Surat An-Nas, surat terakhir dalam urutan mushaf Al-Qur'an, adalah penutup yang sangat kuat dan penting. Surat ini turun untuk mengajarkan umat Islam memohon perlindungan kepada Allah SWT dari segala kejahatan yang datang dari dalam diri (bisikan hati) maupun dari luar (jin dan manusia). Surat ini terdiri dari enam ayat pendek namun padat makna.
Ayat pertama telah memerintahkan kita untuk berlindung kepada Rabb (Tuhan) seluruh manusia. Ayat kedua kemudian mengkhususkan fokus perlindungan tersebut, yaitu kepada Al-Malik (Raja) semua manusia.
مَلِكِ النَّاسِ
Raja (Penguasa) manusia.
Ayat ini sangat fundamental dalam membangun keyakinan tauhid rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta) dan tauhid uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan). Ketika seorang Muslim membaca ayat ini, ia menegaskan pengakuannya bahwa satu-satunya penguasa absolut, pemilik kedaulatan tertinggi atas seluruh umat manusia, adalah Allah SWT.
Kata "Malik" (مَلِكِ) memiliki kedudukan yang sangat agung. Berbeda dengan "Rabb" (Tuhan) yang mencakup makna Penguasa, Pemelihara, dan Pencipta, "Malik" secara spesifik menekankan pada otoritas kerajaan, kekuasaan mutlak, dan kemampuan untuk memerintah tanpa ada yang bisa menentangnya. Mengapa Allah disifatkan sebagai "Malik An-Nas" pada posisi kedua ini?
Pertama, menegaskan bahwa semua manusia, terlepas dari status sosial, kekayaan, atau kekuasaan duniawi mereka, berada di bawah kekuasaan Raja yang sebenarnya. Firaun yang mengaku sebagai Tuhan, raja-raja besar yang mengklaim kekuasaan absolut, semuanya hanyalah penguasa sementara di wilayah kekuasaan yang terbatas. Allah adalah Raja yang tidak pernah mati, tidak pernah kehilangan takhtanya, dan kekuasaan-Nya meliputi seluruh sejarah manusia dari awal hingga akhir.
Kedua, penekanan pada sifat "Raja" ini berfungsi sebagai penangkal terhadap rasa takut atau ketergantungan berlebihan kepada penguasa manusia. Jika kita mencari perlindungan hanya kepada raja dunia, perlindungan itu akan berakhir seiring kekuasaan mereka berakhir. Namun, ketika berlindung kepada Al-Malik, perlindungan itu bersifat kekal dan pasti.
Ayat kedua, "Malikin-nās," kemudian diperkuat oleh ayat ketiga, "Ilāhin-nās" (Sesembahan manusia). Urutan ini logis: seseorang hanya akan berlindung kepada Raja (kekuasaan) dan Tuhan (hak disembah) yang paling agung. Pengakuan bahwa Allah adalah Raja (pemilik kekuasaan) menjadi landasan yang kokoh mengapa hanya kepada-Nya kita wajib memohon perlindungan dari kejahatan, termasuk kejahatan yang bersembunyi di balik topeng kekuasaan atau ilusi otoritas.
Ayat kedua ini adalah penegasan bahwa segala bentuk kesewenang-wenangan dan kezaliman di muka bumi sejatinya tidak dapat mengalahkan perlindungan dari Raja Semesta Alam. Ia mengingatkan kita bahwa setiap kezaliman adalah pelanggaran terhadap hukum Al-Malik, dan pada akhirnya, semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya.
Membaca ayat kedua Surat An-Nas secara kontemplatif seharusnya menanamkan ketenangan batin. Ketenangan ini muncul karena kesadaran bahwa di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh kekuasaan semu dan ancaman yang tampak besar, ada satu entitas yang memegang kendali penuh atas segalanya. Permohonan perlindungan ini bukan sekadar ritual lisan, melainkan penyerahan diri total kepada Otoritas Tertinggi yang mengatur nasib setiap makhluk.