hal: kesempurnaan dalam Dzatnya (internal) dan kesempurnaan dalam interaksinya (eksternal). Ayat 128 merangkum kedua hal ini:
- Kesempurnaan Internal: Digambarkan oleh 'Rasulun min anfusikum' (kemuliaan nasab dan kejujuran diri).
- Kesempurnaan Eksternal (Tugas): Digambarkan oleh tiga sifat utama:
- 'Azizun alaihi ma 'anittum: Peduli terhadap penderitaan (dimensi negatif dihindari).
- Harisun alaikum: Bersemangat dalam memberikan kebaikan (dimensi positif diupayakan).
- Raufun Rahim: Pengejawantahan rahmat dalam perbuatan (hasil dari dimensi positif).
Ar-Razi menyimpulkan bahwa Nabi ﷺ memiliki seluruh prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin spiritual dan duniawi yang sempurna, yang berakar pada kasih sayang ilahi.
D. Tafsir Ayat 129: Puncak Keyakinan
Tafsir mengenai ayat 129 hampir seragam di kalangan ulama: ia adalah perintah tauhid mutlak. Mereka sepakat bahwa ini adalah formula perlindungan teragung. Jika segala cara manusiawi telah habis, dan jika segala makhluk berpaling, sandaran hanya kepada Allah harus menjadi pegangan. Mereka menekankan bahwa mengulang-ulang kalimat ini (seperti yang diriwayatkan dalam hadis tentang doa pagi dan petang) berfungsi untuk menanamkan keyakinan bahwa semua urusan diatur oleh Rabbul 'Arsyil 'Azhim.
Kesinambungan antara ayat 128 dan 129 sangatlah penting: kasih sayang Nabi ﷺ (128) adalah sarana Allah memberikan rahmat; namun, jika manusia menolak rahmat itu, maka Nabi harus kembali kepada sumber Rahmat yang sejati, yaitu Allah (129), dan menyerahkan urusan kepada-Nya sepenuhnya.
VI. Asbabun Nuzul dan Kontroversi
Mengenai konteks turunnya dua ayat terakhir ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir dan hadis. Namun, perbedaan ini justru menambah bobot spiritual ayat tersebut.
A. Ayat Terakhir yang Diturunkan?
Salah satu pandangan populer, yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab dan dipertahankan oleh beberapa ulama, menyebutkan bahwa dua ayat ini (128-129) adalah ayat-ayat Al-Qur'an terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, hanya beberapa hari atau minggu sebelum wafatnya. Meskipun ada riwayat lain yang menyebutkan ayat tentang riba atau ayat ke-3 Surah Al-Ma'idah sebagai yang terakhir, pandangan bahwa penutup At-Taubah adalah yang terakhir memiliki implikasi spiritual yang mendalam.
Jika ini benar-benar wahyu penutup, maka risalah Islam ditutup dengan dua tema fundamental:
- Penghargaan Tertinggi atas Karakter Nabi: Allah mengakhiri wahyu-Nya dengan memuji kerisalahan Nabi dan kasih sayangnya yang tiada tara.
- Wasiat Tauhid Abadi: Pesan terakhir adalah ajakan untuk Tawakal Mutlak kepada Allah, Rabbul 'Arsyil 'Azhim, sebagai bekal menghadapi akhir zaman.
B. Mengapa di Surah At-Taubah?
Surah At-Taubah secara keseluruhan dikenal keras, memerintahkan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin yang melanggar perjanjian, dan mengungkap kemunafikan. Penempatan dua ayat yang penuh kasih sayang dan tawakal ini di akhir surah berfungsi sebagai penyeimbang yang luar biasa. Surah ini dimulai dengan Bara'ah (pemutusan), tetapi diakhiri dengan Rahmah (kasih sayang). Hal ini mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi yang paling keras (perang dan pemutusan), inti dari risalah adalah kasih sayang (128) dan keyakinan (129).
