Surah An-Nas, yang berarti "Manusia," adalah surah ke-114 dan merupakan surah terakhir dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Bersama dengan Surah Al-Falaq (Surah ke-113), An-Nas dikenal sebagai dua surah pelindung atau Al-Mu'awwidzatain. Keistimewaan kedua surah ini sangat ditekankan dalam berbagai riwayat hadis, terutama terkait perlindungan dari kejahatan fisik maupun spiritual.
Meskipun penomoran dalam mushaf menempatkannya di urutan terakhir, pembahasan mengenai kapan surah an nas diturunkan seringkali dikaitkan dengan peristiwa spesifik yang menunjukkan urgensi ajarannya, yaitu sebagai penangkal sihir dan waswas. Kedua surah ini mengajarkan seorang Muslim untuk berlindung total kepada Allah SWT, Sang Raja, Sang Tuhan, dan Sang Pelindung manusia dari kejahatan yang tersembunyi.
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Surah An-Nas dan Al-Falaq diturunkan di Makkah (sebelum Hijrah), meskipun ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa penurunannya terjadi di Madinah sebagai respons terhadap gangguan sihir yang dialami oleh Rasulullah ﷺ. Namun, riwayat yang paling masyhur dan kuat mengenai konteks penurunannya terjadi ketika Nabi Muhammad ﷺ disihir oleh seorang tukang sihir Yahudi bernama Labid bin Al-A'sham.
Riwayat ini, yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sahih seperti Shahih Bukhari dan Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ merasakan sakit fisik dan mental yang parah akibat sihir tersebut. Allah SWT kemudian menurunkan Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas sebagai penawar dan penyembuh total dari efek sihir tersebut. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai ruqyah teragung yang membatalkan segala bentuk gangguan metafisik.
Ayat-ayat ini secara spesifik meminta perlindungan kepada Tuhan, Raja, dan Ilah-nya sekalian manusia, dari kejahatan Al-Waswas Al-Khannas, yaitu setan atau bisikan jahat yang bersembunyi ketika manusia mengingat Allah dan muncul kembali ketika manusia lalai.
Keunikan Surah An-Nas terletak pada fokusnya terhadap musuh internal manusia: bisikan hati nurani yang menyesatkan. Sementara surah lain mungkin membahas ancaman eksternal (musuh dari kalangan jin dan manusia), An-Nas secara eksplisit menargetkan sumber godaan yang paling licik, yaitu waswas yang datang dari setan yang bersembunyi.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai surah an nas diturunkan harus dikaitkan dengan konteks perlindungan berkelanjutan. Surah ini bukan sekadar obat mujarab untuk kasus sihir tertentu, melainkan sebuah benteng spiritual harian. Rasulullah ﷺ menganjurkan pembacaan kedua surah ini setiap pagi dan petang, serta sebelum tidur, sebagai bentuk pemeliharaan diri yang proaktif.
Banyak ulama berpendapat bahwa jika surah-surah ini diturunkan karena kejadian sihir, maka keberadaannya membuktikan bahwa Islam menyediakan solusi ilahiah untuk setiap masalah yang dihadapi manusia, termasuk gangguan gaib yang seringkali tidak dapat dijelaskan oleh sains modern. Surah An-Nas adalah pengingat bahwa kendali tertinggi ada di tangan Al-Malik (Raja) dan Al-Ilah (Tuhan) umat manusia.
Dengan mengetahui bahwa perlindungan ini merupakan solusi dari Allah SWT atas gangguan serius, seorang Muslim diajak untuk tidak merasa takut berlebihan terhadap hal-hal yang tidak terlihat. Surah ini mengajarkan bahwa sumber perlindungan terbaik adalah mengakui keesaan dan kekuasaan Allah. Ketika seseorang membaca An-Nas, ia menegaskan penyerahan dirinya kepada Sang Pencipta dan secara aktif menolak pengaruh buruk dari Sang Pembisik.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun latar belakang historis penurunannya terkait dengan sihir, relevansi Surah An-Nas meluas ke setiap bentuk keraguan, ketakutan yang tidak beralasan, kecenderungan untuk berbuat dosa, atau bisikan negatif yang menghambat ibadah. Setiap kali hati merasa bimbang, membaca Surah An-Nas adalah cara untuk mengalihkan fokus dari kegelapan internal menuju cahaya Rabbun Naas. Inilah inti ajaran yang dibawa bersamaan dengan turunnya surah penutup Al-Qur'an ini.