Dalam lautan ayat-ayat Al-Qur'an yang penuh hikmah, terdapat satu ayat yang memiliki kedalaman makna dan relevansi yang tak terhingga, yaitu Surat An-Nisa ayat 53. Ayat ini seringkali menjadi sumber perenungan bagi umat Islam, karena menyentuh inti dari keimanan dan kekufuran, serta konsekuensi yang menyertainya. Memahami kandungan ayat ini secara mendalam akan memberikan pandangan yang lebih jernih tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap dalam menghadapi ujian dan godaan duniawi.
أَمْ لَهُمۡ نَصِيبٌ مِّنَ ٱلۡمُلۡكِ فَإِذٗا لَّا يُؤۡتُونَ ٱلنَّاسَ نَقِيرًا
"Atau apakah mereka mempunyai sebagian dari kerajaan? Kalaupun ada, niscaya mereka tidak akan memberikan (seorang pun) kepada manusia walau sëdikit pun." (QS. An-Nisa: 53)
Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari pembahasan mengenai keraguan dan sikap orang-orang munafik terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam konteks sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kebohongan mereka dan bagaimana mereka ingin berhukum kepada thaghut. Ayat 53 ini kemudian menampilkan sebuah pertanyaan retoris yang menyindir sifat kesombongan dan keegoisan mereka.
Pertanyaan "Atau apakah mereka mempunyai sebagian dari kerajaan?" mengacu pada keyakinan atau klaim orang-orang munafik (dan kaum kafir pada umumnya) bahwa mereka memiliki kedudukan atau hak istimewa yang setara dengan kaum mukmin, atau bahkan lebih. Mereka merasa berhak untuk ikut campur dalam urusan kenabian dan risalah, seolah-olah mereka memiliki andil dalam kekuasaan atau otoritas ilahi.
Namun, Allah langsung membantah anggapan tersebut dengan lanjutan firman-Nya: "Kalaupun ada, niscaya mereka tidak akan memberikan (se seorang pun) kepada manusia walau sëdikit pun." Kalimat ini mengungkapkan watak asli mereka yang penuh kedengkian, keserakahan, dan ketidakmauan untuk berbagi kebaikan. Jika sekiranya mereka memiliki kekuasaan atau kepemilikan atas sesuatu, mereka tidak akan pernah mau memberikannya kepada orang lain, bahkan sekecil apapun (yang diistilahkan dengan naqiran, yaitu lubang kecil pada biji kurma atau sesuatu yang sangat sedikit).
Ini menunjukkan bahwa sifat kedekut, kikir, dan egois adalah ciri khas orang-orang yang menolak kebenaran ilahi. Mereka tidak memiliki kemurahan hati, apalagi kepedulian terhadap nasib orang lain. Keinginan mereka adalah untuk menguasai segalanya dan tidak membiarkan sedikit pun manfaat atau kebaikan jatuh ke tangan orang lain. Hal ini berbanding terbalik dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berbagi, bersedekah, dan membantu sesama.
Meskipun ayat ini turun dalam konteks sejarah tertentu, namun maknanya tetap relevan hingga kini. Ayat An-Nisa ayat 53 mengajarkan kita untuk waspada terhadap sifat-sifat buruk seperti kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Sifat-sifat ini seringkali muncul ketika seseorang merasa memiliki kelebihan, baik itu harta, kekuasaan, ilmu, atau kedudukan.
Ayat ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan dan kepemilikan yang sesungguhnya adalah milik Allah semata. Manusia hanyalah pemegang amanah. Oleh karena itu, sikap seorang mukmin seharusnya adalah rendah hati, bersyukur, dan senantiasa menggunakan apa yang dimilikinya untuk kebaikan, bukan untuk menumpuk kekayaan tanpa peduli nasib orang lain.
Lebih jauh lagi, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai sindiran terhadap orang-orang yang mengklaim memiliki otoritas atau hak dalam urusan agama padahal mereka tidak memiliki dasar ilmu atau kebenaran yang diakui. Mereka mungkin berbicara banyak tentang kebenaran, tetapi tindakan mereka menunjukkan sebaliknya, yaitu keengganan untuk berbagi pengetahuan atau kebaikan sejati.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, kita perlu terus merenungkan ayat ini. Apakah dalam diri kita terbersit sedikit saja sifat-sifat tercela yang disebutkan dalam ayat ini? Apakah kita termasuk orang yang mau berbagi kebaikan, atau justru pelit dan egois? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk introspeksi diri agar kita senantiasa berusaha memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Memahami Surat An-Nisa ayat 53 adalah langkah awal untuk menjauhi karakter-karakter negatif yang dibenci Allah dan meneladani sifat-sifat terpuji yang dicintai-Nya. Dengan begitu, kita dapat menjadi hamba yang lebih baik, yang senantiasa bersyukur atas nikmat-Nya dan rela berbagi dengan sesama, demi meraih keridhaan-Nya di dunia dan akhirat.
Semoga kita senantiasa dijauhkan dari sifat-sifat buruk yang digambarkan dalam ayat ini dan dikaruniai hati yang lapang serta tangan yang senantiasa terulur untuk kebaikan.