Kontras ini menekankan bahwa tindakan keras yang diperintahkan dalam surah itu (seperti kasus Perang Tabuk dan perlakuan terhadap munafikin) bukanlah berasal dari kebencian pribadi Nabi ﷺ, tetapi merupakan keharusan ilahi. Hati Nabi sendiri selalu dipenuhi oleh kerinduan akan kebaikan umat, bahkan bagi mereka yang menolak dan memusuhi beliau.
VII. Keutamaan dan Praktik Spiritual (Wirid)
Dua ayat ini memiliki keutamaan yang luar biasa, sehingga sering dijadikan bagian dari wirid harian (dhikr) yang dibaca oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Keutamaan ini bersumber dari makna yang dikandungnya, serta riwayat yang menjelaskan manfaat membacanya.
A. Kekuatan Perlindungan dari Hasbiyallahu
Ayat 129 mengandung dzikir agung yang dikenal sebagai 'Hasbiyallahu laa ilaha illa Huwa...'. Diriwayatkan bahwa barangsiapa yang membacanya tujuh kali di waktu pagi dan tujuh kali di waktu petang, Allah akan mencukupinya dari segala urusan dunia dan akhirat yang menyusahkannya. Ini adalah janji perlindungan yang spesifik, mencakup:
- Perlindungan Material: Kecukupan rezeki dan terhindar dari kesulitan finansial.
- Perlindungan Spiritual: Terlindung dari godaan syaitan dan makar manusia.
- Perlindungan Emosional: Menghilangkan rasa cemas, khawatir, dan putus asa.
Mengucapkan 'Hasbiyallahu' adalah pengakuan bahwa penyebab utama masalah kita adalah kurangnya tawakal yang sempurna. Dengan mengulanginya, seorang Muslim melatih hatinya untuk secara otomatis menyandarkan semua urusan kepada Allah, Sang Pemilik 'Arsyil 'Azhim.
B. Syarat Keutamaan: Kehadiran Hati
Para ulama sufi dan ahli hadis menekankan bahwa keutamaan dzikir ini tidak terletak pada jumlah hitungan semata, tetapi pada kualitas penghayatan (khusyuk). Ketika seorang hamba mengucapkan, "Hanya kepada-Nya aku bertawakal," hatinya harus benar-benar meninggalkan segala sandaran duniawi dan menambatkan harapan sepenuhnya kepada Allah. Pengulangan ini adalah metode untuk mencabut akar-akar kecemasan yang berlebihan terhadap makhluk.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dzikir ini efektif karena ia mencakup pengakuan tauhid yang tertinggi, diikuti dengan tindakan nyata penyerahan diri (tawakal), dan diakhiri dengan pengakuan atas kemahakuasaan Allah ('Rabbul 'Arsyil 'Azhim'). Formula ini mengobati kelemahan iman di akarnya.
C. Ayat 128 sebagai Sumber Motivasi Dakwah
Ayat 128 bukan hanya deskripsi, tetapi juga perintah tersirat bagi para pewaris nabi (ulama, da'i, dan pendidik). Ayat ini menuntut mereka untuk mengadopsi sifat 'Harisun alaikum' (sangat bersemangat pada kebaikan orang lain) dan 'Raufun Rahim' (penuh kasih dan sayang). Dakwah yang efektif harus dilakukan dengan rasa kepedulian yang mendalam, bukan hanya dengan otoritas atau penghakiman. Jika seorang da'i merasakan beratnya penderitaan umat, ia akan berdakwah dengan empati, mencontoh akhlak Rasulullah ﷺ.
VIII. Implikasi Teologis: Integrasi Rahmat Kenabian dan Tauhid Ilahi
Dua ayat ini memainkan peran krusial dalam teologi Islam karena mengintegrasikan dua pilar utama: kedudukan agung Nabi Muhammad ﷺ dan kedaulatan mutlak Allah SWT.
