Dalam kitab suci Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang berfungsi sebagai petunjuk, kabar gembira, sekaligus peringatan keras bagi umat manusia. Salah satu ayat yang memiliki pesan mendalam mengenai konsekuensi perbuatan buruk adalah Surat An-Nahl (Lebah) ayat ke-28. Ayat ini secara lugas menggambarkan keadaan orang-orang yang selama hidupnya memilih jalan kesesatan dan kezaliman, serta bagaimana Allah SWT memperlakukan mereka pada saat yang paling menentukan: akhirat.
Memahami An-Nahl ayat 28 bukan hanya sekadar membaca teks, tetapi menyelami inti dari keadilan ilahi. Ayat ini menjadi cermin bagi setiap individu untuk merefleksikan pilihan hidup mereka, apakah sudah berada di jalur yang diridai ataukah cenderung pada perbuatan yang akan mendatangkan kerugian abadi.
"Yaitu orang-orang yang ketika disampaikan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: 'Ini hanyalah dongeng-dongeng orang dahulu.'" (QS. An-Nahl: 28)
Ayat ini secara spesifik menyoroti tipe manusia yang memiliki penyakit hati kronis: kesombongan dan penolakan terang-terangan terhadap wahyu. Mereka adalah golongan yang ketika dihadapkan pada bukti-bukti kebenaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul, respons pertama mereka adalah meremehkan. Frasa "dongeng-dongeng orang dahulu" menunjukkan bahwa mereka menganggap ajaran agama sebagai cerita fiksi usang yang tidak relevan dengan zaman mereka.
Sikap ini bukan datang tanpa sebab. Penolakan tersebut seringkali berakar dari hawa nafsu yang menguasai akal sehat. Mereka mungkin merasakan bahwa menerima kebenaran akan membatasi kebebasan mereka dalam berbuat maksiat atau mengharuskan mereka meninggalkan gaya hidup yang telah mapan dan menguntungkan secara duniawi. Oleh karena itu, cara termudah untuk membentengi diri dari tuntutan moral adalah dengan melabeli kebenaran sebagai hal yang tidak otentik atau usang.
Setelah menjelaskan sikap mereka di dunia, ayat selanjutnya dalam surah yang sama (An-Nahl ayat 29) menjelaskan azab yang menanti:
"Maka mereka dimasukkan ke dalam api neraka Jahannam dan itulah tempat tinggal yang seburuk-buruknya bagi orang-orang yang menyombongkan diri."
Konteks ini sangat penting. Puncak dari penolakan mereka bukanlah sekadar azab fisik, melainkan dicabutnya nikmat terbesar yang bisa didapatkan manusia, yaitu nikmatnya iman dan hidayah. Orang yang menolak ayat-ayat Allah di dunia akan kehilangan kemampuan untuk merasakan manisnya tauhid dan kedamaian batin yang hanya bisa didapatkan dari kepatuhan kepada Sang Pencipta. Mereka memasuki neraka bukan hanya sebagai hukuman, tetapi sebagai konsekuensi logis dari pilihan mereka untuk berpaling dari petunjuk Ilahi.
Meskipun ayat ini berbicara tentang konteks historis, pesannya sangat relevan hari ini. Di era informasi yang serba cepat, di mana berbagai ideologi dan pandangan hidup bersaing untuk mendapatkan perhatian, godaan untuk menganggap ajaran agama sebagai "dongeng" atau "ketinggalan zaman" tetap ada. Banyak yang memilih mengikuti tren sesaat, mengabaikan prinsip moral abadi yang tertuang dalam kitab suci, hanya karena merasa itu lebih populer atau lebih sesuai dengan pemahaman subjektif mereka.
Setiap kali seseorang merasa enggan untuk mendengarkan nasihat berbasis ayat suci karena dianggap kuno, ia sebenarnya sedang menapaki jalur yang sama seperti yang digambarkan dalam An-Nahl ayat 28. Perbedaan zaman tidak mengubah hakikat kebenaran. Kebenaran dari Allah SWT bersifat universal dan abadi.
Tadabbur (perenungan mendalam) terhadap ayat ini mengajarkan kita pentingnya bersikap rendah hati di hadapan wahyu. Seorang mukmin sejati harus selalu membuka hati dan pikirannya ketika ayat-ayat Allah dibacakan atau dipelajari. Kerendahan hati ini memungkinkan hati untuk menerima kebenaran, membedakannya dari kebatilan, dan pada akhirnya, menyelamatkan jiwa dari azab yang pedih. Mari kita jadikan ayat ini sebagai pengingat agar senantiasa bersyukur atas nikmat hidayah, dan tidak pernah termasuk dalam golongan yang meremehkan keagungan firman-Nya.