Simbol Keimanan dan Keteguhan
Dalam Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa, memberikan petunjuk, peringatan, sekaligus menjadi tolok ukur keimanan seorang Muslim. Salah satu ayat yang sangat fundamental dan sering dibahas adalah Surat An Nisa ayat 65. Ayat ini secara gamblang menegaskan bahwa keimanan seseorang tidak akan pernah dianggap sempurna di hadapan Allah SWT, kecuali jika orang tersebut menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim dan penentu dalam setiap perselisihan yang dihadapinya. Lebih dari itu, ayat ini juga menuntut penerimaan yang tulus terhadap segala keputusan beliau tanpa rasa keraguan sedikit pun.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan apa pun yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan, dan mereka menerima sepenuhnya.
Surat An Nisa ayat 65 ini bukanlah sekadar sebuah perintah, melainkan sebuah ujian keimanan yang sangat krusial. Allah SWT bersumpah dengan diri-Nya sendiri untuk menekankan betapa pentingnya kandungan ayat ini. Sumpah ini memberikan penekanan kuat bahwa klaim keimanan seseorang tidak dapat diterima jika belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam ayat tersebut.
Poin pertama yang ditekankan adalah penetapan Rasulullah SAW sebagai hakim. Ini berarti bahwa dalam setiap permasalahan, baik yang bersifat personal, sosial, ekonomi, bahkan politik, acuan utama dan tertinggi adalah apa yang telah diajarkan, diperintahkan, dan diputuskan oleh Rasulullah SAW, baik melalui Al-Qur'an maupun Sunnahnya. Tidak ada tempat bagi hawa nafsu, adat istiadat yang bertentangan dengan syariat, atau pendapat individu yang mengabaikan tuntunan Rasulullah SAW. Keimanan yang benar menuntut kita untuk merujuk kepada wahyu dan keteladanan Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, ayat ini juga menekankan pentingnya "tidak merasa keberatan dalam hati" (لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا). Ini adalah ujian yang lebih mendalam. Seseorang mungkin saja secara lahiriah menerima keputusan Nabi, tetapi di dalam hatinya masih tersimpan rasa ketidakpuasan, keraguan, atau bahkan penolakan terselubung. Hal ini menunjukkan adanya penyakit dalam hati yang perlu disembuhkan. Keimanan yang sejati adalah ketika hati tunduk dan lapang dada menerima setiap ketetapan, bahkan jika keputusan tersebut terasa berat atau berbeda dari keinginan pribadi. Kesadaran bahwa Allah lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya menjadi kunci untuk menghilangkan rasa keberatan ini.
Terakhir, ayat ini menutup dengan perintah untuk "menerima sepenuhnya" (وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا). Ini adalah puncak dari kepatuhan dan ketundukan. Menerima sepenuhnya berarti menerima dengan ikhlas, tanpa syarat, dan tanpa ada niat untuk mencari-cari celah atau alasan untuk menolak. Ini adalah penyerahan diri yang total kepada Allah SWT melalui kepemimpinan Rasul-Nya. Bentuk penerimaan ini bukan sekadar ucapan, melainkan manifestasi dalam tindakan dan sikap sehari-hari.
Surat An Nisa ayat 65 memiliki relevansi yang sangat kuat di setiap zaman, termasuk di era modern ini. Di tengah arus informasi yang begitu deras dan beragamnya pandangan dunia, ayat ini menjadi pengingat agar umat Islam tidak mudah terombang-ambing oleh opini yang tidak berdasarkan landasan wahyu.
Dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan, mulai dari pilihan gaya hidup, penyelesaian konflik rumah tangga, urusan muamalah, hingga tantangan sosial masyarakat, seharusnya kaum Muslimin menjadikan ajaran Islam sebagai panduan utama. Ini berarti, kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik, serta merujuk pada pemahaman para ulama yang kompeten dalam menafsirkan dan mengaplikasikan ajaran tersebut. Mengabaikan atau menafsirkan ajaran agama semata-mata berdasarkan logika akal yang terbatas atau pengaruh budaya asing yang tidak sejalan dengan syariat adalah bentuk penolakan terhadap kehendak Allah SWT sebagaimana termaktub dalam ayat ini.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan pentingnya membangun masyarakat yang berkeadilan dan beradab, yang fondasinya adalah kebenaran ilahi. Ketika individu dan kolektif berupaya untuk mengamalkan Surat An Nisa ayat 65, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang harmonis, di mana setiap perselisihan diselesaikan dengan cara yang diridhai Allah, dan ketenangan hati menjadi milik setiap Muslim yang tunduk dan patuh.