A. Menghindari Ghuluw (Berlebihan) dalam Mencintai Nabi
Ayat 128 yang memuji Nabi dengan sifat-sifat ilahi ('Raufun Rahim') sekilas dapat menimbulkan kekhawatiran adanya pengagungan yang berlebihan (ghuluw). Namun, ayat 129 berfungsi sebagai penyeimbang sempurna. Segera setelah memuji Rasulullah ﷺ, Allah memerintahkan: "فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ" (Maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia).
Pesan teologisnya jelas: Ya, cintai dan muliakan Rasulullah ﷺ sebagai manifestasi rahmat; namun, sandaran, kecukupan, dan ibadah mutlak harus kembali hanya kepada Allah. Nabi adalah hamba dan utusan, bukan tuhan. Ayat 129 memastikan bahwa pintu syirik tertutup rapat, bahkan di tengah-tengah pujian terbesar untuk sang Rasul.
B. Konsep 'Rabbul 'Arsyil 'Azhim' dalam Akidah
Pengakhiran dengan 'Rabbul 'Arsyil 'Azhim' menguatkan akidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah mengenai sifat-sifat Allah (Asma wa Sifat). Penyebutan 'Arsy (Singgasana) menegaskan transendensi Allah (Dia di atas segala makhluk-Nya) dan kedaulatan-Nya (Dia mengendalikan alam semesta dari 'Arsy). Ketika seorang mukmin bertawakal, ia bertawakal kepada Dzat yang menguasai takhta tertinggi, yang di bawahnya segala hukum alam, takdir, dan makhluk tunduk.
Dalam konteks Surah At-Taubah yang membahas konflik, perjanjian, dan perang, penegasan kedaulatan ini sangat relevan. Manusia mungkin berkhianat, musuh mungkin bersekutu, tetapi Pemilik 'Arsy yang Agung akan mengamankan hamba-Nya. Kekuatan militer, politik, atau ekonomi manusia menjadi tidak berarti di hadapan pengaturan Ilahi.
C. Rahmat Nabi sebagai 'Hadiah' Tauhid
Ayat 128 mengajarkan bahwa kelembutan dan kasih sayang Nabi adalah karunia yang disiapkan Allah untuk mempermudah jalan manusia menuju tauhid. Kasih sayang itu menarik hati; ia membuat ajaran terasa ringan. Tanpa kelembutan ini, dakwah akan menjadi kaku dan sulit diterima. Dengan demikian, kasih sayang kenabian berfungsi sebagai pra-syarat psikologis dan sosial untuk penerimaan tauhid yang dinyatakan dalam ayat 129.
Kajian mendalam mengenai dua ayat ini tidak akan pernah lengkap tanpa menggarisbawahi kesinambungan antara Rahmat dan Tauhid. Rahmat Nabi adalah bentuk Tawakal yang berhasil. Ia berusaha sekuat tenaga (Harisun alaikum), namun jika manusia menolak, beliau tidak hancur atau putus asa, melainkan kembali kepada Allah melalui Tawakal mutlak, menunjukkan bahwa sumber kekuatan sejati adalah Ilahi, bukan hasil upaya manusia semata.
D. Penjelajahan Lebih Lanjut dalam Terminologi Sifat Nabi
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita harus kembali pada diksi unik dalam ayat 128. Pengulangan sifat-sifat yang merujuk pada penderitaan umat harus dianalisis secara semantik. Tiga komponen utama dalam ayat 128 (عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ, حَرِيصٌ عَلَيْكُم, رَءُوفٌ رَّحِيمٌ) menunjukkan gradasi kasih sayang:
- Perasaan terhadap Penderitaan: 'Azizun alaihi ma 'anittum. Ini adalah reaksi emosional pasif yang kuat. Beliau merasakan sakitnya umat.
- Upaya Pencegahan dan Bimbingan: 'Harisun alaikum. Ini adalah tindakan proaktif untuk memastikan umat selamat, yaitu upaya keras dalam dakwah dan tabligh.
- Pengejawantahan Rahmat: Raufun Rahim. Ini adalah manifestasi hasil dari dua sifat di atas, yaitu sikap lembut, pemaaf, dan penuh karunia yang beliau tampilkan.
Jika kita menimbang setiap kata dalam terjemahan, kita menyadari bahwa terjemahan biasa tidak cukup menangkap kekayaan makna 'Harisun'. 'Sangat menginginkan' terasa lemah. Ia sebenarnya merujuk pada intensitas hasrat yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti. Nabi ﷺ tidak pernah puas melihat seorang pun dari umatnya tergelincir atau menuju neraka. Semangat penyelamatan ini adalah yang membedakan beliau dari para Nabi sebelumnya yang fokus utamanya mungkin terbatas pada kaum mereka saja.
Para mufassir menekankan bahwa 'Harisun alaikum' menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah figur yang paling berhak untuk mendapatkan balasan dari Allah, karena beban yang beliau tanggung demi umatnya jauh melebihi beban yang ditanggung oleh nabi-nabi lain. Beliau memikul beban keimanan seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat.
E. Konsekuensi Hukum dan Fiqih dari Ayat 128
Sifat Rauf dan Rahim Nabi ﷺ menjadi landasan hukum dalam penetapan fiqih Islam (Tasyri'). Para ulama ushul fiqih menggunakan ayat ini sebagai dalil utama untuk prinsip 'Takhfif' (meringankan) dan 'Raf’ul Haraj' (menghilangkan kesulitan). Prinsip ini terlihat dalam berbagai keringanan (rukhsah) yang diberikan dalam syariat, seperti:
- Keringanan puasa bagi musafir dan orang sakit.
- Kemudahan dalam bersuci (tayammum).
- Pembatalan kewajiban yang berpotensi menyulitkan, seperti anjuran shalat tarawih berjamaah yang dibatalkan oleh Nabi karena khawatir menjadi wajib bagi umat.
Ayat 128 secara teoretis membenarkan bahwa tujuan syariat (Maqasid Syariah) adalah kemudahan dan penghilangan kesulitan, karena hal itu sesuai dengan karakter dasar pembawa risalah, Muhammad ﷺ.
F. Kedalaman Tafsir 'Arsyil 'Azhim'
Mengapa bukan sekadar 'Rabbul 'Alamin' (Tuhan semesta alam)? Penekanan pada 'Arsyil 'Azhim' (Singgasana yang Agung) adalah untuk menolak keyakinan animisme atau politeisme yang cenderung membatasi wilayah kekuasaan ilahi. 'Arsy adalah batas tertinggi dari makhluk. Dengan menyebut diri-Nya Rabbul 'Arsyil 'Azhim, Allah menegaskan bahwa tawakal (penyerahan diri) harus diarahkan kepada Zat yang menguasai seluruh hierarki kosmik, dari atom terkecil hingga singgasana terbesar.
Penutup ini memberikan kepastian metafisik: tidak peduli seberapa besar musuh, seberapa parah bencana, atau seberapa rumit urusan, semua berada di bawah kendali tunggal Pemilik 'Arsy. Ini adalah penutup yang sempurna untuk surah yang membahas gejolak sosial, politik, dan militer yang terjadi di Madinah pada masa itu.
Dengan demikian, dua ayat terakhir Surah At-Taubah ini adalah kesimpulan dari ajaran Islam: Kasih sayang kenabian membimbing manusia, sementara kekuasaan dan kedaulatan ilahi menjadi jaminan akhir bagi keselamatan mereka yang beriman.
IX. Integrasi Pelajaran dalam Kehidupan Kontemporer
Bagaimana dua ayat ini relevan bagi kehidupan Muslim di era modern, jauh setelah masa kenabian?
A. Kasih Sayang Nabi sebagai Model Kepemimpinan
Ayat 128 mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sukses—baik dalam keluarga, komunitas, maupun institusi—harus didasarkan pada empati mendalam. Seorang pemimpin yang mencontoh sifat Nabi ﷺ harus merasa terbebani oleh kesulitan pengikutnya, bersemangat (haris) dalam mencari solusi bagi mereka, dan menerapkan kelembutan (rauf) serta belas kasihan (rahim) dalam setiap keputusan.
Di dunia yang ditandai oleh ketidakpedulian dan individualisme, sifat 'Azizun alaihi ma 'anittum' menuntut kita untuk membangun struktur sosial yang peduli terhadap penderitaan orang lain, menolak hedonisme yang mengabaikan kesusahan, dan mengutamakan kesejahteraan kolektif. Kasih sayang Nabi ﷺ tidak pasif; ia adalah kasih sayang yang memicu tindakan reformasi.
B. Tawakal sebagai Solusi Kecemasan Modern
Ayat 129, dengan fokusnya pada 'Hasbiyallah', adalah resep utama untuk mengatasi kecemasan (anxiety) dan tekanan (stress) yang meluas di masyarakat modern. Di dunia yang penuh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kesehatan, manusia cenderung merasa cemas karena bergantung pada hal-hal fana yang berada di luar kendali mereka.
Deklarasi 'Hasbiyallahu laa ilaha illa Huwa' adalah pelepasan beban psikologis. Ia mengingatkan bahwa satu-satunya sandaran yang kokoh di tengah badai adalah Allah. Mengucapkan dzikir ini secara sadar membantu memindahkan beban kekhawatiran dari pundak hamba yang lemah ke pundak Dzat Yang Maha Kuat dan menguasai 'Arsy yang Agung.
Tawakal di sini bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan keyakinan teguh bahwa hasil akhir dari usaha maksimal kita akan diatur oleh yang terbaik. Ini adalah sumber ketenangan batin yang sejati.
C. Memahami Dimensi Waktu dalam Keimanan
Kajian historis tentang kemungkinan ayat ini menjadi ayat terakhir yang diturunkan memberikan perspektif mengenai esensi kehidupan: hidup harus diakhiri dengan pujian terhadap kemuliaan Rasulullah dan penyerahan diri total kepada Allah. Tugas seorang Muslim adalah menjalani hidup dengan meneladani kasih sayang (128) dan mengakhirinya dengan kepastian tawakal (129). Ini adalah kerangka waktu spiritual yang tak lekang oleh zaman.
Secara keseluruhan, surat taubah ayat terakhir adalah penutup yang sempurna, kaya, dan melimpah. Ia adalah karunia yang mengajarkan keseimbangan antara mengikuti teladan Nabi yang penuh kasih dan memegang teguh tali tauhid yang tak terputus kepada Allah, Pemilik segala kekuasaan dan rahmat.
X. Penutup: Warisan Dua Ayat Kemuliaan
Dua ayat penutup Surah At-Taubah merupakan warisan spiritual yang mendalam, membimbing umat Islam melalui kompleksitas kehidupan. Ayat 128 menegakkan pilar rahmat kenabian, sebuah karunia visual yang dapat dicontoh oleh manusia, yang mengajarkan empati, ketekunan, dan kelembutan dalam berinteraksi. Ia memberikan jaminan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah wali (pelindung) yang paling peduli terhadap keselamatan umatnya.
Sementara itu, ayat 129 adalah pilar tauhid yang tak tergoyahkan. Ia adalah kompas yang mengarahkan hati kembali kepada satu-satunya sumber kekuatan dan sandaran, yaitu Allah SWT. Dalam keputusasaan atau penolakan, ia memberikan benteng perlindungan melalui deklarasi abadi, "Hasbiyallahu laa ilaha illa Huwa, 'alaihi tawakkaltu, wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhim."
Kedua ayat ini, yang penuh dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang agung, mengajarkan bahwa kesempurnaan iman adalah kombinasi harmonis antara akhlak yang mulia dan keyakinan yang sempurna. Membaca, merenungi, dan mengamalkan kandungan dua ayat ini adalah kunci untuk mencapai ketenangan abadi dan perlindungan ilahi di dunia maupun di akhirat.